
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Bendera Jolly Roger hanya keberanian figuratif melawan ketidakadilan; tak punya senjata, tak punya manifesto revolusi.
Selembar kain bergambar tengkorak bertopi jerami berkibar di udara. Tak ada moncong senapan, tak ada tuntutan separatis. Tapi beberapa pejabat mendadak panik, seperti melihat makar. Di negeri yang aparaturnya bisa tidur nyenyak di tengah krisis pangan dan pengangguran, justru sebuah bendera fiksi yang membuat mereka gelisah bukan main.
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Bendera Jolly Roger—ikon dari serial fiksi One Piece—dikibarkan sejumlah anak muda dalam beberapa kegiatan menjelang kemerdekaan. Mereka tahu itu bukan simbol negara, bukan lambang partai, apalagi panji tipu muslihat. Tapi simbol dari semangat melawan ketidakadilan yang semakin hari kian absurd. Apa yang dilakukan mereka tidak lebih dari kritik berselimut humor—sebuah satire sosial. Tapi di mata sebagian pejabat, itu dianggap berpotensi kejahatan negara.
Pernyataan datang bertubi-tubi. Dari Menkopolhukam Budi Gunawan hingga Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Semua berlomba-lomba memperingatkan rakyat akan “bahaya” bendera fiksi itu. Ada yang menyebutnya gerakan sistematis. Ada pula yang menyinggung potensi makar. Kita menunggu saja, barangkali akan ada RUU Anti Bajak Laut Populer segera diajukan.
Untungnya, akal sehat belum benar-benar punah. LBH Medan menegaskan pengibaran bendera Jolly Roger tidak bisa dikategorikan tindakan makar. “Itu adalah bentuk ekspresi yang dijamin konstitusi. Bahkan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 pun tidak ada larangan mengibarkan bendera non-negara, selama tidak diposisikan sejajar atau lebih tinggi dari Merah Putih,” tegas Irvan Saputra, Direktur LBH.
Apa yang terjadi sebenarnya lebih dari hanya debat soal kain bergambar tengkorak. Ini menggambarkan mentalitas kekuasaan yang buruk, rapuh—mudah tersinggung, cepat curiga, dan terlalu bernafsu mengatur. Pemerintah dan wakil rakyat begitu sigap ketika rakyat berekspresi, tapi lelet saat harga sembako melambung, pendidikan amburadul, dan korupsi merajalela. Mereka seolah punya radar yang hanya menyala ketika kritik muncul, tapi padam ketika rakyat menjerit.
Ketakutan terhadap simbol fiksi seperti ini bukan cuma lucu, tapi menyedihkan. Negara seperti kehilangan kemampuan membedakan antara ancaman nyata dan kelakar budaya pop. Alih-alih menanggapi santai, negara justru menampilkan wajah otoriter yang mudah terpicu. Padahal, bendera Jolly Roger tak punya senjata, tak punya manifesto revolusi. Yang ia miliki hanya satu: keberanian figuratif melawan ketidakadilan.
Sikap berlebihan terhadap bentuk-bentuk kritik semacam ini adalah kemunduran demokrasi. Konstitusi menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, bahkan ketika ekspresi itu terasa pahit bagi mereka yang berkuasa. Jika pemerintah dan DPR alergi terhadap kritik kreatif semacam ini, mungkin yang mereka butuhkan bukan penasihat hukum, melainkan pelatih mental.
Daripada sibuk menebar ancaman hukum kepada anak-anak muda pembaca manga, lebih baik pejabat kita menengok ke dalam: sudah sejauh mana amanat rakyat dijalankan? Daripada mengintip tiang bendera rakyat, lebih bijak mereka melihat ke bawah: ke meja-meja makan yang kosong, ke sekolah-sekolah yang roboh, ke desa-desa yang menunggu janji ditepati.
Sebab, jika negara bisa gemetar hanya karena selembar kain bergambar tengkorak, barangkali yang perlu dikibarkan bukan cuma bendera, melainkan juga akal sehat—karena rupanya, yang mereka takuti bukan makar, melainkan cermin yang menunjukkan bayangan wajah dan kelakuan mereka sendiri; para badut politik.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.