Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Pencopotan Ijeck—pendukung Bahlil di Munas—dibaca sebagai “pisau” yang berbalik arah: mengiris orang yang dulu mengulurkan tangan.
Pohon beringin selalu dipamerkan Golkar sebagai lambang keteduhan. Tetapi di Sumatera Utara, sepekan belakangan yang terdengar bukan desir angin, melainkan bunyi gergaji di batang: cepat, rapi, dan meninggalkan serbuk curiga. Wakil Ketua Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM DPD Golkar Sumut, Riza Fakhrumi Tahir, di depan wartawan di Medan, Sabtu (20/12), menisbatkan “pengkhianat” kepada Ketua Umum DPP Golkar Bahlil Lahadalia, Sekjen Muhammad Sarmuji dan Wakil Ketua Umum Ahmad Doli Kurnia Tandjung, setelah Musa Rajekshah (Ijeck) dicopot dari jabatan Ketua DPD Golkar Sumut.
Kata “pengkhianatan” terasa pahit karena ingatan publik masih menyimpan adegan Agustus 2024. Setelah Airlangga Hartarto mundur dari kursi ketua umum pada 10 Agustus 2024, mesin partai mencari nahkoda baru. Pada 14 Agustus 2024, Ijeck menyatakan dukungan DPD Golkar Sumut kepada Bahlil sebagai calon ketua umum, dan menegaskan dukungan itu sejalan sampai ke 33 kabupaten/kota. Ia bahkan berkata, saat itu “rencananya satu nama” mengerucut ke Bahlil.
Kalender partai pun ditandai: Rapimnas dijadwalkan 20 Agustus 2024 dan pembukaan Munas XI pada malam yang sama. Dari rangkaian forum di JCC, Senayan, Jakarta, Bahlil ditetapkan sebagai ketua umum periode 2024–2029 melalui aklamasi pada 21 Agustus 2024, sebagai kandidat tunggal yang lolos verifikasi. Laporan resmi partai menyebut proses tanpa interupsi, dan syarat dukungan minimal 30 persen pemilik suara Munas terpenuhi. Pimpinan sidang Munas juga menyebut dukungan “hampir 100 persen” dari DPD tingkat I, II, serta organisasi hasta karya.
Dengan latar itu, pencopotan Ijeck setahun lebih kemudian mudah dibaca sebagai “pisau” yang berbalik arah: bukan memotong tali kusut, melainkan mengiris orang yang dulu mengulurkan tangan. DPP, lewat Sarmuji, membungkus pergantian itu sebagai bagian dari penyelenggaraan musda. Ijeck merespons dingin—mengaku belum menerima SK resmi dan menyerahkan semuanya pada ketua umum. Tetapi dingin di mulut tak otomatis mendinginkan suhu organisasi. Di akar rumput, mesin politik tidak diam—menghitung, lalu mendidih.
Riza membaca peristiwa ini sebagai upaya melemahkan mesin Golkar di Sumut. Ia menyebut Ijeck sebagai “instrumen demokrasi” yang kuat dan sulit dikalahkan, sehingga—dalam logika yang ia tuduhkan—untuk melemahkan Golkar, Ijeck harus disingkirkan lebih dulu, lalu diganti figur “boneka”. Ia bahkan menuding ada “pesanan politik” dari mantan Presiden Joko Widodo untuk mengamankan kepentingan menantunya, Bobby Nasution, menjelang pilkada. Tuduhan ini tentu berat; menuntut jawaban setara: transparansi, alasan terukur, dan proses yang bisa diuji.
Masalahnya, Golkar sedang mempertaruhkan sesuatu yang lebih mahal dari satu jabatan: otonomi partai dari logika kekuasaan yang bergerak di luar struktur. Bila pergantian ketua daerah dilakukan tanpa argumentasi yang terang, partai memberi ruang bagi anggapan bahwa ia bukan lagi rumah kader, melainkan “kantor cabang kepentingan”. Dan ketika kader melihat “dukungan” hanya dihargai sampai seseorang tiba di kursi, mereka belajar politik licik: loyalitas bukan etika, melainkan tiket sekali pakai—disobek, diremas, lalu dilempar ke tong sampah.
Golkar pernah bertahan karena lihai mengelola friksi: faksi hidup dalam satu payung, konflik diselesaikan lewat forum, bukan lewat ambisi sepihak. Bila kini palu dipakai untuk merapikan daftar nama, partai mungkin tampak tertib, meski rapuh. Kerapian yang lahir dari rasa takut selalu memproduksi perlawanan, entah lewat pembangkangan diam-diam, entah lewat migrasi suara pada pemilu berikutnya. Pastinya, mesin politik kader di akar rumput “meraung”.
Riza meminta para sesepuh—dari Akbar Tandjung sampai Airlangga Hartarto—turun tangan. Seruan itu menandai kegentingan: ada bagian kader yang merasa mekanisme internal tidak cukup lagi melindungi mereka. Jika “tiga sekawan” Bahlil, Sarmuji dan Doli ingin mematahkan kata “pengkhianat” tanpa ribut di warung kopi, caranya sederhana dan berkelas: buka dasar keputusan, jelaskan ukuran kinerja, pastikan musda berjalan fair, dan buktikan bahwa Partai Beringin masih punya akar, bukan slogan manis di spanduk.
Kalau tidak, label “pengkhianatan” itu akan jadi racun yang menjalar di tubuh Partai Beringin. Ia menempel pada siapa pun yang duduk di puncak, sebab yang dikhianati bukan satu nama, melainkan nalar organisasi. Partai yang kehilangan nalar akan kehilangan arah dan pemilih. Konon di bawah, akar “beringin tua” sedang dipangkas oleh “tiga sekawan”—sang penjilat politik dan kekuasaan itu.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.






















































