Terjepit Aluminium Alloy PT Inalum

3 hours ago 2
Editorial

25 Desember 202525 Desember 2025

Terjepit Aluminium Alloy PT Inalum

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Korupsi dalam skema penjualan hampir tak pernah kerja sendirian—ada orang dalam yang membuka pintu, pihak luar yang memanfaatkan celah, dan pengawasan yang sengaja “dibius”.

Di lembaran kertas, aluminium adalah logam masa depan: ringan, kuat, dan dibutuhkan banyak industri. Karena itu PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) sering dipajang sebagai etalase hilirisasi—janji nilai tambah tak lagi lari keluar negeri. Tapi etalase itu kini terbelah oleh perkara yang justru membocorkan sisi paling rapuh dari proyek “nilai tambah”: tata kelola.

Senin, 22 Desember 2025, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menahan tersangka baru berinisial OAK, mantan Direktur Pelaksana Inalum (periode 2019–2021), dalam perkara dugaan korupsi penjualan aluminium alloy. Dua pejabat Inalum telah lebih dulu ditahan: DS (SEVP Pengembangan Usaha) dan JS (Kepala Departemen Sales & Marketing) terkait transaksi penjualan aluminium alloy kepada PT Prima Alloy Steel Universal Tbk (PASU) pada 2019.

Modus yang diurai penyidik tampak teknis, tapi dampaknya telanjang: skema pembayaran yang semula disyaratkan tunai dan SKBDN diubah menjadi dokumen agent acceptance (D/A) bertenor 180 hari. Setelah perubahan itu, menurut Kejati dan laporan media, PASU tidak melakukan pembayaran atas aluminium alloy yang telah dikirim, sehingga kerugian negara pada Inalum diperkirakan sekitar US$8 juta (atau sekitar Rp133,49 miliar): angka pastinya masih dihitung.

Di sinilah ironi “alloy” menjadi alegori. Campuran logam seharusnya menghasilkan material lebih kuat. Campuran kepentingan justru melahirkan keputusan rentan. SKBDN dirancang untuk meredam risiko: ada bank, ada disiplin administrasi. D/A adalah kredit dagang—penjual menaruh percaya pada pembeli. Kredit dagang bisa wajar dalam bisnis, tetapi pada BUMN strategis, perubahan profil risiko mestinya melewati pagar berlapis: komite risiko, kepatuhan, direksi, dan pengawasan internal. Jika aturan ini bisa dilewati begitu saja, kita patut curiga: pengawasan internal tak berfungsi, atau ada kesengajaan “berniat jahat” di balik korupsi itu.

Kejati Sumut memberi sinyal perkara ini bukan letupan sesaat. Pada November 2025, penyidik menggeledah kantor Inalum untuk mencari dokumen proses penjualan—dari perencanaan hingga pembayaran—agar penanganan perkara “lebih terang”. Artinya, negara sedang menelusuri jejak dokumen: siapa mengusulkan perubahan, siapa menyetujui, siapa mematikan alarm, dan siapa menikmati ruang gelap di antara paragraf-paragraf kontrak.

Persoalan terbesar bukan berhenti pada tiga nama. Pertanyaanya: bagaimana mungkin sebuah BUMN yang mengelola komoditas bernilai besar bisa sedemikian mudah berbelok dari mekanisme pembayaran yang lebih aman? Di titik ini, kasus Inalum mengingatkan hilirisasi tanpa integritas hanya melahirkan industri yang terlihat impresif tapi pondasinya keropos. Kita bisa membangun pabrik dan mengejar target produksi, tetapi bila prosedur dapat dipilin untuk menguntungkan segelintir orang, yang longsor adalah kepercayaan publik—modal termahal bagi perusahaan yang mengatasnamakan negara.

Kejaksaan menyatakan penyidikan masih berjalan dan membuka peluang tersangka baru, termasuk korporasi, jika ada pihak lain yang terlibat. Itu langkah tepat: korupsi dalam skema penjualan hampir tak pernah kerja sendirian—ada orang dalam yang membuka pintu, pihak luar yang memanfaatkan celah, dan pengawasan yang sengaja “dibius”. Jika penelusuran berhenti pada individu tanpa menyentuh pertanggungjawaban korporasi, kita hanya akan mengulang siklus yang sama: kerugian diperkecil, sementara mesin penyebabnya tetap dibiarkan berputar.

Pada saat yang sama, Inalum dan induk holdingnya tak bisa sekadar berlindung di balik kalimat “proses hukum berjalan”. Publik berhak tahu tindakan pemulihan apa yang dilakukan: audit internal apa yang dibuka, sanksi manajerial apa yang dijatuhkan, dan perbaikan prosedur apa yang dipasang agar perubahan skema pembayaran tak lagi bisa lewat jalur pintas. Transparansi bukan aksesori; ia syarat untuk memulihkan kepercayaan, sekaligus mencegah “pengulangan” yang biasanya datang dengan nama baru.

Kita sering berkata ingin naik kelas sebagai negara industri. Tapi kelas itu tak ditentukan oleh seberapa banyak logam yang kita lebur, tetapi seberapa keras kita menolak godaan mencampurkan urusan publik dengan kepentingan gelap. Inalum hari ini terjepit oleh aluminium alloy yang semestinya menjadi simbol kemajuan. Yang harus dibebaskan bukan hanya perusahaan, melainkan negara dari kebiasaan lama: memperlakukan BUMN sebagai “sapi perah” dan celengan yang dapat dibuka dengan satu rapat, lalu ditutup dengan konferensi pers mercusuar.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |