Oleh Asep Safaat Siregar, M.Pd
“Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan atasnya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya…” (HR. Bukhari)
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Setelah sebulan penuh kita ditempa dalam madrasah Ramadhan, madrasah iman, madrasah ketakwaan, madrasah akhlak, kini tibalah masa pembuktian, apakah hasil dari pelatihan Ramadhan itu benar-benar meresap ke dalam hati dan menjadi kebiasaan yang berkelanjutan? Di bulan Ramadhan kita dilatih untuk mengendalikan hawa nafsu, membangun kedekatan dengan Allah, memperkuat ukhuwah, serta memperbanyak amal kebajikan. Suasana Ramadhan begitu syahdu, suasana ibadah terasa hidup.
Namun kini Ramadhan telah berlalu. Yang tersisa adalah apa yang kita bawa darinya. Dan disinilah Syawal memainkan peran. Ia bukan hanya penanda akhir Ramadhan, tetapi permulaan ujian sejati, apakah kita mampu mempertahankan dan meningkatkan kualitas iman dan amal yang telah dibangun?
Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183). Ayat ini dengan jelas menyebutkan bahwa tujuan dari puasa adalah takwa. Maka nilai sejati dari puasa bukanlah semata-mata menahan lapar dan dahaga, melainkan membentuk kepribadian yang bertakwa. Dan ketakwaan bukanlah hasil yang bisa diukur dalam sehari dua hari, tetapi dalam proses berkelanjutan setelah Ramadhan berakhir.
Mari kita renungkan, apakah setelah Ramadhan kita semakin taat atau justru kembali lalai? Apakah kita semakin peduli kepada sesama, atau kembali sibuk hanya dengan diri sendiri? Apakah kita terus menjaga shalat berjamaah, atau kembali terjebak dalam kesibukan dunia? Inilah hakikat pembuktian. Kesalehan yang sejati bukan hanya tampak saat Ramadhan, tetapi lebih penting setelah Ramadhan.
Syawal berasal dari kata syala – yashulu, yang berarti meningkat. Para ulama menyebutnya sebagai isyarat bahwa setelah Ramadhan, seorang muslim harus meningkatkan kualitas ibadah dan amal salehnya. Jangan sampai setelah Ramadhan, justru amal menurun drastis. Jangan sampai kita termasuk orang yang hanya rajin ibadah karena Ramadhan, tapi loyo dan malas setelahnya.
Sebagai tanda keberlanjutan ibadah, Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa sepanjang tahun” (HR. Muslim). Hadis ini bukan sekadar menunjukkan keutamaan puasa enam hari, tapi lebih dari itu: menunjukkan bahwa ibadah itu tidak berhenti di Ramadhan. Bahwa ada semangat untuk menjaga kontinuitas dalam beramal. Karena kesalehan sejati adalah kesalehan yang konsisten.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan, orang yang berhenti beribadah setelah Ramadhan seperti orang yang membangun rumah selama sebulan, tapi langsung menghancurkannya di bulan berikutnya. Bukankah itu merugikan? Oleh karena itu, bulan Syawal adalah momen evaluasi dan aksi. Kita menilai apa yang telah kita capai di Ramadhan, lalu memperkuat niat dan langkah untuk menjadikan amal itu sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Mari kita perhatikan beberapa indikator pembuktian kesalehan di bulan Syawal ini: Pertama, Shalat Fardhu Berjamaah. Di bulan Ramadhan, banyak dari kita begitu semangat ke masjid. Tarawih 20 rakaat pun dilakoni dengan khusyuk. Tapi kini, bagaimana shalat lima waktu kita? Apakah masih di masjid, atau sudah kembali sendiri-sendiri bahkan kadang tertinggal?
Kedua, Membaca dan Merenungkan Al-Quran. Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an. Tapi setelahnya, apakah mushaf itu masih terbuka setiap hari? Apakah kita masih menyempatkan diri membaca, menadabburi, dan mengamalkan isi Al-Qur’an?
Ketiga, Sikap dan Akhlak. Di Ramadhan kita menahan amarah, menjaga lisan, bersikap lembut dan sabar. Setelah Ramadhan, apakah kita kembali mudah marah, menggunjing, berbohong, atau bersikap kasar?
Keempat, Kedermawanan dan Empati Sosial. Di bulan Ramadhan, kita aktif bersedekah, memberi makanan berbuka, menyantuni yatim, menyisihkan harta. Setelah Ramadhan, apakah kita masih peduli pada yang kekurangan? Atau kembali pelit dan mementingkan diri sendiri?
Kelima, Kehidupan Keluarga dan Sosial. Ramadhan mempererat hubungan keluarga dan masyarakat. Saat Syawal, mari kita jaga silaturahmi, saling memaafkan, saling mendoakan dan menguatkan.
Jika semua ini masih kita jaga, maka insya Allah, kita termasuk orang-orang yang berhasil membawa berkah Ramadhan ke bulan-bulan berikutnya. Kita juga perlu menyadari bahwa istiqamah dalam beribadah adalah tanda kecintaan Allah kepada seorang hamba. Dalam hadits Qudsi, Allah berfirman: “Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan atasnya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya…” (HR. Bukhari).
Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang kontinu, meskipun sedikit. Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda: “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling kontinu, walaupun sedikit” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka mari kita mulai dari yang ringan tapi berkelanjutan: shalat tepat waktu, sedekah harian walau seribu rupiah, membaca satu halaman Al-Quran tiap hari, menjaga lisan dari ghibah, dan terus menata niat dalam segala perbuatan. Karena kesalehan itu bukan perkara besar di depan orang banyak, tapi kebiasaan baik di saat sepi.
Kita juga tidak boleh lupa, bahwa tantangan setelah Ramadhan bisa jadi lebih berat. Godaan syaitan kembali bebas, rutinitas duniawi kembali menyibukkan, dan hawa nafsu kembali menguat. Namun justru di sinilah nilai kesalehan diuji. Apakah kita masih mampu menjaga diri di luar atmosfer Ramadhan? Itulah mujahadah, perjuangan yang sebenarnya. Dan orang-orang yang terus berjuang itu, dijanjikan oleh Allah petunjuk dan pertolongan. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Al-Ankabut: 69).
Maka mari kita berdoa dan berusaha untuk terus berada dalam jalan kebaikan ini. Jadikan Syawal sebagai awal yang kuat, pondasi untuk terus memperbaiki diri dan mendekat kepada Allah. Jangan jadikan Ramadhan sebagai memori indah, tetapi jadikan ia sebagai turning point, titik balik kehidupan kita. Maka mari kita perkuat komitmen untuk menjaga amal saleh, memelihara semangat Ramadhan, dan membuktikan bahwa kita adalah hamba-hamba Allah yang bertakwa. Mari kita jaga semangat itu dalam 11 bulan ke depan, sampai kita bertemu lagi dengan Ramadhan berikutnya, jika Allah berkehendak. Semoga kita semua termasuk hamba yang istiqamah, yang amalnya diterima, yang dosanya diampuni, dan yang kelak ditempatkan di surga bersama Rasulullah SAW. Wallahu a’lam.
Guru Dan Kepala Divisi Humas dan Pemberdayaan Umat Pesantren Modern Unggulan Terpadu “Darul Mursyid”, Saipar Dolok Hole, Tapsel
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.