Dolar AS Mulai Ditinggal Investor, Tak Lagi Sekuat Itu

23 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi jual global yang menekan dolar Amerika Serikat (AS) tampak terjadi cukup masif di tengah momen perang tarif dagang antara AS dengan China belakangan ini.

Dikutip dari Reuters, dolar terus melemah terhadap mata uang utama pada Jumat karena tarik-ulur terkait tarif impor mengguncang kepercayaan investor terhadap keamanan dolar, sehingga nilainya jatuh ke level terendah dalam satu dekade terhadap franc Swiss dan terendah dalam tiga tahun terhadap euro.

Sementara Berdasarkan data dari Refinitiv, terlihat jelas pada penutupan perdagangan 11 April 2025, indeks dolar AS (DXY) melemah sebesar 0,76% ke level 100,1. Posisi ini merupakan yang terendah sejak April 2022.

Perang Tarif AS-China

China menaikkan tarif atas impor dari AS menjadi 125% dari sebelumnya 84% pada hari Jumat, sebagai bentuk pembalasan terhadap keputusan Presiden AS Donald Trump yang menaikkan bea masuk barang-barang China hingga total 145%, setelah sebelumnya menangguhkan sebagian besar kenaikan tarif terbaru untuk sebagian besar negara lain.

Nilai dolar AS mengalami tekanan besar akibat aksi jual global yang tidak hanya memengaruhi saham tetapi juga aset safe haven seperti obligasi pemerintah AS. Imbal hasil obligasi 10-tahun bahkan diperkirakan mencatat lonjakan mingguan terbesar sejak tahun 2001.

Menurut Brad Bechtel, kepala global FX di Jefferies, pelemahan dolar disebabkan oleh melemahnya pandangan terhadap "keistimewaan ekonomi" AS, yakni anggapan bahwa ekonomi AS lebih tangguh dibanding negara lain, karena meningkatnya risiko resesi. Akibatnya, investor mulai beralih dari dolar sebagai aset safe haven ke mata uang lain seperti yen Jepang dan franc Swiss.

Ia juga menyebut adanya "rotasi besar" di mana investor asing mulai mendiversifikasi aset mereka dari AS ke wilayah lain seperti zona euro. Bagi investor yang masih bertahan di pasar AS, mereka kini menyadari pentingnya melakukan lindung nilai (hedging) terhadap fluktuasi mata uang. Permintaan untuk hedging ini turut menekan nilai dolar lebih lanjut.

Hilangnya Kepercayaan terhadap Dolar AS

Presiden Bank Sentral Eropa (ECB), Christine Lagarde, pada Jumat menyatakan bahwa ECB siap menggunakan berbagai instrumen yang dimilikinya untuk menjaga stabilitas keuangan. Ia menegaskan bahwa ECB memiliki rekam jejak kuat dalam merancang kebijakan saat menghadapi ketidakstabilan.

Di tengah ketidakpastian global dan melemahnya dolar AS, euro melonjak 1,25% menjadi US$1,134050yang mana merupakan level tertingginya sejak Februari 2022 dan bersiap mencatat kenaikan mingguan terbesar sejak awal bulan lalu. Euro juga menguat terhadap poundsterling sebesar 0,43%, menunjukkan performa kuat mata uang tunggal tersebut secara keseluruhan.

Sementara itu, poundsterling naik 0,89% terhadap dolar AS ke level US$1,30825.

Berbeda halnya dengan DXY yang justru secara konsisten mengalamikoreksi.

Secara keseluruhan, pergerakan ini mencerminkan hilangnya kepercayaan investor terhadap dolar AS di tengah ketegangan perdagangan, kekhawatiran inflasi, dan kemungkinan resesi, yang mendorong investor untuk beralih ke mata uang dan aset lain yang dianggap lebih stabil.

Menurut Win Thin, kepala strategi pasar global di Brown Brothers Harriman (New York), pelemahan dolar dalam beberapa pekan terakhir tidak lagi hanya disebabkan oleh kekhawatiran akan resesi atau ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Ia mengatakan:

"Ini lebih pada hilangnya kepercayaan dan kredibilitas terhadap dolar, serta terhadap kebijakan ekonomi AS," ujar Win.

Biasanya, dalam situasi risk-off (ketika investor menghindari risiko), dolar AS akan menguat sebagai aset safe haven. Namun, kali ini peran itu justru diambil alih oleh yen Jepang dan franc Swiss, sementara dolar justru terus tertekan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |