Oleh Taufiq Abdul Rahim
Politik uang ini dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan dalam sistem demokrasi yang secara sadar dirusak demi kekuasaan dan kerakusan politik. Usaha ini dibangun oleh Raja Jawa “Konoha”
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Dinamika demokrasi politik terus berubah menjadi perhatian akademik. Dalam pemahaman keilmuan politik, melihat serta menganalisis demokrasi menjadi suatu segmentasi pemahaman tersendiri, di tengah berbagai tuntutan meningkatkan keilmuan politik. Pada dasarnya politik dalam konteks kenegaraan, kemasyarakatan dan kehidupan sosial-budaya adalah, kekuasaan. Jika berkaitan dengan politik, maka kekuasaan merupakan posisi yang seringkali diinginkan dalam interaksi serta aktivitas pergerakan aktivis politik. Sehingga dalam struktur kehidupan sosial kemasyarakatan, usaha memperoleh kekuasaan dilakukan dengan upaya mengiteraksikan hubungan antaramanusia sebagai makhluk sosial.
Menurut Mcshane & Glinow (2010), kekuasaan adalah batas individu, kelompok, atau asosiasi untuk memengaruhi orang lain, selanjutnya kekuasaan tidak diharapkan untuk mengubah perilaku individu, tetapi kemungkinan untuk mengubah seseorang. Kemudian Jenny Thomas (1995) dan Mc Shane dan Van Glnow (2010) merekomendasikan lima sumber kekuatan dalam asosiasi; khususnya kekuatan asli, kekuatan penghargaan, kekuatan koersif, kekuatan master, dan kekuatan referensi.
Karenanya kekuasaan asli adalah pemahaman individu yang berwibawa bahwa orang-orang dalam pekerjaan tertentu dapat memutuskan praktik khusus orang lain.
Maka pemahaman kekuasaan secara empirik tergambar biasanya ditentukan oleh serangkaian tanggungjawab yang diharapkan dalam suatu situasi. Dalam praktik nyata adanya penghargaan terhadap perilaku peribadi juga interaksi terhadap orang lainnya. Makanya pemahaman kekuasaan dalam interaksi antarmanusia serta konteks sosial sebagai situasi yang kondusif serta mendukung antara satu dengan lainnya. Hal ini dapat dipahami yaitu, kekuasaan tidak sama dengan kekuatan. Kekuasaan adalah kapasitas untuk memengaruhi orang lain dengan tujuan bahwa individu perlu melakukan keinginan untuk memengaruhi (Heywood, 2004).
Dalam konteks, kekuasaan dapat diperoleh dengan berbagai cara, ada yang (memaksa) dan ada yang dengan kesepakatan (tanpa paksaan). Bahwasanya, jika politik berbalut demokrasi, ini juga memiliki konsekuensi pemahaman yang berkembang menjadi menarik dalam kehidupan kontemporer.
Hal yang berhubungan dengan demokrasi politik, juga memiliki azas keilmuan serta praktik empirik yang terus menerus mengalami dialektika serta dinamika perkembangan. Ini selaras dengan kondisi kehidupan sosial kemasyarakatan yang dibangun serta selaras dengan pengetahuan dan alas pemahaman yang berlaku.
Karenanya dasar keilmuan yaitu, demokrasi adalah sesuatu yang dianggap penting karena merupakan gagasan politik yang mengandung nilai-nilai yang sangat diperlukan sebagai acuan terhadap interaksi serta integrasi menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Kemudian dipahami demokrasi dipandang sangat penting, karena merupakan alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama masyarakat atau pemerintah yang baik. Dalam kondisi politik yang sesungguhnya, yakni demokrasi menempati posisi vital, jika ini berhubungan dengan pembagian kekuasaan dalam suatu negara. Maka gambaran umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica, bahwasanya kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Menurut Husin (2005:2) demokrasi sebagai suatu pemerintahan dimana dalam pokoknya semua orang (rakyat) adalah berhak sama untuk memerintah dan juga untuk diperintah.
Ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab. Bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Karena itu jika dikaitkan dengan kehidupan bernegara, ini menjadikan politik ada hubungannya dengan negara sebagai suatu organisasi terdepan dalam suatu masyarakat dan khususnya dengan pemerintah sebagai pelaksana dalam suatu negara. Ini selaras pula pemahaman Duverger (2000:18), kata politik dalam konotasinya yang biasa yaitu, yang berhubungan dengan negara. Dimana negara dan atau elit pengelola kekuasaan politik negara diambil untuk mengartikan kategori bahwa khusus dari kelompok-kelompok manusia atau masyarakat. Sehingga secara praktik politik ada dua arti negara bangsa (nation-state) yang menunjukkan masyarakat nasional yaitu komunitas rakyat dan atau masyarakat modern, berperihal kontemporer paling kuat terorganisir dan paling utuh berintegrasi dan pengelolaan negara yang benar.
Hal yang prinsipil semestinya kondisi kehidupan demokrasi politik yang bertujuan bagi kehidupan rakyat dalam nation-state menuju kemakmuran dan kesejahteraan secara realitas, bertanggungjawab dan berkelanjutan. Hanya saja kerusakan demokrasi politik yang ideal dikarenakan kekuasaan yang berlebihan atau abused of power. Hal ini berlaku dalam perilaku kehidupan politik kerakusan kuasa daripada Raja Jawa yang dibangun untuk memperkuat dinasti kenegaraan “Konoha” bersama mafia. Bahkan sangat meyakinkan kekuasaan politik Raja Jawa di “Konoha” memberikan kesan bahwa, tak terkalahkan dan tersentuh hukum. Karena meski disadari bersama banyak penyimpangan dan pelanggaran hukum, mengangkangi aturan serta etika-moral, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), merampas dan merampok sumber daya alam (resources).
Perilaku politiknya semakin pongah karena dilindungi oleh suprastruktur dan infrastruktur negara “Geng Kampung Konoha” yang dibina serta dibesarkan dari kampungnya. Hal ini, termasuk pemangku kekuasaan selama lima tahun terakhir menjadi bawahan dan bestinya, dijebak serta dijerat dengan kelicikan politik. Sehingga semakin nyata rusaknya demokrasi politik melalui keculasan dan praktik licik Raja Jawa di Negara Konoha.
Makanya gambaran rusaknya demokrasi politik yang dibangun melalui ambisi yang tidak terkendali, terutama memiliki nafsu untuk menguasai kekayaan finansial diperoleh dengan berbagai cara, serta menghalalkan segala cara. Ini menjadi alat politik yang dibanggakannya, terhadap praktik politik yang memiliki daya rusak demokrasi, sehingga politik uang ini menjadi permasalahan pertama sebagai perusak demokrasi. Karena pada saat ini fenomena tersebut, merupakan fenomena yang sudah menjadi rahasia umum. Karena politik uang merupakan fenomena praktik negatif dalam mekanisme elektoral sistem demokrasi.
Kemudian politik uang ini dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan dalam sistem demokrasi yang secara sadar dirusak demi kekuasaan dan kerakusan politik. Usaha ini dibangun oleh Raja Jawa “Konoha”. Menurut Nurgiansah (2022) yaitu, merusak demokrasi karena praktik-praktik politik dinasti cenderung memengaruhi proses yang mestinya demokratis, menjadi tidak demokratis karena campur tangan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, kekuatan, pengaruh, finansial dan infrastruktur politik yang kuat, bermakna, bungkusnya demokrasi tetapi isinya tidak demokratis.
Sehingga, pengaruh kekuasaan dan kerakusan politik dinasti Raja Jawa bersama mafia dan oligarki dengan imajinasi kerajaan, menentukan pemimpin berdasarkan pewarisan serta ditunjuk secara langsung. Secara realitas ilustrasi dewasa ini menjadikan pemimpin lanjutan, juga mencari kepala daerah lewat jalur politik prosedural. Dimana keluarga para elit politik kekuasaan lewat institusi yang dimobilisasi dan direkayasa disiapkan, yaitu partai politik.
Dengan membungkus demokrasi politik, yaitu “patrimonialistik dibungkus dengan prosedural”. Maka rusaknya demokrasi politik negara “Konoha” secara mendasar merupakan ambisi politik kekuasaan dan kerakusan politik dinasti jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang berproses melemahkan demokrasi itu sendiri.
Dengan sebuah keyakinan seluruh infrastruktur politik, pemangku kekuasaan politik yang telah terjebak dengan praktik politik culas dan licik dibawah kekuasaan Raja Jawa terdahulu, sangat berkeyakinan bahwa pemegang kekuasaan baru menjadi tidak berdaya, mudah dimasukkan jebakan dan dibayangi kekuasaan masa lalu. Dengan pongahnya mengatur serta menyitir bayang-bayang kekuasaan politik yang dimainkan melalui orang-orang yang ditempatkannya dalam elit kekuasaan dengan terminologi demokrasi yang dibangun secara korup, politik uang dan kekuasaan culas di antara serta di tengah penguasa saat ini.
Sehingga seringkali penguasa politik saat ini tidak berdaya dan takut bayang-bayang kekuasaan orang-orang yang ditempatkan Raja Jawa yang sering berhubungan serta berkonsultasi dengannya. Maka dengan kekayaan dan kekuasaan selama ini merampas dan merampok uang rakyat secara brutal dan ugal-ugalan, di samping itu rakyat dijebak serta dijerat hutang negara. Ini disebabkan kerakusan Raja Jawa dengan kekuasaan otoriter didukung aparatur negara yang dibina selama ini, menjadi setia terhadapnya juga melindungi politiknya.
Penulis adalah Dosen FE Universitas Muhammadiyah Aceh Dan Peneliti Senior PERC-Aceh.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.