Kesalehan Ekologi

1 hour ago 1

Oleh: Farid Wajdi

Musim hujan 2025 memperlihatkan wajah alam yang kejam sekaligus mengundang introspeksi mendalam. Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh menjadi saksi tragedi banjir dan longsor yang menelan ratusan nyawa, menghancurkan rumah, merobohkan infrastruktur, dan memutus akses vital masyarakat terdampak.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Data terbaru per 29 November 2025 sore WIB menunjukkan jumlah korban meninggal akibat bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat mencapai 303 orang (Kompas, 2025; Detik, 2025; BBC Indonesia, 2025; Mistar.id, 2025; Suara Sumbar, 2025). Tragedi ini bukan sekadar bencana alam, melainkan cermin dari hubungan manusia dengan alam yang kerap timpang, serakah, dan abai terhadap keseimbangan ekologis.

Bumi bukanlah milik manusia secara mutlak. Al-Qur’an menegaskan: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (diciptakan) dengan baik” (QS. Al-A‘rāf (7): 56).

Amanah ini menuntut manusia menjadi khalifah yang menjaga keseimbangan alam, menghormati ekosistem, serta menahan diri dari keserakahan yang merusak.

Nabi Muhammad SAW mengajarkan: “La darar wa la dirar”, menekankan larangan menimbulkan bahaya atau kerugian, baik terhadap manusia maupun lingkungan (Ibn Majah, 1997). Kesalehan ekologi merupakan integrasi spiritual, moral, dan sosial, mengajarkan manusia menempatkan diri sebagai bagian dari alam, bukan penguasa yang menindas.

Tragedi di Sumatera menunjukkan ketimpangan nyata antara norma moral, hukum positif, dan praktik lapangan. Indonesia memiliki UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta regulasi mitigasi bencana, namun eksploitasi hutan, alih fungsi lahan, dan pembangunan di daerah rawan longsor masih berlangsung.

Dr. Emil Salim menekankan, pengabaian prinsip kehati-hatian dan pengelolaan sumber daya alam berpotensi memicu bencana ekologis yang bersifat sistemik (Salim, 2010).

Satjipto Rahardjo menegaskan hukum harus bersifat progresif, adaptif, dan responsif terhadap perubahan sosial, menjaga keadilan ekologis sekaligus melindungi masyarakat terdampak (Rahardjo, 2009).

Joseph Stiglitz menyoroti risiko pasar tanpa etika, sebab liberalisasi ekonomi yang tidak memperhatikan prinsip keberlanjutan menimbulkan kerusakan sosial dan ekologis (Stiglitz, 2010).

Kesalehan ekologi tidak hanya berbasis hukum dan agama, tetapi juga kearifan lokal. Masyarakat Minangkabau, Batak, dan Aceh memiliki aturan adat yang menjaga hutan, mempertahankan daerah aliran sungai, dan mengatur praktik pertanian berkelanjutan. Pelanggaran terhadap aturan ini, sering akibat urbanisasi, deforestasi, atau industrialisasi, meningkatkan kerentanan terhadap banjir dan longsor.

Irwanto menekankan, kearifan lokal mampu menjadi instrumen mitigasi bencana yang efektif, karena menanamkan nilai moral dan praktik berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari (Irwanto, 2015).

Aktivitas manusia yang serakah dan merusak lingkungan berimplikasi langsung terhadap munculnya bencana. Al-Qur’an menegaskan: “Dan apabila ia berpaling, ia berusaha membuat kerusakan di muka bumi dan menghancurkan tanaman dan binatang, Allah tidak menyukai kerusakan” (QS. Al-Baqarah (2): 205).

Ayat lain menegaskan prinsip moderasi: “Dan janganlah kamu berlebihan; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al-An‘ām (6): 141). Kesalehan ekologi menuntut manusia memadukan etika, spiritualitas, dan tindakan nyata untuk menjaga keseimbangan alam.

Dalam perspektif fikih, sumber daya alam adalah amanah yang harus dijaga. Prinsip al-ghunmu bil-ghurmi menegaskan setiap hak membawa tanggung jawab, termasuk terhadap lingkungan. Ekonomi yang mengabaikan dampak ekologis dianggap fasad (kerusakan) yang merugikan umat.

Hukum positif memberikan kerangka operasional melalui peraturan zonasi, perlindungan hutan lindung, dan kewajiban mitigasi bencana, mendukung penerapan kesalehan ekologi secara nyata (UU No. 32/2009).

Tragedi di Sumut, Sumbar, dan Aceh menjadi cermin nyata. Kesalehan ekologi mengajarkan manusia memandang bumi sebagai amanah, menghormati hak masyarakat, dan memelihara kearifan lokal.

Pembangunan dan aktivitas ekonomi harus memperhatikan dampak ekologis, menahan diri dari keserakahan, serta menempatkan kepentingan kolektif dan keberlanjutan di atas keuntungan sesaat. Integrasi hukum, moral, dan budaya menjadi syarat agar manusia hidup harmonis dengan alam.

Dalam konteks modern, teknologi menjadi alat untuk mengimplementasikan kesalehan ekologi. Sistem peringatan dini, pengelolaan air berbasis digital, dan pemantauan lingkungan melalui sensor cerdas dapat mengurangi risiko bencana. Smart planning dan mitigasi risiko harus memadukan prinsip amanah dan transparansi. Misalnya, pemetaan daerah rawan longsor menggunakan Artificial Intelligence (AI/Kecerdasan Buatan) dan drone, dikombinasikan regulasi ketat, mampu memperingatkan masyarakat sebelum bencana terjadi.

Kesalehan ekologi juga menuntut perubahan paradigma: manusia bukan pusat alam semesta yang boleh mengeksploitasi tanpa batas, melainkan bagian dari ekosistem yang saling tergantung. Tindakan berkelanjutan, penghormatan terhadap kearifan lokal, dan penerapan hukum serta norma moral menjadi cara efektif menekan bencana.

Bencana alam di Sumut, Sumbar, dan Aceh bukan sekadar tragedi fisik, tetapi panggilan spiritual, sosial, dan ekologis agar manusia menata relasi dengan alam berdasarkan kesalehan ekologis.

Bencana yang terus berulang menuntut integrasi pengetahuan tradisional, hukum positif, dan teknologi modern. Kesalehan ekologis menjadi kerangka berpikir yang memadukan nilai moral, hukum, dan budaya.

Keberlanjutan bumi bergantung pada perilaku manusia: menahan keserakahan, menghormati hak masyarakat, melestarikan hutan, menjaga sungai, dan menghormati kearifan budaya yang telah terbukti menjaga keseimbangan alam selama berabad-abad.

Kesadaran ini menjadikan kesalehan ekologi bukan sekadar idealisme, melainkan kebutuhan mendesak. Ia memadukan moralitas, spiritualitas, hukum, budaya, dan sains dalam satu kerangka harmonis, membimbing manusia agar bumi tetap lestari, kehidupan masyarakat aman, dan generasi mendatang mewarisi lingkungan sehat.

Tragedi banjir dan longsor di Sumut, Sumbar, dan Aceh menjadi pengingat keras: alam bukan lawan, tetapi guru. Merawatnya adalah ibadah, menjaga keseimbangan adalah amanah, dan kesalehan ekologis adalah jalan menuju keadilan sosial dan keberlanjutan global. (Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |