Alarm Bahaya! Masyarakat Kuras Tabungan, Bank Bisa Perang Dana Murah

1 month ago 14

Jakarta, CNBC Indonesia - Jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) perorangan terus mengalami kontraksi. Kondisi ini bisa berdampak besar terhadap kemampuan perbankan mendapatkan dana murah dari masyarakat. Kontraksinya DPK perorangan juga menunjukkan adanya penarikan dana dari masyarakat untuk memenuhi kebutuhan.

Data Uang Beredar dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan DPK pada periode Januari 2025 tercatat Rp8.599,4 triliun atau tumbuh 5,3% (year on year/yoy). DPK korporasi tercatat tumbuh 14,2% (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya sebesar 10,7%.

Sebaliknya, DPK perorangan pada Januari 2025 tercatat mengalami kontraksi sebesar 2,6%, lebih dalam dibandingkan hingga 2,1% pada Desember 2025.Kontraksi pada Januari juga memperpanjang catatan negatif pada DPK perorangan menjadi tiga bulan beruntun.

Sementara itu, penyaluran kredit pada Januari 2025 diklaim BI tetap kuat sebesar Rp 7.684,3 triliun atau tumbuh 9,6% (yoy).

"Ini relatif stabil dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 9,7% (yoy)," ungkap BI.

DPK Perorangan Kontraksi: Kabar Buruk Buat Ekonomi RI?

DPK pada dasarnya merupakan dana atau uang yang disimpan oleh masyarakat dalam berbagai bentuk di bank (misalnya tabungan, giro, maupun deposito). Bank mengumpulkan dana ini dari nasabah dan menggunakannya untuk memberikan pinjaman atau kredit kepada individu maupun bisnis.

Maka dari itu, apabila DPK perbankan dapat tumbuh dengan baik, perbankan akan memiliki kesempatan untuk dapat menyalurkan kredit (misalnya, kredit rumah atau modal usaha) dan berujung pada laba atau net profit.

Jadi, DPK sangat penting bagi bank karena menjadi sumber dana utama yang memungkinkan mereka menjalankan bisnis dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Salah satu yang menjadi perhatian perihal data DPK adalah DPK perorangan yang menurut pantauan CNBC Indonesia Research, terjadi kontraksi selama tiga bulan beruntun yakni sejak November dan Desember 2024 kemudian diikuti dengan Januari 2025.

Secara tahunan, kontraksi DPK Perorangan pada November dan Desember 2024 tercatat masing-masing sebesar 2% dan 2,1%. Sedangkan pada Januari 2025 terpantau terkontraksi sebesar 2,6% yoy.

Total DPK Perorangan mengalami kemunduran yakni dari Rp4.073,4 triliun (Desember 2024) menjadi Rp4.044 triliun (Januari 2025).

Dilihat dari jenisnya, kontraksi terjadi pada giro dan simpanan berjangka atau deposito.

Deposito perorangan terkontraksi 6,8% (yoy) pada Januari 20255, lebih dalam dibandingkan pada Desember 2024 yang tercatat koreksi 5,3%.

Pada jenis giro perorangan, angkanya juga terkontraksi 50,7% pada Januari 2025 atau lebih dalam dibandingkan pada Desember 2024 sebesar 50,1%. Sementara itu, pertumbuhan tabungan perorangan stagnan di angka 4,8%.

Gambaran tersebut menunjukkan masyarakat tengah menarik deposito dan giro mereka. Tabungan adalah simpanan uang yang bisa diambil sewaktu-waktu. Di sisi lain, deposito merupakan salah satu produk investasi yang hanya bisa diambil setelah jangka waktu tertentu.

Giro adalah produk simpanan di bank yang sering digunakan untuk pembayaran non-tunai, seperti untuk pelunasan tagihan.

Sebagai informasi, DPK Perorangan adalah dana yang dihimpun oleh bank dari individu (perorangan) dalam bentuk berbagai jenis simpanan. DPK ini menjadi sumber utama likuiditas perbankan dan digunakan untuk mendukung penyaluran kredit serta berbagai layanan keuangan lainnya.

DPK Perorangan lebih mencerminkan perilaku finansial masyarakat umum, seperti kebiasaan menabung, investasi, dan konsumsi.

Dengan penurunan DPK Perorangan, maka dampaknya dapat dirasakan dalam berbagai aspek, baik di sektor perbankan maupun ekonomi secara keseluruhan. Berikut beberapa dampak utamanya:

1. Dampak terhadap perbankan

  • Penurunan likuiditas bank

DPK adalah sumber utama dana murah bagi bank untuk menyalurkan kredit. Jika DPK perorangan menurun, bank memiliki lebih sedikit dana untuk dipinjamkan, sehingga bisa menghambat ekspansi kredit.

  • Bank Bersaing dan Perang Demi Dana Murah

DPK adalah dana murah yang sangat dibutuhkan bank. Jika DPK mengecil maka pasokan dana murah akan semakin terbatas. Bank pun bisa semakin kesulitan dan bersaing dalam memperebutkan bunga murah di masyarakat dengan menawarkan bunga simpanan yang semakin besar.

  • Kenaikan suku bunga kredit

Untuk menjaga likuiditas, bank mungkin menaikkan suku bunga pinjaman guna menarik simpanan baru atau membatasi pemberian kredit. Hal ini bisa meningkatkan biaya pinjaman bagi nasabah.

  • Pengurangan penyaluran kredit

Dengan keterbatasan dana, bank menjadi lebih selektif dalam memberikan kredit, yang bisa memperlambat pertumbuhan bisnis dan investasi.

  • Potensi risiko kredit macet

Jika penyaluran kredit berkurang dan ekonomi melemah, nasabah yang bergantung pada pinjaman mungkin kesulitan memenuhi kewajiban keuangan mereka, meningkatkan risiko kredit macet (NPL - Non-Performing Loan).

2. Dampak terhadap ekonomi makro

  • Pelemahan pertumbuhan ekonomi

Kredit perbankan adalah salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi. Jika akses terhadap kredit berkurang, berbagai sektor ekonomi, seperti manufaktur, properti, dan perdagangan, bisa terkena dampak negatif.

  • Perlambatan investasi

Jika penurunan DPK perorangan terjadi dalam jangka waktu lama maka investasi akan terhambat. Perlambatan DPK membuat bank kesulitan mendapatkan dana murah untuk modal kredit. Suku bunga pun sulit turun sehingga akibatnya investasi bisa mengecil.

3. Dampak terhadap Stabilitas Keuangan

  • Ketidakstabilan Sistem Perbankan

Jika penurunan DPK terjadi secara drastis (bank run), ada potensi gangguan terhadap sistem keuangan karena bank mungkin kesulitan memenuhi kebutuhan likuiditasnya.

  • Perubahan Kebijakan Moneter

Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mungkin perlu melakukan intervensi, seperti menurunkan suku bunga acuan atau memberikan insentif agar masyarakat kembali menabung di bank.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |