Pengamat Ekonomi Nilai UMP Naik Tapi Pekerja Tetap Keluh Kesah

3 hours ago 2
Medan

22 Desember 202522 Desember 2025

Pengamat Ekonomi Nilai UMP Naik Tapi Pekerja Tetap Keluh Kesah Pengamat Ekonomi Sumatera Utara, Benjamin Gunawan. Waspada.id/ist

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

MEDAN (Waspada.id): Gubernur Sumatera Utara telah menetapkan besaran upah minimum provinsi (UMP), sebesar Rp.3.228.971, atau naik dari posisi sebelumnya sebanyak 7.9%. ini berarti Gubernur Sumut memutuskan besaran kenaikan upah dengan batas atas nilai alfa pemerintah.

Pada dasarnya kenaikan upah minimum yang ditetapkan pemerintah sepenuhnya telah mempertimbangkan peningkatan pengeluaran masyarakat mengacu kepada besaran inflasi.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Pengamat Ekonomi Sumatera Utara, Benjamin Gunawan menyampaikan pada Senin (22/12/2025) bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang menyesuaikan dengan penetapan besaran alfa. Maka pada dasarnya kenaikan UMP juga sudah menambahkan besaran kenaikan pendapatan di atas inflasi.

Namun mengapa masyarakat masih banyak mengeluh dengan kenaikan upah tersebut. Pertama kenaikan UMP ini hanya berlaku pada pekerja di bawah 1 tahun.

Kata dia, pertama, untuk pekerja yang bekerja diatas 1 tahun, kenaikan upahnya memang berbeda dan diatur melalui struktur dan skala upah perusahaan. Nah harapannya memang ada kenaikan yang lebih besar darti laju tekanan inflasi juga. Karena kalau tidak tidak maka akan membuat pengeluaran akan lebih besar dari pemasukan.

Kedua kenaikan upah ini berdasarkan perhitungan laju tekanan inflasi yang sudah dilalui. Sehingga kenaikan upah ini belum mengkompensasi kenaikan inflasi di tahun depan. Paadahal kenaikan upah ini berlaku untuk tahun depan. Dan pengendalian inflasi pemerintah di tahun depan akan sangat menentukan nilai ril uang yang dipegang oleh masyarakat.

Ketiga, data menunjukan penambahan jumlah tenaga kerja informal yang memberikan gambaran bahwa ada peralihan tenaga kerja dengan kualitas pendapatan yang menurun. Hal ini bisa terjadi karena ada pemutusan hubungan kerja, jam kerja yang menurun dan menekan upah, hingga pengurangan fasilitas maupun tunjangan yang sebelumnya sempat dinikmati oleh pekerja.

Keempat, masyarakat punya pengeluaran yang bisa saja naik secara eksponensial. Seperti anak yang tumbuh besar dengan kenaikan biaya Pendidikan yang berlipat. Hal ini bisa terjadi saat lompatan pengeluaran untuk kebutuhan transportasi, akomodasi, hingga peralatan sekolah. Contoh gambaran sederhana ada anggota keluarga yang tumbuh dewasa dengan mengenyam jenjang Pendidikan yang lebih tinggi.

Kelima, ada pengeluaran yang lebih banyak untuk hal yang sifatnya tak terduga. Seperti pulsa, handphone, sepeda motor, pendidikan tambahan, atau bahkan pegeluaran terpaksa seperti terdampak bencana alam, tertimpa penyakit atau musibah yang sifatnya tidak terduga. Dan masih ada beberapa faktor lain yang kerap membuat kenaikan upah tidak mampu menutupi pengeluaran sehari-hari.

Kunci utama agar kenaikan UMP (upah minimum propinsi) ini benar-benar bisa dinikmati oleh pekerja atau keluarga pekerja. Maka memang landasan utama yang harus dibangun adalah upah yang disesuaikan dengan kebutuhan hidup layak terlebih dahulu. Disini yang kerap diperdebatkan oleh pengusaha, pemerintah dan pekerja. Selanjutnya adalah kenaikan UMP disesuaikan dengan kenaikan biaya hidup yang tertuang dalam kebutuhan hidup layak itu sendiri.

Secara teoritis atau pada prakteknya saya meyakini hal ini sudah dilakukan. Namun KHL ini kerap dikaitkan dengan standar minimum kebutuhan layak pekerja yang statusnya lajang atau singel. Sehingga komponen pembentuk KHL ataupun harga acuannya bisa mengalami perubahan. Nah disini letak perdebatan jika KHL justru mengacu pada status single, namun justru diimplementasikan oleh masyarakat sebagai acuan kenaikan upah yang sudah berkeluarga.

Dalam konteks saat ini, kenaikan upah yang kerap masih dikeluhkan dan dianggap tidak mampu mengimbangi pengeluaran.

“Menurut hemat saya lebih banyak dipengaruhi oleh penurunan kualitas pekerjaan yang diberikan perusahaan. Dan menekan pendapatan atau upah yang didapat oleh pekerja. Di Sumut hal ini tercermin dari kondisi industri pengolah karet alam di wilayah Sumut. Dan dampak dari efisiensi bagi perusahaan lain memaksa karyawan berkerja dengan jam kerja yang lebih rendah, ” ujarnya.

Termasuk juga jam lembur yang berkurang, insentif yang tidak sebesar sebelumnya, atau sejumlah masalah lain yang mengakibatkan kenaikan upah belum tentu mampu mengkompensasi pendapatan (take home pay) yang sudah didapat selama ini.

Jadi memang yang dibutuhkan adalah bagaimana pemerintah mengendalikan inflasi, mendorong geliat industri di Sumut agar mampu menyerap lebih banyak pekerja, menghadirkan investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mengerem penambahan jumlah pekerja di sektor informal.(id18)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |