Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Involuntary competition merupakan terminologi yang awalnya digunakan untuk menggambarkan persaingan sengit antar kaum muda di China. Mereka mengeluarkan semua energi untuk bersaing tetapi mendapatkan hasil yang tidak memuaskan (AP News, 4/7/2025).
Istilah "involution" kemudian diadopsi oleh pemerintah China dalam menjelaskan siklus persaingan harga (price war) tanpa henti yang mengutamakan keuntungan jangka pendek di industri mobil listrik dan platform digital China. Fenomena ini berpotensi mengganggu ekosistem bisnis mobil listrik dan platform digital China secara keseluruhan.
Terminologi involutary competition (persaingan involusioner) dalam ekosistem digital ditandai oleh siklus persaingan harga yang ekstrem. Dimana, platform digital yang didukung modal asing dalam jumlah besar menggunakan strategi harga sangat rendah, mengarah ke predatory pricing.
Secara nasional, platform digital jasa pengantaran orang, makanan dan barang memiliki struktur pasar duopoly dengan dua pemain dominan, yaitu aplikator lokal diwakili GoJek yang didirikan di Jakarta bersaing dengan aplikator asing, Grab yang didirikan di Kuala Lumpur. Persaingannya mengarah ke Bertrand competition menggunakan harga sangat rendah sebagai strategi utama.
Kolonisasi Platform
Price war dalam ekosistem digital untuk jasa pengantaran orang, makanan dan barang bertujuan bukan untuk menarik pelanggan, tetapi untuk menyingkirkan pesaing dan menguasai pasar. Sehingga, dalam jangka panjang ekosistem digital hanya dikuasai oleh satu pemain dominan.
Dimana, keterlibatan asing dalam menyediakan permodalan bagi platform digital tertentu dapat mengarah pada penguasaan ekosistem digital nasional. Perang harga dengan melibatkan pihak asing berpotensi melemahkan ekosistem digital nasional yang dapat berujung pada kolonisasi platform digital.
Price war yang mengarah pada praktik predatory pricing bertentangan dengan Pasal 20, Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Pada pasal 20 disebutkan bahwa: "Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual beli atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat."
Predatory pricing oleh platform digital bermodal besar akan mematikan pesaing bermodal kecil. Hal ini dapat merusak keseluruhan ekosistem digital nasional yang saat ini memiliki gross merchandise value (GMV) mencapai 90 miliar dollar Amerika Serikat (AS) tahun 2024 dan diproyeksi menjadi 360 milyar dollar AS tahun 2030 (Temasek-Google, 2024).
Praktik predatory pricing yang dilakukan melalui pemberian voucher discount sangat besar berpotensi menghambat pertumbuhan bisnis pengantaran orang, makanan dan barang yang nilainya sudah mencapai 9,0 milyar dollar AS tahun 2024. Industrinya diproyeksi tumbuh rata-rata dua digit hingga lima tahun ke depan sehingga nilainya meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 20 milyar dollar AS tahun 2030.
Intervensi Pemerintah
Sejalan dengan pandangan ekonom Perancis, Jean Tirole, peraih hadiah nobel ekonomi tahun 2014, jika terdapat perusahaan yang memiliki market power (kemampuan suatu perusahaan mendikte pasar dengan harga jual tinggi) di pasar maka diperlukan pengaturan pemerintah. Instrumennya dapat berupa tarif batas atas (TBA).
Demikian juga dengan pasar yang dikuasai oleh satu atau dua pemain besar, dimana terdapat potensi terjadinya praktik predatory pricing maka diperlukan regulasi pemerintah melalui pengaturan tarif batas bawah (TBB).
Hal yang sama dilakukan pemerintah China, mengatur penjualan mobil listrik dan platform digital untuk menghindari praktik diskon harga sangat tinggi oleh BYD sebagai perusahaan mobil listrik dominan di China. Dimana, hingga semester pertama 2025, penjualan BYD tumbuh sangat eksesif sebesar 31 persen dengan volume penjualan 2,1 juta unit.
Intervensi pemerintah China dalam mengatur harga mobil listrik dimaksudkan untuk membatasi BYD memberikan diskon harga terlalu besar. Tanpa pembatasan diskon harga berpotensi mematikan produsen mobil listrik kecil. Hal ini dapat menghancurkan ekosistem mobil listrik China dan merugikan ekosistem mobil listrik China dalam jangka panjang.
Sejalan dengan kecenderungan di atas, langkah pertama yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia dalam menjaga momentum pemulihan dan pertumbuhan dua digit platform digital nasional paska Covid-19 adalah memastikan regulasi TBA dan TBB dijalankan oleh semua platform digital.
Selanjutnya, adanya fakta yang menunjukkan bahwa permintaan konsumen dalam bisnis transportasi berbasis aplikasi online sangat sensitif terhadap perubahan harga, sehingga langkah kedua yang dapat dilakukan pemerintah adalah mengkaji kembali rencana kenaikan tarif dan penurunan komisi aplikasi menjadi hanya 10 persen.
Kenaikan tarif dan penurunan komisi aplikasi dikhawatirkan mengganggu posisi Indonesia sebagai jangkar ekosistem digital ASEAN dengan GMV Indonesia sekitar 90 miliar dollar AS dari 263 milyar dollar AS untuk ASEAN tahun 2024. Ekosistem digital Indonesia mencapai 35 persen dari total ekosistem digital ASEAN.
Langkah ketiga adalah melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran TBA dan TBB. Penegakan hukum dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengingat penjualan dengan diskon berlebih dalam jangka panjang bertentangan dengan pasal 20, UU Nomor 5 Tahun 1999.
Sementara, penetapan harga di atas TBA dapat dianggap sebagai abused of market power, yaitu penyalahgunaan posisi dominan di pasar. Langkah ini bertentangan dengan pasal 17, ayat 1, UU Nomor 5 Tahun 1999 mengenai penyalahgunaan posisi dominan di pasar. Akhirnya, langkah-langkah di atas diharapkan menghentikan fenomena involuntary competition dengan price war yang berpotensi mengarah pada kolonisasi platform digital nasional.
(rah/rah)