Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah era suku bunga yang masih "tinggi untuk waktu yang lebih lama", likuiditas adalah raja. Kemampuan sebuah perusahaan untuk bertahan hidup dan bermanuver tidak lagi hanya soal laba, tetapi seberapa tebal 'dompet' atau bantalan kas yang mereka miliki untuk menghadapi kewajiban.
Sebuah analisis mendalam terhadap kekuatan likuiditas LQ45 di Bursa Efek Indonesia, berdasarkan data laporan keuangan per Kuartal II 2025, mengungkap peta kekuatan finansial yang menarik.
Perhitungan Rasio Kas terhadap Total Utang (Cash to Total Debt Ratio)-sebuah metrik untuk mengukur seberapa besar kas perusahaan mampu menutupi seluruh kewajibannya-menempatkan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) sebagai juara absolut dengan rasio mencapai 3,754 kali.
Berikut adalah list dari perusahaan LQ45 dengan rasio cash to debt tertinggi hingga terendah
Para Raja 'Cash': Siapa Paling Tajir?
Kemenangan EMTK tidak bisa dianggap remeh. Dengan rasio 3,754x, emiten induk SCTV dan Indosiar ini memiliki kekuatan kas sebesar Rp 22,81 triliun, yang secara teoritis mampu membayar lunas seluruh total utangnya (Rp 6,08 triliun) lebih dari tiga setengah kali lipat. Ini adalah posisi likuiditas yang sangat mewah, memberikan perusahaan fleksibilitas luar biasa untuk investasi, akuisisi, atau sekadar 'tidur nyenyak' di tengah ketidakpastian ekonomi.
Dominasi di papan atas tidak hanya milik EMTK. Posisi kedua diduduki oleh raksasa batu bara PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) dengan rasio 2,014x. Disusul oleh PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) di 1,355x dan emiten nikel PT Vale Indonesia Tbk (INCO) di 1,144x.
Keempat emiten ini adalah satu-satunya di daftar yang memiliki rasio di atas 1x, yang berarti mereka semua berada dalam posisi "cash positive" - kas mereka lebih besar dari total utang.
Pola ini menunjukkan dua tren utama:
-
Sektor Teknologi: Emiten seperti EMTK dan GOTO masih memegang 'peti perang' (war chest) berisi kas dalam jumlah besar, kemungkinan sisa dari dana IPO atau putaran pendanaan sebelumnya.
-
Sektor Komoditas: Emiten seperti ITMG dan INCO adalah cerminan dari pesta durian runtuh komoditas beberapa tahun terakhir. Laba besar dari lonjakan harga batu bara dan nikel telah dikonversi menjadi tumpukan kas di neraca.
Ironi di Papan Bawah: Kenapa Raksasa Justru 'Buncit'?
Jika papan atas diisi oleh emiten teknologi dan komoditas, papan bawah justru dihuni oleh nama-nama yang tidak kalah mentereng: Sektor Perbankan dan Infrastruktur.
PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) berada di posisi juru kunci dengan rasio hanya 0,004x. Di atasnya, berjejer raksasa lain seperti BBNI (0,010x), BMRI (0,012x), TOWR (0,014x), dan BBRI (0,015x).
Apakah ini berarti bank-bank besar kita dan perusahaan menara berada di ambang krisis likuiditas? Tentu saja tidak.
Di sinilah pentingnya memahami konteks model bisnis, sebuah faktor yang jauh lebih penting daripada sekadar angka rasio yang mentah.
Analisis Mendalam: Mengapa Bank Selalu 'Miskin' Kas?
Melihat emiten perbankan seperti BBCA, BBRI, BMRI, dan BBNI berada di dasar klasemen adalah hal yang wajar dan sudah pasti terjadi. Menilai bank dengan rasio ini ibarat menilai kemampuan ikan dari caranya memanjat pohon.
Begini penjelasannya:
-
"Utang" Bank = Uang Nasabah: Kesalahan fundamental pertama adalah menyamakan "utang" bank dengan "utang" perusahaan biasa. Sebagian besar pos liabilitas (utang) di neraca bank bukanlah pinjaman yang mereka ambil, melainkan Dana Pihak Ketiga (DPK). Itu adalah uang Anda dan nasabah lainnya yang disimpan dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito. Bank memang 'berutang' uang itu kepada nasabahnya.
-
Bank Bukan Penyimpan Kas, Tapi Penyalur: Model bisnis bank adalah menghimpun dana (DPK) dan menyalurkannya kembali (kredit). Bank mendapatkan keuntungan (NIM) dari selisih bunga simpanan dan bunga pinjaman. Jika bank hanya menyimpan DPK dalam bentuk kas, mereka tidak akan mendapat untung.
Oleh karena itu, adalah hal yang normal bagi bank untuk memiliki "utang" (DPK) yang sangat besar (ratusan hingga ribuan triliun rupiah) dan "kas" yang relatif sangat kecil, yang hanya disimpan untuk kebutuhan operasional harian (penarikan ATM) dan simpanan wajib di Bank Indonesia (GWM).
Untuk mengukur kesehatan likuiditas bank, analis menggunakan rasio yang berbeda seperti Loan-to-Deposit Ratio (LDR) atau Liquidity Coverage Ratio (LCR), bukan rasio kas terhadap utang.
Foto: Ilustrasi Himbara
Kisah Para Pembangun: Padat Modal, Padat Utang
Penjelasan serupa berlaku untuk emiten di sektor infrastruktur, seperti menara (TOWR) dan telekomunikasi (TLKM, ISAT, EXCL). Mereka juga menghuni papan tengah ke bawah.
Model bisnis mereka bersifat padat modal (capital intensive). Artinya, mereka harus mengeluarkan uang sangat besar di awal (Belanja Modal/Capex) untuk membangun aset jangka panjang, seperti menara telekomunikasi, jaringan fiber optik, atau data center.
Dari mana uang triliunan rupiah untuk membangun itu? Jawabannya adalah utang jangka panjang. Ini adalah praktik bisnis yang normal di seluruh dunia. Perusahaan meminjam uang untuk membangun aset, aset itu kemudian menghasilkan pendapatan selama 10-20 tahun ke depan, dan pendapatan itulah yang digunakan untuk membayar cicilan utang.
Rasio adalah Alat, Konteks adalah Raja
Analisis ini menunjukkan bahwa "kekuatan kas" adalah konsep yang relatif.
Bagi emiten seperti EMTK atau ITMG, rasio kas yang super tinggi (di atas 1x) adalah sebuah kemewahan. Ini menunjukkan bantalan likuiditas yang ekstrem dan kekuatan finansial untuk menahan badai atau melakukan ekspansi agresif tanpa perlu berutang.
Di sisi lain, rasio kas yang sangat rendah pada sektor perbankan bukanlah tanda bahaya, melainkan ciri khas model bisnisnya.
Bagi investor, ini adalah pengingat penting: sebuah angka rasio tidak pernah menceritakan keseluruhan cerita. Memahami mengapa angka itu seperti itu, dan apa model bisnis di baliknya, adalah kunci untuk menjadi investor yang cerdas.
-
CNBC INDONESIA RESEARCH
(gls/gls)

7 hours ago
3

















































