Pergantian Tahun Bukan Sekadar Seremoni, Tapi Manifestasi Peringatan Allah SWT

2 hours ago 1

LANGIT malam pergantian tahun kembali menyala. Dentuman kembang api memecah gelap, sorak sorai manusia mengiringi detik-detik bergantinya angka di kalender. Jalanan ramai, layar gawai penuh ucapan selamat tahun baru. Bagi banyak orang, malam itu adalah puncak euforia—simbol harapan, awal baru, dan perayaan waktu.

Namun di balik hiruk-pikuk tersebut, ada satu kenyataan yang tak pernah ikut berpesta: waktu terus berjalan tanpa kompromi. Detik demi detik berlalu, membawa manusia semakin dekat pada satu kepastian yang tak bisa ditunda atau ditawar—akhir perjalanan hidup.

Dalam perspektif Islam, pergantian tahun bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah isyarat ilahi, peringatan sunyi dari Allah SWT bagi manusia yang mau berpikir dan merenung. Al-Qur’an menempatkan waktu sebagai bagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 164, Allah mengajak manusia memperhatikan penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, serta keteraturan alam semesta sebagai bukti kekuasaan-Nya.

Waktu tidak diciptakan tanpa makna. Ia bergerak pasti, sementara manusia sering kali terlena di dalamnya.

Allah SWT bahkan bersumpah atas nama waktu dalam Surah Al-‘Ashr. Sumpah itu bukan tanpa alasan. “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian,” kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Ayat ini menegaskan bahwa waktu adalah ladang ujian. Setiap detik adalah kesempatan, sekaligus potensi kerugian jika disia-siakan.

Ironisnya, dalam kehidupan modern, makna ini kerap memudar. Pergantian tahun lebih sering dirayakan sebagai pesta, euforia, dan hiburan sesaat. Malam yang semestinya menjadi ruang refleksi justru dipenuhi kegaduhan. Kesadaran ruhani tenggelam oleh cahaya buatan manusia.

“Pergantian tahun sejatinya adalah alarm ruhani,” ujar Ahmad Darwis, Anggota DPRD Sumatera Utara. Menurutnya, waktu adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. “Setiap tahun yang berlalu adalah potongan usia yang tidak akan pernah kembali. Pertanyaannya, apa yang sudah kita perbuat dengan waktu itu?” katanya.

Peringatan ini terasa semakin relevan ketika akhir tahun kembali diwarnai musibah di berbagai daerah. Banjir, longsor, dan bencana alam melanda Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, serta wilayah lainnya. Rumah-rumah rusak, aktivitas lumpuh, dan sebagian masyarakat kehilangan tempat tinggal bahkan orang-orang tercinta.

Di tengah gegap gempita perayaan tahun baru, ada saudara-saudara kita yang justru menyambut pergantian tahun dengan air mata dan doa. Kontras ini menjadi pengingat keras bahwa hidup manusia amat rapuh. Dalam sekejap, keadaan bisa berubah. Yang hari ini aman, esok bisa diuji.

Bagi umat Islam, musibah bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah bagian dari sunnatullah—cara Allah mendidik hamba-Nya. Pertama, musibah mengajarkan muhasabah, evaluasi diri atas hubungan manusia dengan Allah SWT dan dengan sesama. Apakah selama ini manusia telah hidup sesuai nilai keadilan, amanah, dan kepedulian sosial?

Kedua, musibah menumbuhkan solidaritas. Di tengah duka, sekat-sekat perbedaan luluh. Tangan-tangan saling terulur, empati tumbuh, dan rasa persaudaraan kembali hidup. Musibah mengingatkan bahwa manusia tidak bisa berjalan sendiri.

Ketiga, musibah dan pergantian tahun mendorong mujahadah—perjuangan batin untuk bangkit dan memperbaiki diri. Ia menjadi momentum menyusun ulang rencana hidup, meluruskan niat, dan mengarahkan langkah pada hal-hal yang lebih bermakna.

Keempat, musibah menegaskan bahwa hidup ini sementara. Harta, jabatan, dan status sosial tidak menjamin keselamatan. Semua bisa sirna kapan saja, dan hanya amal saleh yang akan menjadi bekal abadi.

Allah SWT telah mengingatkan dalam Surah Al-Anbiyā’ ayat 1, “Telah dekat kepada manusia hari perhitungan mereka, sedang mereka dalam kelalaian dan berpaling.” Ayat ini seperti cermin besar yang dihadapkan kepada manusia setiap kali waktu berganti. Apakah manusia masih ingin terus lalai, atau mulai terjaga?

Pada akhirnya, pergantian tahun bukan tentang bertambahnya usia semata, tetapi tentang berkurangnya jatah hidup. Ia adalah momentum spiritual untuk berhenti sejenak, menundukkan hati, dan menata kembali arah perjalanan. Tahun baru seharusnya disambut dengan taubat, rasa syukur, dan tekad memperbaiki iman, akhlak, serta tanggung jawab sosial.

Di tengah dunia yang semakin bising, pergantian tahun hadir sebagai peringatan sunyi dari Allah SWT. Ia tidak berteriak, tetapi terus mengingatkan—melalui waktu yang berjalan, alam yang bergerak, dan peristiwa yang terjadi.

Kini pertanyaannya bukan lagi bagaimana manusia merayakan pergantian tahun, melainkan apakah manusia bersedia menjadikannya sebagai titik balik—untuk hidup lebih sadar, lebih peduli, dan lebih bermakna. (Ahmad Darwis, Penulis adalah Anggota DPRD Sumatera Utara dari Fraksi PKS)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |