Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjun lebih dari 3% ke level 6200-an atau setara posisi terpuruk lebih dari tiga tahun lalu.
Sampai akhir perdagangan hari ini, Jumat (28/2/2025), IHSG ambruk 3,31% atau 214,85 ke posisi 6.270,60.
Penurunan dalam sehari ini menjadi yang paling parah sejak 5 Agustus 2024 dan menandai posisi terburuk lebih dari tiga tahun.
Barra Kukuh Mamia, Ekonom dari Bank Central Asia (BCA) melihat penyebab dari IHSG yang semakin merah ini masih disebabkan rebalancing MSCI dan sentimen risk-off terkatit tarif Trump.
"Ini masih rebalancing sepertinya ya.. kalau beberapa hari terakhir yang merah bukan cuma Indonesia, tapi global juga. Kebanyakan bursa merah kecuali Jepang dan China" ungkap Barra.
Pada hari ini tercatat akan menjadi cutt off untuk rebalancing indeks MSCI dan akan efektif per 3 Maret 2025. Diketahui, MSCI telah mengurangi bobot Indonesia dari 2,2% menjadi 1,5% selama kurun waktu lima tahun terakhir.
Sebelumnya, MSCI telah memangkas jumlah konstituen saham Indonesia secara bertahap. Dalam rebalancing terbarunya, MSCI tidak menambah saham baru di kategori large cap Indonesia, tetapi justru mengeluarkan tiga saham yakni PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). MDKA dan INKP kini masuk ke kategori small cap, sedangkan UNVR dikeluarkan sepenuhnya dari daftar konstituen MSCI. Perubahan ini mempersempit cakupan investasi asing di pasar saham domestik.
Dampak pemangkasan bobot Indonesia dalam MSCI ini juga semakin terasa dengan penurunan peringkat saham Indonesia dari equal-weight (EW) menjadi underweight (UW). Morgan Stanley mencatat bahwa tren return on equity (ROE) saham-saham Indonesia terus melemah akibat perlambatan ekonomi dan tekanan terhadap sektor siklikal. Dengan rebalancing yang makin menggerus bobot saham Indonesia, investor diharapkan mencermati aliran dana asing dan volatilitas yang berpotensi meningkat dalam waktu dekat.
Lebih lanjut Barra juga menerangkan soal risk off terkait Tarif Trump yang kabarnya akan dipercepat ke Kanada dan Meksiko, ditambah lagi ke China.
Presiden Trump kembali mempertegas tabuhan genderang perang dagangnya dengan mengumumkan tarif baru terhadap Meksiko dan Kanada sebesar 25% akan mulai berlaku pada 4 Maret, sementara China akan dikenakan tambahan tarif 10% pada tanggal yang sama. Keputusan ini memperkuat kebijakan proteksionisme ekonomi yang menjadi ciri khas pemerintahannya, sekaligus menambah ketidakpastian di pasar global.
Sebagai catatan, pada 4 Maret 2025 adalah pekan pertama di bulan Ramadhan sehingga kebijakan Trump ini diyakini berdampak besar terhadap pasar keuangan pekan tersebut.
Kebijakan tarif ini sebelumnya sempat ditangguhkan pada 3 Februari untuk jangka waktu satu bulan, yang menyebabkan kebingungan tentang apakah tarif akan kembali diberlakukan atau tidak setelah periode penundaan berakhir.
Dalam sebuah unggahan di Truth Social pada Kamis (27/2/2025), Trump memastikan bahwa tarif tersebut akan berjalan sesuai jadwal.
Dalam pernyataannya, Trump mengeklaim bahwa perdagangan narkotika ilegal dari Meksiko dan Kanada ke AS masih berada pada tingkat yang sangat tinggi dan tidak dapat diterima, meskipun kedua negara telah berjanji untuk meningkatkan pengawasan di perbatasan mereka.
"Kami tidak bisa membiarkan ancaman ini terus merusak AS. Oleh karena itu, hingga masalah ini berhenti atau setidaknya sangat dibatasi, tarif yang dijadwalkan untuk diberlakukan pada 4 Maret akan tetap berlaku, seperti yang telah dijadwalkan sebelumnya," tulis Trump, sebagaimana dikutip dari CNBC International.
Di sisi lain, data ekonomi AS juga melemah dan ada spekulasi soal stagflasi. Sentimen risk off ini kemudian terlihat dari indeks dolar AS (DXY) yang menguat lagi.
CNBC Indonesia memantau dalam tiga hari ini the greenback mencatat kenaikan beruntun. Seiring dengan itu, mata uang Garuda pun merespon dengan semakin melemah. Hal tersebut terjadi lantaran aliran dana keluar asing masih deras.
Enrico Tanuwidjaja, ASEAN Economist di UOB juga melihat bahwa dampak dari DXY yang terus menguat ini juga memukul pergerakan bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street.
Selain dampak eksternal, Hosianna Situmorang,Ekonom Bank Danamon mengatakan ada dampak dari penyesuaian kebijakan baru di domestik sehingga outflow tidak terhindarkan.
Hossiana mengharapkan penerapan Devisa Hasil Ekspor (DHE) nanti bisa membantu arah perbaikan bagi rupiah terhadap dolar AS.
Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto juga menyoroti permasalahan domestik yang memicu investor asing meninggalkan pasar keuangan dalam negeri, hingga berujung pelemahan dalam terhadap kurs rupiah.
"Kami telah mengatakan berkali-kali bahwa seharusnya BI menurunkan suku bunga pada rapat dewan gubernur bulan ini untuk memberi optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini"
Rully menerangkan lebih lanjut bahwa semestinya pemangkasan suku bunga dapat dilakukan ketika efisiensi anggaran diperkirakan menyebabkan tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%.
Sejauh ini, menurut Rully pasar sangat meragukan kemampuan pemerintah untuk mensuport target pertumbuhan ekonomi 8%.
"Berdirinya Danantara justru menimbulkan kekhawatiran menyebabkan crowding out sektor swasta karena dipersepsikan terlalu menekankan kepada peran BUMN. Peningkatan ketidakpercayaan masyarakat terhadap BUMN menyebabkan munculnya isu penarikan dana dari bank-bank BUMN" pungkasnya.
Menurut analisis MNCS Daily Scope Wave hari ini, Jumat, (28/2/2025), koreksi dari IHSG pun sudah menembus area support di Rp6.500, dengan demikian diperkirakan koreksi IHSG masih rawan berlanjut untuk menguji rentang area Rp6,269-Rp6,399.
Melihat hal ini, Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana mengatakan, investor harus lebih selektif dalam memilih saham. Adapun setelah kejadian ini, area support IHSG akan berada di Rp6.356 dan resist di 6.456.
"Investor dapat cenderung selektif dalam pemilihan sahamnya dan dapat mencermati perkembangan secara makro dan beberapa emiten yg sdg rilis kinerja Full Year (FY) 2024-nya," ungkap Herditya kepada CNBC Indonesia.
Di sisi lain, Analis saham Alfred Nainggolan mengatakan, sentimen koreksi bursa global menjadi sentimen pengoreksi bursa IHSG. Selain itu, aksi jual asing yang masif yang terus berlangsung membuat tekanan jual semakin kuat (Herding Behavior).
"Minimnya sentimen domestik , bahkan pemberitaan mega korupsi, "trust" Danantara, Downgrade, hingga laporan kinerja bigbank di awal 2025 yg rendah ikut menekan IHSG. Stabilitas domestik (Ekonomi dan Politik) sedang terganggu, ditambah kondisi eksternal yang berat (Trump, Inflasi, The FED) Rupiah tidak punya tenaga untuk tidak terdepresiasi," jelas Afred.
Meski di tengah beberapa sentimen negatif tersebut, Alfred berpesan pada investor jangka panjang untuk bisa melihat momentum ini sebagai potensi untuk membeli saham di harga murah. Ia pun membidik rentang support IHSG berikutnya di angka Rp6.260.
"Investor (Periode investasi panjang) tentu dengan penurunan harga saham yg lebih besar dari penurunan kinerja membuat valuasi sahamnya semakin murah, bisa menjadi momentum untuk akumulasi (cicil) beli," tuturnya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)