Utak-Atik Alokasi Pinjaman Luar Negeri Periode 2020-2024

3 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Saat ini pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia telah memasuki Rencana Strategis (Renstra) 2025-2029 yang dikenal juga sebagai Optimum Essential Force yang merupakan kelanjutan Minimum Essential Force periode 2010-2024. Meskipun demikian, urusan yang terkait dengan Renstra sebelumnya belum tuntas di mana pekerjaan rumah yang tersisa bukan cuma melakukan aktivasi sekitar 40 kontrak pengadaan sistem senjata yang dibiayai oleh Pinjaman Luar Negeri (PLN).

Seiring dengan terjadinya pergantian pemerintahan hampir setahun silam, alokasi PLN periode 2020-2024 untuk Kementerian Pertahanan kembali diutak-atik. Bila pada 28 November 2023 Presiden Joko Widodo memotong alokasi PLN dari US$ 34,4 miliar menjadi US$ 25 miliar, maka pada Agustus 2025 jatah PLN untuk belanja sistem senjata kembali dinaikkan ke angka US$ 9,7 miliar atas persetujuan Presiden Prabowo Subianto.

Memperhatikan daftar kegiatan belanja dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2020-2024 revisi kelima, program-program yang tercantum sama sekali tidak mengembalikan semua kegiatan yang dibatalkan akibat pemotongan sebesar US$ 9,4 miliar pada 28 November 2023. Sebaliknya, berbagai kegiatan belanja yang diakomodasi dalam dokumen tersebut ialah aktivitas yang dipandang mendesak menurut pandangan pemerintahan saat ini.

Sifat belanja mendesak tersebut sebenarnya dapat diperdebatkan apabila menelusuri lebih dalam terhadap 16 daftar program belanja yang tercantum dalam dokumen yang diterbitkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Andaikata ditelaah lebih jauh, beberapa program belanja mesin perang yang tercantum dalam DRPLN JM 2020-2024 perubahan kelima ialah program yang awalnya dirancang tercatat dalam Blue Book 2025-2029.

Pertanyaannya, seberapa mendesak membeli jet tempur yang baru memiliki satu purwarupa dan diiklankan oleh pembuatnya sebagai generasi kelima di saat tidak ada data-data teknis yang mendukung klaim tersebut? Tentang rencana mendesak untuk pengadaan jet tempur itu menjadi pertanyaan besar sebab Indonesia tidak terlibat dalam program Technology Development (TD) dan Engineering, Manufacturing and Development (EMD) sama sekali.

Bandingkan dengan program KF-21 di mana Indonesia sudah berinvestasi dalam aktivitas TD dan EMD, namun hingga sekarang belum dipandang mendesak untuk diakuisisi. Begitu juga dengan rencana impor jet tempur J-10 dari China dan beberapa peralatan perang dari Turki di mana sifat mendesak tetap menjadi pertanyaan besar.

Padahal apabila dipandang dari sudut yang berbeda, tidak ada alasan mendesak guna buru-buru berbagai sistem senjata itu, apalagi bila faktor kapasitas fiskal pemerintah masuk dalam pertimbangan. Selain pembelian sistem senjata, Kementerian Pertahanan memiliki juga sejumlah program prioritas yang memerlukan anggaran besar pada tahun ini dan tahun depan, termasuk yang memakai pos anggaran belanja modal.

Dengan kata lain, perebutan ruang fiskal pemerintah untuk membiayai belanja peralatan pertahanan yang memakai skema PLN terjadi sangat sengit karena anggaran belanja modal Kementerian Pertahanan harus digunakan pula untuk kegiatan-kegiatan lain.

Mempertimbangkan bahwa belum lama ini Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertahanan sepakat untuk mulai tahun depan menghapus ketentuan RMP, diduga kuat program-program yang tercantum dalam DRPLN-JM 2020-2024 perubahan kelima mayoritas tidak akan memakai RMP jika lender setuju.

Penerbitan Blue Book 2020-2024 revisi kelima diikuti dengan peluncuran Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri (DRPPLN) Khusus Tahun 2024 dan Daftar Kegiatan Khusus (DKK) Tahun 2024 pada akhir Agustus 2025 oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Selanjutnya pada September 2025 Menteri Keuangan yang baru beberapa hari menjabat mengeluarkan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) terkait dengan DKK Khusus itu yang bernilai US$9,7 miliar.

Sebagai perbandingan, di masa Menteri Keuangan sebelumnya, jarak antara pengeluaran DKK Khusus oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dengan penerbitan PSP oleh Menteri Keuangan rata-rata adalah tiga bulan. Boleh jadi, pendeknya rentang waktu antara DKK Khusus dan PSP disebabkan oleh kepentingan mendesak dari sudut pandang subyektif pengambil keputusan di negeri ini.

Menyangkut DRPLN-JM 2020-2024 berikut PSP yang mengikuti, terdapat dua catatan yang perlu dicermati oleh sejumlah pihak. Pertama, peran dominan Kredit Swasta Asing (KSA).

Berbeda dengan 10 PSP sebelumnya yang diterbitkan antara 2021 sampai 2024, PSP yang terakhir mengutamakan sumber pembiayaan yang berasal dari KSA daripada Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (LPKE). Padahal berdasarkan kalkulasi manajemen utang, pemerintah lebih aman dan diuntungkan bila menggunakan skema LPKE sebab biaya asuransi dan cakupan resiko ditanggung sepenuhnya oleh LPKE.

Sebaliknya, pemerintah akan menanggung risiko terkait dengan biaya asuransi dan cakupan risiko untuk utang dengan skema KSA jika terjadi sesuatu dengan kontrak terkait. Sebagaimana diketahui, semakin tinggi ketidakpastian, maka semakin tinggi pula resiko yang harus ditanggung oleh pihak asuransi.

Risiko tersebut selanjutnya disalurkan oleh pihak asuransi kepada penerima utang dalam bentuk biaya asuransi yang tinggi pula. Dalam urusan terkait skema KSA, Kementerian Keuangan merupakan otoritas yang berhak memilih lender dan firma asuransi bagi kegiatan belanja sistem senjata milik Kementerian Pertahanan.

Kedua, sumber pemasok peralatan perang. Data menunjukkan bahwa 14 program dari keseluruhan 16 kegiatan dalam PSP akan memakai skema KSA. Apabila didalami, mayoritas sistem senjata yang akan diimpor tersebut berasal dari negara yang tidak dapat memberikan fasilitas kredit ekspor kepada Indonesia sebagai akibat dalam credit risk rating yang buruk menurut lembaga seperti S&P Global, Fitch Ratings dan Moody's.

Ada pula rencana mendatangkan peralatan pertahanan dari negara yang sebenarnya memiliki credit rating yang bagus menurut institusi-institusi pemeringkat kredit global, akan tetapi sepertinya Indonesia menghindari pemakaian LPKE yang mungkin saja karena alasan compliance.

Merupakan hal yang logis bila KSA mendominasi dalam PSP terakhir bila mencermati sumber asal impor sistem senjata. Sebagian negara sumber impor mempunyai compliance yang cukup longgar dalam urusan perdagangan pertahanan, sehingga KSA menjadi pilihan favorit bagi Indonesia.

Boleh jadi skema penggunaan KSA akan mendominasi pula implementasi DPRLN-JM 2025-2029 mempertimbangkan bahwa kecenderungan terkini Indonesia yang lebih suka berbelanja peralatan pertahanan ke negara yang tidak ketat dalam penerapan compliance sekaligus memiliki credit rating yang buruk.

Apabila kecenderungan tersebut menjadi arus utama, maka salah satu konsekuensinya ialah meningkatnya risiko utang jangka panjang Indonesia di bidang pertahanan, apalagi andaikata kebijakan zero RMP diimplementasikan pada tahun depan.


(miq/miq)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |