Perang Tarif: Memukul atau dipukul? Ekonomi Berdikari, Di Mana Engkau Kini?

1 day ago 9

Oleh Fatah Baginda Gorby Siregar

’’For a Fighting Nation There Is No Journey End”

Berikut sekelumit kata-kata yang diucapkan Bung Karno pada pidatonya di Pidato Presiden, 17 Agustus 1960 bertajuk “Djalannya Revolusi Kita (Djarek)”.

Kalimat tersebut bermakna, perjuangan mewujudkan Indonesia adil dan makmur tidak pernah selesai. Tampaknya, Bung Karno mengetahui benar apa yang akan dihadapi bangsanya ke depan. Sekarang genderang perang perdagangan antar negara telah ditabuh.

Akankan kita bertahan? Memukul sebelum terpukul?

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, berencana menaikkan tarif respirokal dari berbagai negara termasuk Indonesia yang direncankan berlaku Rabu (9/4/2025) lalu.

Terkini, Donald Trump, setelah melakukan serangkaian negosiasi, menangguhkan kenaikan tarif resiprokal selama 90 hari untuk puluhan negara, termasuk Indonesia.

Tarif yang lebih tinggi dari tarif dasar 10 persen yang berlaku 5 April itu, dikenakan ke hampir dari 60 negara, termasuk Indonesia. Sebagai mitra dagang, negara kita juga rencananya dikenakan tarif resiprokal sebesar 32 persen.

Mengutip cnbcindonesia.com, Dalam aktivitas ekspor-impor, tarif disebut juga dengan istilah customs, duties, atau charges dan dikenakan atas suatu komoditi yangi diperdagangkan lintas-batas territorial.

Ada banyak pungutan dari pajak, cukai, hingga bea impor pada barang yang diimpor.

Dalam praktik perdagangan internasional, tidak jarang sebuah negara memberikan tarif tinggi kepada barang tertentu dari negara lain. Ada banyak tujuan dari pemberlakuan tersebut seperti melindungi industri dalam negeri, mengurangi defisit, hingga mencegah dumping ataupun karena tujuan politik.

Besaran ekspor Indonesia ke Amerika sebesar 28,1 Milyar US Dollar pada tahun 2024 sementara itu besaran ekspor Amerika ke Indonesia yaitu 10, 2 Milyar US Dollar. Amerika tmendapatkan defisit sebesar 17,9 Milyar US Dollar.

Artinya, dari total impori barang Indonesia, Amerika mengalami defisit sebanyak 64 persen. Nilai itu tampaknya dikejar Donald Trump dengan menaikkan separuh dengan menaikkan tarif sebesar 32 persen untuk setiap komoditi Inodnesia yang masuk ke negaranya.

Tentunya hal ini berpengaruh terhadap komoditas unggulan Indonesia terhadap Amerika seperti CPO, tekstil, garmen, alas kaki serta produk tambang seperti nikel, batubara dan lainnya.

Serta berimplikasi kepada penurunan produksi dalam negeri, jatuhnya komoditas harga, para pengusaha mengurangi tenaga kerja untuk mengurangi biaya produksi dan lainnya.

Menurut laporan dari Antara, sejumlah produk pertanian unggulan Indonesia diekspor ke Amerika Serikat, seperti kopi, minyak kelapa sawit, dan kakao. Berdasarkan data pada 2023, Amerika Serikat menjadi negara tujuan utamai ekspor Indonesia hingga mencapai 215,5 juta dolar AS. Ini menjadikannya salah satu pasar terbesar untuk kopi Arabika dan Robusta dari Indonesia. Dengan adanya kebijakan Tarif Trump, maka sektor pertanian diprediksi juga terkena dampaknya.

Lantas apa langkah yang akan ditempuh selanjutnya? Pemerintah berencana melakukan negosiasi ulang terhadap besaran tarif di antara dua negara sembarii melakukan kebijakan deregulasi.

Penyederhanaan itu berupa reformasi perpajakan bea dan cukai, penghapusan kuota impor, penyederhanaan tata niaga impor berbasis IT dan data, digitalisasi proses transaksi pada Pelabuhan, bandara, jalur-jalur distribusi logistik.

Tentunya kita menyambut baik Langkah yang dilakukan pemerintah itu. Akan tetapi kondisi perekonomian nasional harus dibarengi dengan menguatkan pasar domestik, memberikan kemudahan bagi para petani untuk meningkatkan produktifitasnya, menguatkan industri dalam negeri khususnya barang substitusi impor dan memastikan stok komoditas pangan nasional dalam keadaan aman.

‘Berdiri di atas kaki sendiri’, bukan hanya slogan. Ekonomi berdikari merupakan formulasi kebijakan pemerintah era Bung Karno dalam memusatkan perekonomian di rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.

Pada waktu itu, Bung Karno percaya bahwa negara yang mandiri secara ekonomi tidak akan mampu didikte oleh bangsa manapun, Bung Karno tidak anti akan modal dan investasi asing. Akan tetapi modal dan investasi asing diajak bekerjasama bahu membahu untuk memperkuat industri dalam negeri.

“… Sekali lagi segala tenaga dan segala modal yang terbukti progressif akan kita ajak dan akan kita ikutsertakan dalam pembangunan Indonesia. Dus tenaga dan modal bukan asli yang sudah menetap di Indonesia dan yang menyetujui dan sangup terlaksananya program Kabinet Kerja akan mendapat tempat dan kesempatan yang wajar dalam usaha-usaha kita untuk memperbesar produksi di lapangan perindustrian dan pertanian” (TUDJUH BAHAN POKOK INDOKTRINASI Djakarta: Pertjetakan Negara,i 1961, Hal. 99).

Pemerintah era Bung Karno saat itu melakukan overall planning terhadap perekonomian agar pembangunan terarah di berbagai bidang.

Untuk mencapai kemandirian ekonomi misalnya, di bidang produksi dalam mewujudkan self sufficiency dalam bidang pangan, sandang dan papan serta obat-obatan dilakukan intensifikasi pertanian dalam menaikkan produksi dalam negeri.

Mendahulukan pendirian industri-industri hulu serta memaksimalkan industri yang sudah ada untuk mengolah bahan-bahan mentah Indonesia menjadi bahan siap pakai.

Kemudian memperluas industri besar dan kecil penghasil bahan konsumsi sehari-hari, mempergiat pertambangan serta mendirikan perindustrian berat di dalam negeri.

Pengawasan alur distibusi oleh pemerintah, menjalankan koperasi di tingkat paling bawah. Saat itu pemerintah juga menerapkan anggaran belanja negara sebagai tools pembangunan,8 yaitu anggaran belanja rutin dan melakukan deficit financing dalam melakukan pembangunan produktif.

Ekonomi berdikari bertumpu pada potensi rakyat. Kerangka ekonomi dibangun dalam pengerahan semua potensi ekonomi untuk kebutuhan dalam negeri.

Bung Karno juga menetapkan standar kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi, serta menyiapkan tenaga-tenaga ahli, kejuruan dan terampil untuk nanntinya menjalankan industri dalam negeri.

Pada pidato Amanat Presiden II, 9 Januari 1960, Bung Karno memberikan gambaran makro ekonomi Indonesia ke depan. Pertama, seluruh kegiatan produksi, pertanian dan perindustrian baik yang diusahakan pemerintah maupun swasta harus memenuhi kepentingan rakyat banyak terutama sektor primer.

Kedua, seluruh kegiatan distribusi diatur sedemikian rupa agar barang-barang keperluan sehari-hari sampai dengan cepat dan merata ke tangan rakyat.

Ketiga, segala kegiatan pertanian dan industri dibawa ke tingkat ekspor barang-barang jadi yang artinya menambah lapangan kerja bagi masyarakat dan pendapatan negara.

Keempat, segala kegiatan impor dilakukan pada barang-barang yang menambah produksi dalam negeri, sehingga lapangan pekerjaan Kembali bertambah. Juga pembangunan industri berat sebagai self supporting dalam perekonomian. (TUDJUH BAHAN POKOK INDOKTRINASI Djakarta: Pertjetakan Negara, 1961, Hal. 269-270).

Tampaknya, apa yang diperkirakan Bung Karno menjadi bukti bahwa, negara kita akan terus berjuang menghadapi hegemoni negara-negara adidaya. Untuk itu, ia jauh-jauh hari mencanangkan ekonomi berdikari, agar bangsa ini menjadi penentu akan nasibnya sendiri. Maka di manakah ekonomi berdikari saat ini?

Penulis adalah Tenaga Ahli Anggota DPR RI, akademisi dan mantan jurnalis.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

 Memukul atau dipukul? Ekonomi Berdikari, Di Mana Engkau Kini?

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |