Surat Utang Amerika Jadi Primadona Lagi, RI Malah Lagi Menderita

2 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar obligasi Amerika Serikat (AS) tengah ramai di buru investor sementara obligasi Indonesia justru tengah terjadi aksi jual.

Imbal hasil atau yield US Treasury tenor 10 tahun mengalami penurunan yang cukup tajam hingga mendekati level 4,00% pada perdagangan Senin (15/9/2025). Menurut data Refinitiv, yield Treasury 10 tahun AS turun ke level 4,034% atau turun 2,4 basis poin.

Sebagai informasi, yield dan harga obligasi sifatnya berlawanan, jika yield naik maka harga obligasi sedang turun yang menandakan investor tengah melakukan penjualan.

Pelemahan ini menjadi kabar baik bagi Presiden AS Donald Trump. Melandainya imbal hasil akan mengurangi beban pembayaran bunga utang.

Penurunan yield obligasi AS terjadi seiring dengan rilis data Empire State Manufacturing Index yang anjlok ke -8,7 jauh di bawah ekspektasi konsensus sebesar 4,5. Angka negatif menandakan kontraksi pada sektor manufaktur yang memperkuat arah perlambatan ekonomi AS.

Tak hanya itu, data ketenagakerjaan AS juga menunjukkan pelemahan dalam beberapa waktu belakangan. Klaim pengangguran mingguan naik ke level tertinggi sejak 2021, sementara data inflasi IHK Agustus naik 2,9% menandakan tekanan inflasi mulai mereda walaupun masih di atas target pemerintah AS 2%.

Pasar kini memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga pada pertemuan September ini. Menurut CME FedWatch, mayoritas pelaku pasar memperkirakan penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin akan dilakukan, bahkan pasar juga membuka ruang untuk pemangkasan tambahan hingga 50 basis poin hingga akhir tahun.

Hal ini membuat investor cenderung masuk ke obligasi AS, yang mendorong yield nya semakin rendah.

"Pelemahan pasar tenaga kerja memberi ruang bagi The Fed untuk memangkas suku bunga, sekaligus meredakan ketegangan politik yang muncul akibat tingginya suku bunga sehingga yield bisa turun lebih jauh dalam jangka pendek," tulis BlackRock Investment Institute dikutip dari CNBC International.

Meskipun yield US Treasury sedang dalam tren penurunan, investor masih menunjukkan sikap yang cenderung wait and see.

"Ada keragu-raguan di antara banyak investor untuk terus mengejar yield yang lebih rendah," ujar Gennadiy Goldberg, Head of U.S. Rates Strategy di TD Securities.

Hal tersebut menggambarkan bahwa sebagian investor enggan membeli obligasi jangka panjang pada yield yang sudah dianggap rendah, mengingat risiko inflasi dan kondisi fiskal AS yang belum pulih sepenuhnya hingga bisa menjadi ancaman.

Tren pelemahan imbal hasil obligasi AS ini juga membuat strategi steepening trade, yakni ketika selisih antara yield tenor 2 tahun dan 10 tahun semakin melebar. Selisih tersebut bahkan sempat menyentuh 65 basis poin pada beberapa pekan lalu. Sekaligus menjadikannya yang tertinggi sejak awal 2022.

Yield SBN RI Justru Naik

Sebaliknya, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun justru naik. Melansir data Refinitiv, Pada perdagangan Senin (15/9/2025), imbal hasil SBN Tenor 10 tahun naik 0,25% ke level 6,335%, setelah pada akhir pekan lalu, yield nya sempat turun hampir 10 basis poin ke level 6,319%.

Namun demikian, tren imbal hasil SBN Tenor 10 tahun saat ini sedang dalam penurunan hingga sat ini berada di kisaran 6,30% - 6,53%.

Menurut riset Mega Capital Sekuritas, pasar masih menunggu kepastian arah kebijakan BI, khususnya terkait peluang pemangkasan suku bunga.

"Hal ini menunjukkan investor masih menaruh asa pada probabilitas pemangkasan BI Rate bulan ini walaupun kemungkinan semakin kecil akibat pergerakan Rupiah yang tertahan di kisaran Rp16.400/US$," tulis riset Mega Capital (16/9/2025).

Kenaikan yield SBN juga dipengaruhi faktor eksternal, di mana investor global lebih memilih aset aman seperti US Treasury menjelang keputusan FOMC. Sementara itu, risiko nilai tukar dan inflasi domestik membuat SBN kurang atraktif dalam jangka pendek. Mega Capital memperkirakan yield 10 tahun SBN akan bergerak di rentang 6,30%-6,53% dalam waktu dekat.

Perbedaan tren antara yield US Treasury dan SBN ini mencerminkan perbedaan persepsi risiko.

Jika di AS investor lebih optimistis terhadap soft landing ekonomi dan kebijakan moneter longgar, maka di Indonesia investor masih menunggu sinyal kuat dari Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI. Akibatnya, likuiditas SBN terbatas dan yield tetap tinggi.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |