Game Over untuk Dolar? Mata Uang Ini Saling Sikut Naik Tahta

6 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) mencatat kinerja semesteran terburuknya dalam lebih dari lima dekade. Investor kini beralih ke mata uang lain seperti poundsterling dan euro yang dianggap lebih aman.

Sepanjang paruh pertama tahun 2025, indeks dolar AS tercatat anjlok sebesar 10,7% terhadap sekeranjang mata uang utama dunia. Hal ini menjadikannya pelemahan paling tajam sejak 1973, tahun ketika Presiden Richard Nixon secara resmi mengakhiri keterikatan dolar terhadap emas (Bretton Woods system).

Depresiasi tajam ini menandai tantangan besar yang dihadapi greenback dalam memasuki babak kedua tahun ini. Bahkan, pada satu titik di bulan Juni, dolar AS menyentuh level terendah sejak Februari 2022.

Penurunan nilai dolar bukan hanya mencerminkan melemahnya daya tarik mata uang tersebut sebagai aset safe haven, tetapi juga mengisyaratkan perubahan arah kebijakan moneter global.

Ekspektasi bahwa bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan memangkas suku bunga dalam beberapa bulan ke depan telah mendorong investor keluar dari aset dolar dan beralih ke mata uang lain yang menawarkan imbal hasil lebih kompetitif termasuk euro, franc Swiss, krone Denmark, poundsterling, hingga yen Jepang.

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari Refinitiv, franc Swiss menjadi mata uang dengan performa terbaik terhadap dolar AS selama Januari hingga Juni 2025.

Franc terapresiasi sebesar 13,07%, memimpin reli mata uang global di tengah pelemahan dolar. Disusul oleh euro yang menguat 12,93% dan krone Denmark yang naik 12,88% pada periode yang sama.

Penguatan ini sebagian besar ditopang oleh kebijakan European Central Bank (ECB) yang berkomitmen untuk menjaga kebijakan suku bunga tetap stabil di tengah gejolak pasar global. 

Pejabat Bank Sentral Eropa mengatakan bahwa, "meskipun euro masih jauh dari mengancam greenback sebagai aset cadangan global, tetapi mata uang euro akan semakin dilihat sebagai alternatif yang stabil selama memiliki kebijakan yang mendukung di belakangnya," Dikutip dari CNBC International.

Di luar euro, poundsterling Inggris juga menguat sebesar 8,87%, diikuti oleh yen Jepang yang menguat 8,20%.

Dengan outlook suku bunga AS yang kian longgar, sementara beberapa bank sentral lain memilih tetap hawkish atau baru saja memulai pelonggaran yang sangat hati-hati, selisih imbal hasil pun menyempit. Hal ini memperlemah daya tarik dolar AS secara struktural, khususnya dalam jangka pendek hingga menengah.

Situasi ini dapat memiliki implikasi signifikan terhadap arus modal global, perdagangan internasional, dan harga komoditas dunia. Investor dan pelaku pasar kini bersiap menyambut semester II dengan kewaspadaan tinggi terhadap arah pergerakan dolar, yang kerap menjadi jangkar bagi aset-aset global.

Tekanan Terhadap Dolar AS Akan Terus Berlanjut

Dolar Amerika Serikat (AS) terus berada di bawah tekanan pada paruh pertama 2025 dan tren ini diperkirakan belum akan berakhir dalam waktu dekat. Menurut Kepala Bank Sentral Irlandia, Gabriel Makhlouf, pergerakan dolar saat ini mencerminkan fase penyelarasan ulang dan penyesuaian strategi investasi global oleh pelaku pasar.

"Saya pikir apa yang kita lihat saat ini dengan dolar AS adalah penyelarasan ulang dan penyesuaian ulang oleh investor," ungkap Makhlouf dikutip dari CNBC International.

Tekanan terhadap dolar juga dipicu oleh meningkatnya kekhawatiran terkait stabilitas hukum dan tata kelola di Amerika Serikat. Menurut Makhlouf, pelaku pasar kini memperhatikan risiko sistemik yang lebih besar dari sebelumnya, mulai dari arah kebijakan pemerintah hingga dinamika politik domestik AS.

"Ketika investor melihat pelemahan pada aturan hukum di AS dan mencermati respon pemerintah yang tidak pasti, mereka mulai melihat bahwa ada risiko lebih besar terhadap investasi dan aset mereka, dan mereka pun melakukan penyesuaian," tambahnya.

Dalam konteks ini, sejumlah mata uang utama dunia mulai mendapatkan momentum, terutama euro. Menariknya, porsi euro sebagai cadangan devisa global telah bertahan stabil selama lebih dari satu dekade di kisaran 20%, menurut laporan terbaru European Central Bank (ECB).

Sebaliknya, dominasi dolar AS perlahan memudar. Berdasarkan data ECB, porsi dolar AS dalam cadangan devisa global turun dari 68,8% pada 2014 menjadi 57,8% pada akhir 2024. Ini menjadi sinyal bahwa investor dan bank sentral dunia mulai melakukan diversifikasi dari aset berbasis dolar ke mata uang lain.

Penurunan pangsa dolar dalam cadangan devisa juga mencerminkan tren de-dolarisasi yang semakin menguat, terutama di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik dan perubahan arah kebijakan moneter global.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |