Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI), muncul 'harta karun' baru yang kini jadi rebutan perusahaan teknologi raksasa, yakni lahan untuk membangun pusat data (data center).
Kendati demikian, di balik potensi ekonomi yang besar, praktik tersembunyi di balik proyek-proyek ini justru memicu keresahan dan tudingan pelanggaran transparansi publik.
Kisah ini bermula di Mason County, Kentucky, Amerika Serikat. Seorang petani bernama Dr. Timothy Grosser menolak tawaran fantastis sebesar US$10 juta atau sekitar Rp160 miliar untuk lahan pertaniannya seluas 100 hektar yang telah ia kelola selama hampir empat dekade.
Tawaran itu disebut berasal dari perwakilan sebuah "perusahaan Fortune 100" yang ingin membeli tanah tersebut untuk proyek industri berskala besar.
Namun, perwakilan itu menolak mengungkapkan nama perusahaan, jenis industrinya, bahkan identitas dirinya. Sebagai gantinya, ia meminta Grosser menandatangani perjanjian kerahasiaan (non-disclosure agreement/NDA) sebelum mendapat informasi lebih lanjut.
"Kami menolak menandatanganinya," ujar Grosser dikutip dari NBC News, Rabu (29/10/2025). "Saya tidak akan menjual lahan saya berapa pun harganya," imbuhnya.
Beberapa bulan kemudian, pejabat daerah setempat mengumumkan bahwa Mason County sedang dipertimbangkan sebagai lokasi pembangunan pusat data baru, salah satu infrastruktur utama yang menopang bisnis AI global.
Fenomena seperti yang dialami Grosser kini semakin sering terjadi di Amerika Serikat. Dalam laporan NBC News, banyak proyek pusat data bernilai miliaran dolar yang mengharuskan pejabat daerah dan penjual tanah menandatangani NDA, membatasi mereka untuk berbicara kepada publik mengenai detail proyek tersebut.
Lonjakan permintaan layanan AI membuat perusahaan berlomba membangun fasilitas baru di berbagai negara bagian AS.
Data center berskala besar (hyperscale) ini menampung ribuan server dan sistem komputasi untuk memproses data AI dalam jumlah masif.
Namun, percepatan pembangunan ini juga menimbulkan berbagai persoalan. Proyek-proyek pusat data kerap menimbulkan konsumsi listrik dan air yang sangat tinggi, serta dampak lingkungan yang signifikan.
Warga di beberapa wilayah seperti Loudoun County (Virginia) dan South Memphis (Tennessee) melaporkan gangguan suara dari mesin pendingin, polusi udara dari turbin gas, serta potensi krisis air akibat kebutuhan operasional yang besar.
Selain itu, penggunaan perusahaan cangkang (shell company) dan kontrak rahasia membuat masyarakat sulit mengetahui siapa sebenarnya pengembang di balik proyek-proyek tersebut.
Menurut Pat Garofalo, Direktur Kebijakan di American Economic Liberties Project, praktik ini berpotensi melanggar prinsip dasar demokrasi.
"Pejabat publik seharusnya bertanggung jawab kepada masyarakat, bukan kepada perusahaan rahasia yang membuat kesepakatan di balik layar," tegasnya.
Meski diklaim sebagai strategi untuk menjaga kerahasiaan bisnis dari pesaing, penggunaan NDA dalam proyek data center dinilai semakin menutup ruang keterbukaan publik dan memicu ketidakpercayaan warga.
Sementara itu, keenam perusahaan teknologi besar yang disebut tengah berlomba membangun data center di seluruh AS, Amazon, Microsoft, xAI, Google, Meta, dan Vantage Data Centers, menolak memberikan komentar atau tidak menanggapi pertanyaan media terkait praktik penggunaan NDA tersebut.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Pencipta ChatGPT Ketahuan Bangun Kompleks Raksasa di Gurun Arab

3 hours ago
3
















































