Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan mengganti nama Departemen Pertahanan Negara dari Pentagon menjadi Departemen Perang. Menurut Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth, pergantian nama tersebut disebut-sebut sejalan dengan etos prajurit.
Trump akan segera menandatangani pergantian nama instansi tersebut. Langkah tersebut diperkirakan akan menelan biaya ratusan juta dolar dan disebut sebagai organisasi terbesar pemerintah.
Trump juga akan memerintahkan Hegseth untuk merekomendasikan tindakan legislatif dan eksekutif yang diperlukan untuk membuat perubahan nama tersebut menjadi permanen.
Sebagai informasi, hingga tahun 1949, departemen pertahanan AS disebut sebagai departemen perang. Namun, menurut para sejarawan, nama tersebut diubah sebagai sinyal bahwa di era nuklir, AS berfokus untuk mencegah perang.
Sejak menjabat pada bulan Januari, Trump memang telah mengganti nama sejumlah tempat dan institusi, termasuk Teluk Meksiko, dan mengembalikan nama asli pangkalan militer yang diubah setelah protes keadilan rasial.
Perubahan nama departemen jarang terjadi dan membutuhkan persetujuan kongres, namun rekan-rekan Trump dari Partai Republik memegang mayoritas tipis di Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Apalagi para pemimpin kongres partai telah menunjukkan sedikit keinginan untuk menentang inisiatif Trump.
Foto: Presiden AS Donald Trump dan Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung. (Tangkapoan Layar Video/Reuters)
Presiden AS Donald Trump dan Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung. (Tangkapoan Layar Video/Reuters)
Selain itu, perubahan nama ini akan membutuhkan pembaruan tanda dan kop surat tidak hanya oleh para pejabat di Pentagon di Washington DC, tetapi juga instalasi-instalasi militer di seluruh dunia.
Para kritikus mengatakan bahwa rencana perubahan nama ini bukan hanya mahal, tetapi juga merupakan gangguan yang dianggap tidak perlu bagi Pentagon.
Pergantian nama instansi pemerintahan AS juga pernah dilakukan oleh mantan presiden Joe Biden. Kala itu Ia berupaya mengganti nama sembilan pangkalan yang menghormati Konfederasi dan para pemimpin Konfederasi. Hal itu diperkirakan menelan biaya sebesar US$ 39 juta atau sekitar Rp 560 miliar. Namun, upaya itu dibatalkan oleh Hegseth pada awal tahun 2025.
Pada masa jabatan kedua Trump terus menerus menyebut dirinya sebagai presiden yang anti perang. Ia dengan tegas mengatakan bahwa negaranya tak akan memulai perang, bahkan menghentikan perang.
Pada pelantikannya, Trump mengatakan bahwa dia akan membangun militer terkuat yang pernah ada di dunia, dan berjanji bahwa keberhasilannya diukur dari perang yang akan diakhiri dan perang yang tidak pernah dilakukan.
"Warisan saya yang paling membanggakan adalah warisan sebagai pembawa perdamaian dan pemersatu," katanya.
Sebelumnya, Ia menyatakan bahwa Ia akan mengakhiri perang Rusia di Ukraina dalam waktu 24 jam setelah menjabat.
Trump yang telah berusaha menengahi penyelesaian perdamaian juga mengatakan bahwa Ia ingin kedua pemimpin bertemu dan telah mengancam kedua negara tersebut, sebelum menjatuhkan sanksi sekunder pada Rusia.
Namun, pada bulan Juni, pemerintahan Trump bergabung dengan serangan Israel ke Iran, mengebom tiga situs nuklir Iran. Langkah ini memecah belah beberapa pendukung Trump, yang memiliki ideologi "America First" dan menentang intervensionisme militer.
Trump juga terus mendukung sekutu dekatnya, Israel, yang terus melanjutkan perangnya di Gaza.
(rob/wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Video: Tarif Impor AS Dinilai Tak Konsisten, Pegatron Sebut Risikonya!