Revisi UU ASN dan Otonomi (Prematur) Daerah

2 hours ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pada tanggal 31 Oktober 2023 yang lalu, Presiden ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) mengundangkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai pengganti UU sebelumnya. Revisi UU tersebut mengakibatkan perubahan mencolok secara kelembagaan.

Sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 terdapat empat kelembagaan yang disebutkan secara tegas dalam manajemen ASN, yaitu Kementerian PAN RB, KASN, LAN, dan BKN. Setelah UU ASN baru, KASN akhirnya dibubarkan.

Memang pembubaran KASN ini menjadi tanya besar saat itu, apalagi dilakukan pada suasana yang terasa politis, yaitu menjelang Pemilihan Presiden, Pemilihan Legislatif, hingga Pemilihan Kepala Daerah di Tahun 2024. Kalau kita telusuri lebih jauh, terjadi sebuah paradoks, di satu sisi ide pembubaran KASN dalam UU Baru adalah inisiatif DPR, di sisi lain dalam perkembangannya pemerintah sebenarnya ingin memperkuat keberadaan KASN.

Padahal, KASN sebenarnya merupakan lembaga yang banyak memberikan sumbangsih terhadap pengawasan netralitas ASN, perwujudan Sistem Merit, pembinaan profesi ASN, dan lainnya sebagaimana amanat dari undang-undang. Anehnya lagi, lembaga KASN tersebut bubar sebelum pesta demokrasi di Indonesia tahun 2024.

Artinya, publik lantas bertanya: "Apa jangan-jangan KASN bubar karena menuju Pilkada ya?" Sederhananya, jika lembaga pengawasan sistem merit dibubarkan, maka seharusnya yang terjadi adalah masifnya jual beli jabatan dan pelanggaran netralitas (Sofian Effendi, 2023).

Maka, pertanyaan muncul berikutnya adalah: Sebenarnya revisi UU ASN kemarin didasari atas kepentingan politis atau teknokratik? Mengapa dilakukan secara 'ugal-ugalan' tanpa menjalankan partisipasi publik yang bermakna? Pertanyaan tersebut menjadi berdasar karena tidak adanya kejelasan apa yang mendasari baik secara filosofi, sosiologis, hingga yuridis dalam naskah akademik UU tersebut.

Hal tersebut juga didukung oleh hasil wawancara saya kepada Agus Pramusinto, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara periode 2019-2024 yang menyatakan bahwa: "Saya sendiri juga terkejut kenapa tiba-tiba dihapus. Kalaupun ada rencana penghapusan KASN, kami sebagai pimpinan yang saat ini memimpin KASN harus dilibatkan dalam pembahasan karena yang mengetahui keberadaan, capaian, serta implementasi pengawasan sistem merit saat ini adalah tugas, pokok, dan fungsi dari KASN."

Mempertanyakan
Belum lagi, salah satu kontroversi pasca revisi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN adalah bahwa dalam pasal 68 disebutkan peraturan pelaksanaan dari UU ini harus ditetapkan paling lama enam bulan terhitung sejak UU ini diundangkan. Artinya, peraturan pelaksana dari UU ASN baru seharusnya sudah terbit sejak April 2024. Namun, nyata bahkan hingga saat ini, peraturan pelaksana belum terbit pasca 1,5 tahun UU tersebut berlangsung sampai saat ini.

Padahal, peraturan pelaksana tersebut seharusnya menjadi peraturan teknis yang merinci aturan secara jelas terkait pengisian jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Lantas, kontroversi yang terjadi saat ini, banyaknya pejabat TNI/Polri yang mengisi jabatan ASN didasarkan atas apa jika peraturan pelaksana saja belum terbit. Artinya, mandat dari undang-undang saja tidak jalankan dalam kurun waktu yang ditetapkan. Jika keadaannya seperti, maka yang terjadi adalah paradoks, sebenarnya regulasi berfungsi sebagai pondasi atau justifikasi keinginan semata.

Wacana Revisi Lagi
Persoalan dalam UU ASN baru saja belum tuntas, sekarang Komisi II DPR akan merevisi kembali Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin.

Adapun rencana revisi yang akan dilakukan adalah mengubah satu pasal yang substansinya terkait pengangkatan, pemberhentian dan pemindahan pimpinan ASN akan ditarik menjadi kewenangan Presiden. Artinya, revisi ini akan memperluas kewenangan Presiden untuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pejabat tinggi birokrasi, tidak hanya di level pusat, tetapi juga seluruh pemerintah daerah.

Rencana ini tentu patut dipertanyakan. Pertama, mengapa begitu tergesa melakukan revisi terhadap undang-undang yang baru kemarin disahkan dan belum sempat sepenuhnya diimplementasikan? Jangan sampai akhirnya revisi undang-undang kita semakin hari, semakin ugal-ugalan, yang dilakukan secara sadar, namun tanpa dasar.

Kalau kita analisis pasal dalam UU ASN, maka kemungkinan yang akan direvisi adalah pasal 30 yang mengatur terkait bahwa presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan Manajemen ASN kepada pejabat yang berwenang di kementerian, sekretaris jenderal/sekretariat lembaga negara, sekretariat lembaga nonstruktural, sekretaris daerah provinsi dan kabupaten/kota. Maka, jika direvisi nanti, kewenangan tersebut tidak lagi didelegasikan, namun struktur ASN sepenuhnya di tangan Presiden.

Wacana ini sebenarnya seakan kembali pada sentralisasi kebijakan Manajemen ASN yang dulu pernah terjadi. Padahal, jika diterapkan rentan terhadap tumpang tindih otoritas, ketidakharmonisan antar level pemerintahan, dan semakin menjauhkan reformasi birokrasi dari cita-cita meritokrasi. Bayangkan jika semua keputusan strategis ASN harus menunggu restu dari Istana, sementara dinamika dan kebutuhan daerah sangat beragam dan spesifik.

Lebih jauh, ini bisa menjadi preseden buruk bagi reformasi birokrasi. Bila pemindahan dan pemberhentian pejabat tinggi cukup ditentukan oleh satu tangan, maka ASN dari level pusat hingga daerah akan semakin rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik kekuasaan, bukan berdasarkan kinerja dan profesionalitas.

Otonomi Daerah 'Setengah Matang'
Belum lagi, bisa mengganggu semangat otonomi daerah sebagai amanat reformasi. Dengan otonomi, kepala daerah semestinya punya ruang untuk mengelola sumber daya manusia di lingkup wilayahnya, termasuk memilih pimpinan birokrasi yang sesuai dengan visi daerah masing-masing.

Namun, jika kewenangan itu ditarik ke Presiden, kepala daerah praktis hanya menjadi 'penonton' dalam membentuk mesin birokrasi yang akan mengeksekusi kebijakan daerahnya sendiri, atau dapat dikatakan seperti 'otonomi daerah setengah matang'.

Kita tentu tidak ingin melihat birokrasi kembali terjebak dalam patronase politik. Semangat awal reformasi birokrasi adalah membangun ASN sebagai pelayan publik yang netral, profesional, dan berbasis kinerja. Perjalanan panjang reformasi birokrasi Indonesia sudah penuh lika-liku. Kita belajar dari kegagalan sentralisasi kekuasaan, dari birokrasi yang lebih sibuk melayani penguasa ketimbang publik.

Jika kepala daerah sebagai representasi pemilihan lokal kehilangan kendali atas birokrasi di wilayahnya, maka efektivitas kebijakan daerah bisa terhambat. Pejabat yang diangkat pusat belum tentu memahami dinamika lokal atau memiliki akuntabilitas kepada masyarakat setempat. Alih-alih memperkuat tata kelola, sentralisasi justru dapat menciptakan ketergantungan berlebihan pada Istana dan melemahkan inovasi dan inisiatif daerah.

Sebelum membuka ruang revisi (lagi), mari pastikan bahwa perubahan yang dilakukan benar-benar untuk kepentingan bangsa, bukan sekadar kepentingan kekuasaan. Yang kita butuhkan sekarang bukanlah revisi dadakan, melainkan konsistensi dalam menjalankan regulasi yang sudah ada.

Jika ada kekurangan dalam UU ASN terbaru, evaluasi komprehensif dan keterlibatan publik bermakna adalah kunci perbaikannya. Revisi yang tergesa hanya akan membuat UU ASN menjadi produk tambal sulam yang tidak menjawab persoalan secara substantif.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa penguatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna dilakukan secara tertib dan bertanggung jawab dengan memenuhi tiga persyaratan; yaitu pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be fourd); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Sebagai penutup dan refleksi, keberlanjutan reformasi birokrasi adalah fokus perhatian Presiden Prabowo Subianto sebagaimana tertuang dalam poin ketujuh Asta Cita, serta pernyataan langsung dalam pidato yang disampaikan pada 20 Oktober 2024 di Gedung MPR, "Kita harus berani mengakui terlalu banyak kebocoran-kebocoran dari anggaran kita, penyimpangan-penyimpangan, kolusi di antara para pejabat politik, pejabat pemerintah di semua tingkatan."


(miq/miq)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |