Surat Utang Negara Kaya Diobral, Ramai-Ramai Dibuang Investor

6 hours ago 5

Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi jual surat utang jangka panjang melanda berbagai negara besar. Hal ini tecermin dari kenaikan tajam imbal hasil (yield) obligasi tenor 30 tahun, yang di beberapa negara bahkan menembus rekor tertinggi dalam puluhan tahun terakhir.

Fenomena ini menimpa Inggris, Prancis, Jerman hingga Jepang, dan menandai meningkatnya kecemasan investor terhadap kondisi fiskal global.

Sebagai catatan, imbal hasil obligasi yang menguat menandakan bahwa para pelaku pasar sedang membuang obligasinya. Begitu pun sebaliknya, imbal hasil obligasi yang melemah menandakan bahwa para pelaku pasar sedang kembali mengumpulkan obligasinya.

Inggris Hingga Jepang Cetak Rekor

Yield obligasi pemerintah Inggris untuk tenor 30 tahun (GB30YT) sempat menyentuh 5,752%, level tertinggi sejak 1998, yang terjadi pada perdagangan intraday Rabu (3/9/2025). Lonjakan ini dipicu oleh kekhawatiran atas tingginya utang publik dan lambatnya pertumbuhan ekonomi Inggris, di tengah spekulasi kenaikan pajak pada penyusunan anggaran baru pada November mendatang.

Prancis juga tidak luput dari tekanan. Imbal hasil obligasi tenor 30 tahun (FR30YT) masih bertahan dekat level tertinggi sejak 2009, di tengah ketidakpastian politik terkait rencana pemangkasan defisit yang tidak populer. Perdana Menteri Francois Bayrou bahkan diprediksi gagal dalam voting kepercayaan 8 September mendatang.

Sementara itu, yield obligasi Jerman tenor 30 tahun (DE30YT) pada penutupan Selasa (2/9/2025) naik ke 3,4144%, tertinggi sejak 2011. Lonjakan tersebut mencerminkan meningkatnya beban fiskal Jerman, termasuk belanja pertahanan dan infrastruktur, di tengah desakan reformasi ekonomi.

Dari Asia, Jepang turut mencatat rekor terbaru. Yield obligasi tenor 30 tahun (JP30YT) pada penutupan Rabu (3/9/2025) menanjak ke 3,292%,menjadikannya level tertinggi sepanjang sejarah Negeri Sakura. Kecemasan fiskal meningkat setelah salah satu penasihat dekat Perdana Menteri Shigeru Ishiba mengundurkan diri yang memicu keraguan atas arah reformasi kebijakan fiskal Jepang.

Kondisi ini menambah beban bagi Jepang yang sudah menanggung rasio utang terbesar di antara negara maju, mencapai lebih dari 230% terhadap PDB.

Kondisi Fiskal Menjadi Penyebab Utama

Lonjakan yield obligasi jangka panjang ini tidak lepas dari kekhawatiran pelaku pasar terhadap fundamental fiskal negara-negara tersebut. Rasio utang yang tinggi, defisit anggaran yang membengkak, serta kebutuhan pembiayaan baru yang terus meningkat menimbulkan keresahan di kalangan investor.

Seperti Inggris dan Prancis yang telah menjadi sorotan mengenai kondisi fiskal mereka. 

Prancis tercatat memiliki total utang pemerintah mencapai €3,35 triliun atau sekitar 114% dari PDB, level tertinggi sepanjang sejarah setelah meningkat lebih dari dua dekade terakhir. Defisit anggaran juga masih tinggi di 5,8%, hampir dua kali lipat batas Uni Eropa sebesar 3%. 

Kondisi serupa terlihat di Inggris dengan utang pemerintah per kuartal I 2025 mencapai £2,93 triliun, setara 101% dari PDB, menandai salah satu level tertinggi modern dan mencerminkan semakin beratnya beban pembiayaan.

Pasar menilai kapasitas pemerintah dalam menjaga keberlanjutan fiskal semakin tertekan, sementara reformasi ekonomi yang diperlukan berjalan lambat.

"Permintaan investor, termasuk institusi yang biasanya menjadi penopang stabil, kini ikut berkurang," ujar Dario Messi, Head of Fixed Income Research Julius Baer, dikutip dari Reuters.

CEO Deutsche Bank, Christian Sewing, menegaskan bahwa pasar modal "melihat reformasi ekonomi yang dibutuhkan untuk menutup meningkatnya utang masih kurang memadai". Hal ini menekan keyakinan investor terhadap prospek fiskal di banyak negara maju.

Kenaikan yield juga berarti pemerintah harus menanggung biaya pinjaman lebih tinggi, di saat kebutuhan pembiayaan melonjak untuk menutup defisit maupun membiayai belanja strategis. 

Berbeda dengan sejumlah negara maju yang dilanda aksi jual obligasi, Indonesia justru masih relatif kebal. Surat Berharga Negara (SBN) tetap diminati baik oleh investor domestik maupun asing. Hal ini tecermin dari pergerakan imbal hasil SBN, baik tenor 10 tahun maupun 30 tahun, yang masih bergerak dalam tren menurun.

Mengutip data Refinitiv, pada Kamis (4/9/2025) imbal hasil SBN tenor 30 tahun tercatat di level 6,850%, turun 1,21%. Sementara imbal hasil SBN tenor 10 tahun berada di level 6,402%, hanya naik tipis 0,03%.

Berdasarkan data setelmen Bank Indonesia (BI), sepanjang tahun hingga 21 Agustus 2025, investor asing telah mencatatkan net buy sebesar Rp71,63 triliun di pasar SBN. Angka ini menjadi bukti kuat bahwa kepercayaan investor global terhadap prospek pasar keuangan dan fundamental ekonomi Indonesia masih terjaga.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |