Terbit Kilat demi Lindungi Anak, PP Tunas Masih Membingungkan

9 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Satu tahun sejak Kementerian Komunikasi dan Informatika berubah menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) di era pemerintahan Prabowo-Gibran, salah satu regulasi yang diterbitkan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS).

Aturan yang diteken pada 28 Maret 2025 dan berlaku mulai 1 April 2025 itu menjadi dasar hukum bagi negara untuk menciptakan ruang digital yang aman, sehat, dan berkeadilan bagi anak-anak serta kelompok rentan.

PP ini mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk menyaring konten berbahaya, menyediakan mekanisme pelaporan yang mudah diakses, dan memastikan proses remediasi yang cepat dan transparan.

Salah satu aspek penting dalam PP TUNAS adalah klasifikasi usia dan tingkat risiko platform digital. Komdigi mengatur pembatasan akses anak terhadap aplikasi di ponsel dan media sosial berdasarkan kategori risiko rendah, sedang, dan tinggi.

Dalam ketentuan PP TUNAS, anak di bawah 13 tahun hanya boleh mengakses platform yang sepenuhnya aman seperti situs edukasi, usia 13-15 tahun diperbolehkan mengakses platform dengan risiko rendah hingga sedang, usia 16-17 tahun bisa mengakses platform berisiko tinggi dengan pendampingan orang tua, sementara 18 tahun ke atas dapat mengakses semua platform secara independen.

Namun, PP ini tidak menyebutkan secara spesifik platform mana yang tergolong rendah, sedang, atau tinggi. Platform seperti X, Instagram, atau YouTube diminta melakukan evaluasi mandiri dan melaporkan hasilnya ke Komdigi.

Artinya, meskipun sudah ada regulasi soal pembatasan, belum ada rujukan yang bisa digunakan oleh warga RI, khususnya orang tua. Orang tua masih belum tahu media sosial apa yang pas untuk usia anak mereka.

Mekanisme yang ada padahal menyerahkan upaya perlindungan dan pembatasan akses ke orang tua. Hal ini berbeda dengan aturan di Australia yang membebani platform media sosial seperti Instagram, YouTube, dan TikTok dengan tugas membatasi usia penggunanya.

Pemerintah menyatakan bahwa implementasi PP TUNAS dilakukan secara bertahap. Dirjen Pengawasan Digital Komdigi, Alexander Sabar, menjelaskan bahwa PSE diberikan waktu penyesuaian selama dua tahun untuk menyesuaikan sistemnya.

"Terkait timeline, kalau kita baca di PP-nya sendiri, itu ada waktu penyesuaian dua tahun," kata Alex beberapa waktu yang lalu

Ia menegaskan bahwa tanggung jawab utama ada pada penyelenggara platform digital untuk memastikan verifikasi usia dan perlindungan data anak berjalan sesuai aturan.

"Tiap minggu itu pasti kita berkoordinasi dengan para penyelenggara sistem elektronik lingkup privat," ujarnya.

Alex menambahkan, sejauh ini tidak ada penolakan dari platform media sosial besar seperti Meta atau X terhadap aturan tersebut. Sebaliknya, sebagian besar platform dinilai sudah memiliki fitur perlindungan anak yang sejalan dengan kebijakan PP TUNAS.

CNBC Indonesia telah mencoba menghubungi pihak Komdigi untuk menanyakan lebih lanjut soal rencana dan kesiapan implementasi PP TUNAS, namun hingga berita ini ditulis belum ada tanggapan dari pihak terkait.

Pelaksanaan PP TUNAS memang meninggalkan sejumlah catatan. Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Nenden Sekar Arum, menilai perlindungan anak memang mendesak, tetapi mekanisme penerapannya harus hati-hati agar tidak menimbulkan masalah baru.

Pertama, menurut Nenden, pengawasan yang terlalu ketat bisa berdampak pada pelanggaran privasi dan kebebasan berekspresi anak, terutama jika melibatkan sistem pemantauan yang invasif atau pengumpulan data berlebihan.

Ia juga menyoroti ketidakjelasan mekanisme pengawasan dan sanksi bagi platform media sosial. Tanpa transparansi, kebijakan ini berpotensi disalahgunakan untuk menekan pihak tertentu.

"Perlu ada SOP atau mekanisme yang jelas untuk implementasi aturan PP TUNAS. Dan penting bahwa penyusunan aturan turunannya ini harus mempertimbangkan hak digital," ujar Nenden kepada  melalui pesan singkat, dikutip Selasa (21/10/2025).

Nenden menekankan bahwa pengawasan tidak bisa hanya dilakukan secara birokratis, tetapi perlu melibatkan mekanisme independen yang bebas dari konflik kepentingan dan memiliki kapasitas teknis yang memadai.

Ia menyoroti bahwa meskipun PP TUNAS sudah melarang profiling dan mengatur kewajiban menghapus data verifikasi usia, perlindungan tersebut masih bersifat normatif.

"Regulasi ini belum menetapkan standar teknis yang jelas tentang bagaimana data anak dikelola, diverifikasi, dan diaudit, sehingga berisiko justru membuka celah baru bagi pelanggaran privasi, terutama jika platform mengumpulkan data sensitif seperti biometrik untuk verifikasi usia," jelasnya.


(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Bahaya Mengintai Anak RI di Internet, Menteri Meutya Ungkap Datanya

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |