Dunia Cemas, Warga RI Lebih Percaya China Ketimbang Amerika

4 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) kian meluas di kehidupan sehari-hari. Ada banyak aplikasi populer yang mengintengrasikan kemampuan AI, mulai dari browser, mesin pencari, hingga media sosial dan layanan pesan singkat.

Popularitas AI yang dimulai dari kemunculan chatbot ChatGPT buatan OpenAI, kini sudah berkembang jauh. Buktinya bisa dilihat dari kemunculan layanan pembuatan konten visual berbasis AI seperti Sora 2 dan Nano Banana di Google Gemini.

Bukan cuma untuk masyarakat umum, AI juga dimanfaatkan oleh perusahaan telekomunikasi, transportasi, kesehatan, ritel, untuk menggenjot produktivitas dan efisiensi. Hal ini pula yang memicu kekhawatiran AI akan menggantikan peran pekerja manusia.

Penelitian terbaru dari Pew Research menunjukkan bagaimana masyarakat dunia merespons kehadiran AI dalam kehidupan mereka. Survei dilakukan di 25 negara dan dipublikasikan pada 15 Oktober 2025.

Warga Dunia Cemas Gara-gara AI

Hasil survey menunjukkan lebih banyak masyarakat dunia yang cemas ketimbang antusias (34%) dengan kehadiran AI. Sebaliknya, lebih sedikit yang cenderung antusias ketimbang khawatir (16%) dengan kemunculan teknologi baru ini.

Mayoritas hasil survey menunjukkan masyarakat seimbang antara khawatir dan antusias (42%) atas kehadiran AI dalam kehidupan mereka.

Kekhawatiran terhadap AI paling banyak ditemukan di Amerika Serikat (AS), Italia, Australia, Brasil, dan Mesir. Lebih dari 50% yang mengaku khawatir AI akan berdampak pada kehidupan mereka.

Survei Pew Research juga menunjukkan korelasi antara pendapatan masyarakat di sebuah negara, yang ditentukan dari PDB per kapita, dengan pengetahuan mereka terkait AI.

Misalnya, lebih dari 50% masyarakat di negara berpendapatan tinggi seperti Jepang, Jerman, Prancis, dan AS, yang sudah banyak terpapar dan mengetahui soal AI. Sementara di India hanya 14% dan Kenya cuma 12%.

Warga RI Lebih Percaya China daripada AS

Studi lainnya mengungkap soal bagaimana kepercayaan masyarakat dunia terhadap regulasi AI. Mayoritas masyarakat di berbagai belahan dunia lebih percaya negara mereka sendiri yang mengatur AI.

Indonesia menjadi salah satu negara yang masyarakatnya percaya pada aturan yang dibuat pemerintah, ketimbang harus diatur oleh negara lain seperti AS dan China.

Lebih spesifik, 89% responden di India, 74% di Indonesia, dan 72% di Israel, ingin negara mereka yang mengatur soal adopsi AI.

Sementara itu, warga AS lumayan imbang, antara yang percaya (44%) dan tidak percaya (47%) dengan negara mereka untuk mengatur AI.

Secara umum, masyarakat yang lebih antusias dengan kehadiran AI cenderung percaya bahwa negara mereka bisa mengatur penggunaan AI, ketimbang harus mengikuti negara lain.

Untuk entitas pengatur AI global, lebih banyak masyarakat yang percaya dengan Uni Eropa (53%) untuk memegang kendali. Selanjutnya Amerika Serikat (37%), dan terakhir China (21%).

Kendati demikian, Indonesia dan Afrika Selatan adalah negara-negara yang disebut lebih percaya kepada China sebagai entitas regulator AI global.

Pew Research mencatat Indonesia dan Afrika Selatan merupakan negara yang masyarakatnya cenderung memiliki pandangan positif terhadap China ketimbang Amerika.

Secara umum, orang dewasa berusia lebih muda di 19 negara cenderung lebih percaya kepada China sebagai regulator AI. Sementara kepercayaan terhadap AS sebagai regulator AI lebih cenderung di antara orang-orang yang berideologi kanan, serta orang-orang Eropa yang mendukung partai kanan populis.


(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article FBI Ungkap Modus Penipuan AI, Incar Pejabat Tinggi AS

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |