Tarif Trump Pecah ASEAN: Siapa Untung dan Buntung?

7 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia-  Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali menyalakan api dalam arena dagang global. Lewat sebuah pengumuman resmi yang dibagikan melalui media sosialnya, Trump menyatakan bahwa 14 negara akan dikenakan tarif tinggi mulai 1 Agustus 2025, termasuk Indonesia dan sembilan negara ASEAN lainnya.

Pemerintahan Trump mengumumkan bahwa langkah ini adalah bagian dari kebijakan "tarif timbal balik" yang ditujukan untuk memangkas defisit perdagangan AS dengan berbagai negara mitra.

Dalam surat yang dikirim ke masing-masing pemimpin negara, termasuk Presiden terpilih Indonesia Prabowo Subianto, Trump menyebutkan bahwa tarif ini dapat naik atau turun tergantung pada "hubungan" negara tersebut dengan Washington.

Vietnam jadi satu-satunya negara ASEAN yang berhasil mencapai kesepakatan khusus hanya dikenai tarif 20% untuk ekspornya ke AS dan membebaskan tarif bagi produk AS.

Bahkan, Vietnam setuju memberlakukan tarif 40% terhadap barang dari negara ketiga seperti China yang hanya transit di Vietnam sebelum masuk ke pasar AS. Ini menjadikan Vietnam satu-satunya negara ASEAN yang bisa bernapas lega dalam tensi perang tarif kali ini.

Berbeda nasib dengan Indonesia, yang justru diumumkan dikenai tarif 32%, tertinggi kedua setelah Laos dan Myanmar yang masing-masing dikenai 40%.

Sementara itu, Kamboja dan Thailand juga tak lolos dari badai tarif, dengan beban 36%. Malaysia, mitra dagang utama lainnya, tarif 25%, sedangkan Filipina relatif lebih ringan dengan 18%. Singapura pun masuk daftar dengan tarif 25%, meskipun sebelumnya hanya 10%.

Dengan tarif baru ini, posisi ekspor negara ASEAN ke AS kembali dipertaruhkan. Vietnam tetap menjadi raja ekspor ASEAN- ke pasar AS dengan nilai ekspor mencapai US$136,6 miliar pada 2024, tumbuh 19,3% dari tahun sebelumnya. Di bawahnya ada Malaysia (US$52,5 miliar) dan Indonesia (US$28,1 miliar).

Namun, jika dihitung dari sisi defisit perdagangan dengan AS, justru Vietnam menorehkan angka tertinggi yakni US$123,5 miliar, disusul Thailand (US$45,6 miliar) dan Indonesia (US$17,9 miliar).

Defisit besar inilah yang jadi dasar kalkulasi Trump dalam menentukan tarif, di mana negara-negara dengan surplus dagang tinggi terhadap AS dikenai tarif lebih besar.

Sementara Malaysia mencatat surplus lebih kecil dan menjadi satu dari sedikit negara ASEAN yang justru berhasil menurunkan defisitnya tercatat turun 7,6% dari tahun sebelumnya. Di sisi lain, Laos mencatat lonjakan defisit hingga 194,4% dan kini dihukum tarif 40%.

Indonesia kini berada di posisi yang dilematis. Meski ekspor meningkat, struktur ekspornya yang masih bertumpu pada bahan mentah dan barang padat karya membuatnya sangat rentan terhadap lonjakan tarif. Produk seperti kopi, kakao, minyak kelapa, tekstil, dan seafood masih jadi tulang punggung ekspor RI ke AS, namun juga jadi target utama kebijakan tarif Trump.

Vietnam masih unggul secara volume dan efisiensi, bahkan dalam sektor-sektor yang juga jadi andalan RI seperti perikanan dan kopi. Dengan tambahan insentif berupa tarif hanya 20% dan kesepakatan dagang baru, posisi Vietnam semakin tak tergoyahkan.

Indonesia berhadapan langsung dengan Vietnam untuk ekspor kopi ke AS. Persaingan di sektor kopi berlangsung sengit. Vietnam unggul secara volume, terutama dalam ekspor kopi robusta.

Meski Indonesia memiliki kekuatan pada kopi spesialti seperti arabika Gayo atau Toraja, dari sisi nilai ekspor ke AS, Vietnam masih memimpin karena efisiensi produksi, dukungan pemerintah, dan kapasitas ekspor yang besar. Namun, tren minat konsumen AS terhadap kopi organik dan berkelanjutan memberi celah bagi Indonesia untuk menyalip lewat niche market.

Sementara itu, Malaysia menonjol karena kemampuan mengisi ceruk pasar yang ditinggalkan China dan efisiensi dalam ekspor produk teknologi dan semikonduktor. Filipina, meski nilai ekspornya tidak sebesar negara lain, mendapat keuntungan karena hanya dikenai tarif 18% - yang berarti tetap kompetitif.

Dalam jangka pendek, Indonesia masih bisa bertahan karena tarif untuk Vietnam dan Thailand tetap lebih tinggi di beberapa sektor khusus seperti lemak nabati atau udang.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |