Menggagas Diplomasi Geoekonomi RI: BRICS Demi Kemandirian Global South

4 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Indonesia resmi bergabung dalam BRICS dan duduk di meja yang sama dengan negara-negara seperti Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan-negara-negara yang, suka tidak suka, kini menggeser poros kekuasaan global ke arah Selatan.

Kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam KTT BRICS di Brasil pada 6-7 Juli 2025 tidak sekadar seremoni diplomatik, tetapi pertanda bahwa Indonesia sedang menggambar ulang peta orientasi globalnya. Namun, di tengah euforia geopolitik ini, satu pertanyaan mendesak: apa yang sebenarnya kita perjuangkan di dalam BRICS?
Dunia yang Bergeser dan BRICS yang Menawarkan Ruang

BRICS bukanlah forum baru. Tapi dalam beberapa tahun terakhir, relevansinya meningkat justru karena stagnasi reformasi di lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia. BRICS tumbuh dari kelelahan kolektif negara-negara berkembang atas struktur global yang dinilai tidak adil-dominan pada suara Barat, lamban dalam merespons krisis iklim, dan masih berlandaskan logika utang yang menjerat.

Kini, lebih dari 45% populasi dunia hidup di negara-negara BRICS. Gabungan PDB-nya-berdasarkan paritas daya beli-sudah melampaui G7 (IMF, 2024). Bahkan dalam hal perdagangan intra-BRICS, nilainya telah mencapai USD 422 miliar menurut UNCTAD, meningkat 12% dalam empat tahun terakhir.

Namun, Indonesia belum mengambil bagian signifikan dari pertumbuhan ini. Ekspor kita ke negara-negara BRICS masih didominasi komoditas mentah. Produk industri halal, kesehatan, digital kreatif, bahkan agritech-semuanya belum tergarap maksimal. Padahal, inilah saatnya Indonesia menyusun strategi ofensif, bukan sekadar reaktif.

Peluang Strategis: NDB, LCS, dan Arah Investasi Global Selatan
Salah satu instrumen nyata yang dapat dimanfaatkan Indonesia adalah New Development Bank (NDB), bank pembangunan milik BRICS. Hingga 2024, NDB telah menyalurkan lebih dari US$ 32 miliar untuk proyek-proyek infrastruktur, energi, dan pembangunan berkelanjutan di negara anggotanya.

Uniknya, NDB mendorong penggunaan mata uang lokal dalam pinjaman-yang bisa menjadi pelengkap strategi dedolarisasi yang saat ini juga digerakkan oleh Bank Indonesia melalui Local Currency Settlement (LCS).

Nilai transaksi LCS Indonesia dengan mitra utama seperti China, Jepang, dan Malaysia telah mencapai Rp100 triliun pada 2023 (BI, 2024). Jika skema ini diperluas ke negara-negara BRICS, Indonesia akan lebih tahan terhadap gejolak nilai tukar dan lebih fleksibel dalam perdagangan lintas kawasan.

Dalam hal Foreign Direct Investment (FDI), Indonesia juga bisa memanfaatkan posisi strategis ini untuk menarik investasi dari Global South. China berkomitmen menanamkan modal hingga US$ 10 miliar untuk pengembangan kawasan industri hijau dan logistik di Kalimantan dan Sulawesi (BKPM, 2024). UEA dan India pun menunjukkan minat pada sektor energi terbarukan dan infrastruktur digital.

Risiko yang Tak Bisa Diabaikan
Namun, peluang tidak datang tanpa risiko. Struktur internal BRICS masih asimetris. China mendominasi baik secara ekonomi maupun inisiatif kebijakan. India, meski anggota aktif, tetap menjaga kedekatannya dengan Amerika Serikat. Rusia berada dalam tekanan sanksi dan isolasi geopolitik.

Indonesia harus cermat agar tidak terjebak dalam rivalitas kekuatan besar. Kemandirian politik luar negeri tetap harus dijaga, tetapi itu tidak berarti netralitas pasif. Justru, di tengah polarisasi dunia, Indonesia berpeluang memainkan peran sebagai penjembatan nilai, bukan sekadar kepentingan.

Selain itu, tantangan lain terletak di dalam negeri: rendahnya pemahaman publik, lemahnya koordinasi lintas lembaga, serta absennya agenda kebijakan yang terstruktur. Tanpa itu, BRICS hanya akan menjadi ruang elit tanpa dampak bagi masyarakat luas.

Kontribusi Indonesia: Etika dan Keuangan Berbasis Nilai
Yang dapat menjadi diferensiasi Indonesia dalam BRICS bukan sekadar jumlah penduduk atau cadangan nikel, melainkan kerangka nilai yang ditawarkan. Sebagai negara dengan ekosistem keuangan syariah terbesar keempat di dunia (IFDI, 2023), Indonesia memiliki otoritas moral dan teknokratik untuk mendorong lahirnya platform ethical finance berbasis prinsip keberlanjutan, partnership, dan inklusifitas.

Indonesia dapat memprakarsai pembentukan BRICS Ethical Finance Taskforce yang bertujuan merancang instrumen pembiayaan hijau berbasis prinsip keadilan distribusi, skema bagi hasil, dan keberpihakan pada sektor UMKM. Inisiatif ini bukan hanya akan menjadi kontribusi strategis Indonesia dalam penguatan arsitektur keuangan BRICS, tetapi juga menjawab kebutuhan global akan sistem pembiayaan yang lebih etis, inklusif, dan berkelanjutan.

Kepeloporan Indonesia dalam inovasi keuangan syariah-seperti penerbitan Green Sukuk dan pengembangan Cash Waqf Linked Sukuk-dapat menjadi landasan praksis yang memperkaya agenda BRICS menuju sistem keuangan global yang tidak sekadar efisien, tetapi juga berkeadaban.

Dari Simbol ke Strategi: Mendesain Peta Jalan Nasional BRICS
Keanggotaan ini harus dijalankan dengan peta jalan yang jelas dan terukur. Pemerintah perlu segera menyusun: pertama, Strategi Nasional BRICS yang selaras dengan RPJMN dan peta jalan industrialisasi hijau. Kedua, Tim Koordinasi Lintas Sektor antara Kemenlu, BI, Kemenko Perekonomian, BKPM, dan pelaku usaha.

Ketiga, Pusat Kajian Strategis BRICS Indonesia sebagai ruang produksi pengetahuan, diplomasi publik, dan penghubung ke masyarakat sipil. Tanpa struktur kebijakan dan produksi wacana yang konsisten, Indonesia akan kesulitan menjadikan BRICS sebagai instrumen transformasi, bukan sekadar seremoni politik luar negeri.

Indonesia dan Tanggung Jawab Global
Keputusan Indonesia bergabung dalam BRICS adalah langkah penting. Tapi maknanya tak akan utuh jika kita tidak mengisinya dengan visi dan kontribusi nyata. Dunia sedang berubah-dari sistem global yang terpusat pada segelintir negara menuju tatanan yang lebih multipolar.

Dalam arus itu, Indonesia bisa memilih: menjadi pengikut dari arus besar, atau menjadi pengarah dari gelombang baru. Kini saatnya Indonesia keluar dari posisi penonton dan mulai menulis ulang babak sejarah global bersama negara-negara Selatan. Tapi untuk itu, kita perlu keberanian, kebijakan, dan kapasitas yang memadai. Indonesia perlu hadir dengan gagasan yang menggerakkan agar tetap abadi dalam ingatan kolektif sejarah.


(miq/miq)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |