Awas! Produksi CPO 2026 Diramal Turun-Deret Masalah Intai RI Efek B50

3 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) memprediksi, produksi minyak sawit nasional tahun 2026 nanti berpotensi merosot 4-5% dari tahun 2025 ini. Diperkirakan, produksi minyak sawit nasional hingga akhir tahun 2025 nanti berkisar total 56,2 juta ton. Terdiri dari 51,3 juta ton minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO), ditambah 4,9 juta ton minyak kernel mentah (crude palm kernel oil/ CPO).

Mengutip data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), total produksi minyak sawit nasional tahun 2024 tercatat mencapai 52,76 juta ton. Sementara, sepanjang Januari-Juli 2025, produksi minyak sawit nasional secara total sudah mencapai 33,49 juta ton. Terdiri dari 30,58 juta ton CPO dan 2,90 juta ton CPKO.

"Prediksi DMSI, produksi CPO di tahun 2026 akan merosot sekitar 4-5% di bawah pencapaian produksi tahun 2025 ini. Karena sekian ratus ribu hektare lahan sawit yang masuk kategori 'kawasan hutan dan bermasalah'," kata Ketua Umum DMSI Sahat Sinaga kepada CNBC Indonesia, Senin (27/10/2025).

"Lahan-lahan bermasalah ini mengalami hambatan perawatan, pemupukan dan lainnya, karena banyak yang masih berposisi tak jelas. Antara lain, proses hukum, verifikasi HGU, dan inkrah," sambung Sahat.

DMSI Minta Mandatory B50 Ditinjau Ulang

Dalam kondisi ini, DMSI mengambil posisi yang sama dengan petani yang tergabung dalam Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI), yaitu menolak rencana pemerintah menaikkan kewajiban penggunaan bahan bakar minyak (BBM) campuran solar dengan bahan bakar nabati sawit sebesar 50% atau biodiesel 50 (B50). Dari saat ini mandatory B40.

"Kami dari DMSI melihat penerapan B-50 harus ditijau dari berbagai segi, dan mana yang paling memberikan manfaat bagi Indonesia," kata Sahat.

Sahat menjelaskan, dari segi teknis, biodiesel termasuk kategori/ jenis Oxygenate, artinya menghisap air sewaktu di tangki timbu.

"Ini berbahaya bagi engine pemakai, bisa rusak total. Oleh karena itu pemakaiannya relatif secara teknis, hanya terbatas pada proporsi tertentu, misalnya B5 - B30. Berbeda dengan jenis HVO (Hydrogenated Vegetable Oil) yang bersifat Drop-in, prosentasi blending bisa berapa saja, karena minyak solar ini sudah 100% seperti fosil," terangnya.

Sementara dari segi finansial, Sahat menyoroti harga minyak dunia.

"Harga Brent Oil (fossil) menukik tajam ke level US$61,7/barrel, artinya dikonversi ke solar/diesel akan mencapai harga US$86,4/barrel. 1 kiloliter setara 6,29 barrel. Harga CPO di sekitar US$950/ton, ditambah US$85/ton, jadi harga Biodiesel = US$1.035/ton - density 0,87 kiloliter/Ton, maka harga biodiesel = US$900,5/kiloliter, atau dalam barel harga biodiesel (=FAME) = US$143,2 /barrel," paparnya.

"Menggunakan biodiesel perlu tambahan biaya US$56,8/barrel dibanding memakai solar fosil. Dengan meningkatkan B40 ke B50, maka perlu biodiesel tambahan 3,2 juta ton CPO per tahun. Artinya, konversi ke FAME perlu 3,2 juta Ton x 1,149 kiloliter/ton setara 3,68 juta kiloliter FAME/tahun atau 23,1 juta barrel. Untuk itu perlu extra funding nasional untuk menutupi selisihnya sekitar US$1.312 juta/tahun atau sekitar Rp 21,8 triliun," tukas Sahat.

Belum lagi, imbuh dia, menaikkan mandatory bidiesel ke B-50 akan berpengaruh pada volume ekspor yang semakin menurun.

"Ini akan menyebabkan pasokan vegetable oil (minyak nabati) di pasar global short (terbatas/ langka) dan harga akan meningkat. Yang pada akhirnya berpengaruh pada harga CPO di lokal juga meningkat. Akibatnya, harga minyak goreng di pasar dalam negeri juga akan meningkat," beber Sahat.

"Karena itu, tergantung pada prioritas pemerintah, mau ke arah mana," tukas Sahat.

Di sisi lain, Sahat pun meminta pemerintah fokus menyelesaikan persoalan-persoalan terkait lahan sawit di Indonesia.

"Soal legalitas dari lahan/kebun-kebun sawit ini diprioritaskan/fokus untuk diselesaikan dalam waktu se-singkat-singkatnya," cetus Sahat. 

Petani Tolak Rencana B50

Terpisah, Ketua Umum POPSI Mansuetus Darto mengatakan, pihaknya menolak rencana pemerintah menaikkan mandatory biodiesel dari B40 menjadi B50 karena berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap pasokan bahan baku industri pangan, keseimbangan keuangan Dana Perkebunan
(BPDP), serta kesejahteraan petani sawit rakyat.

"Kenaikan B50 akan mengganggu pasokan untuk industri pangan. Peningkatan campuran biodiesel hingga B50 akan meningkatkan serapan CPO (Crude Palm Oil/ minyak sawit mentah) di sektor energi, sehingga pasokan untuk industri pangan berkurang," kata Ketua Umum POPSI Mansuetus Darto dalam keterangannya kepada CNBC Indonesia, Senin (27/10/2025).

"Kalau konsumsi sawit untuk biodiesel terus dinaikkan, otomatis pasokan untuk industri minyak goreng dan pangan akan menipis. Ini akan menekan pelaku industri dan masyarakat karena harga minyak makan bisa naik lagi. Pemerintah perlu hati-hati dan tidak hanya melihat sisi energi," tambahnya.

Di saat bersamaan, lanjut dia, harga CPO akan terdongkrak naik.

"Harga CPO akan naik. Sementara, banyak yang buat (produsen) minyak goreng yang tidak punya kebun. Mereka akan beli CPO, harga minyak goreng bisa terganggu. DMO (domestic market obligation/ wajib pemenuhan dalam negeri)," ucapnya.


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Siap-Siap, RI Punya 'BBM Baru' Tahun Depan

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |