MEDAN (Waspada.id): Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara a, M.I.Kom (foto) berpendapat, dunia membutuhkan paradigma yang mengintegrasikan dimensi spiritual, etika, dan sosial dalam upaya pelestarian bumi.
Hal ini dikatakan Tuan M. Yoserizal Saragih di Medan, Sabtu (2/8) merespon kondisi terkini di tengah krisis lingkungan global yang semakin mendesak, mulai dari perubahan iklim, deforestasi, polusi, hingga ketimpangan akses terhadap sumber daya alam.
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Menurut Yoserizal, ekoteologi Islam hadir sebagai pendekatan holistik yang menghubungkan keimanan (tauhid), tanggung jawab manusia terhadap alam, serta hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama makhluk.
Nusantara sebagai kawasan dengan kekayaan warisan spiritual dan kearifan lokal ekologis menjadi laboratorium budaya yang sangat relevan untuk pengembangan paradigma ini.
Namun, kunci keberhasilan terletak pada peran media, khususnya jurnalistik, sebagai agen pendidikan publik dan transformasi sosial yang menyuarakan nilai keberlanjutan berdasarkan prinsip-prinsip keislaman dan kebangsaan.
“Paradigma yang saya ajukan, yaitu Paradigma Jurnalistik Ekoteologi Islam Nusantara, adalah model jurnalisme yang berlandaskan pada nilai tauhid, kurikulum cinta, kearifan lokal, dan nilai-nilai Pancasila demi membangun kesadaran ekologis global yang adil, beradab, dan lestari,” ujarnya.
Yoserisal menuturkan, dalam konteks ini, tauhid bukan sekadar pengakuan atas keesaan Allah, melainkan paradigma hidup menyeluruh yang membimbing manusia dalam menjalankan peran sebagai khalifah di bumi.
Dimensi Ubudiyah
Dalam dimensi Ubudiyah, manusia adalah hamba Allah yang diberi amanah menjaga dan merawat ciptaan-Nya dengan penuh tanggung jawab.
Dalam dimensi Uluhiyah, seluruh eksistensi tunduk kepada kehendak dan aturan Ilahi; oleh sebab itu, segala bentuk eksploitasi alam yang merusak adalah bentuk pembangkangan terhadap kehendak Tuhan.
Sedangkan dalam dimensi Rububiyah, Allah sebagai Rabb, Pemelihara dan Pengatur alam semesta, menuntut manusia untuk menjadi mitra dalam menjaga bumi sebagai bentuk ibadah sosial-ekologis yang mendapat pahala dan ridha Ilahi.
Pendekatan ini diperkuat oleh para ulama besar, seperti Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang menegaskan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian integral dari maslahah ‘ammah (kemaslahatan umum), serta Imam Fakhruddin Ar-Razi yang menegaskan bahwa keadilan terhadap makhluk hidup merupakan konsekuensi nyata dari tauhid yang hakiki.
Yoserizal menambahkan bahwa ekoteologi Islam dalam Al-Qur’an dan Hadis termuat dalam Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Menegaskan Pentingnya Menjaga Alam
1. QS. Al-A’raf: 5 6 yang artinya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya...” dan QS. Ar-Rum: 41 yang artinya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah tangan manusia...” serta. QS. Fathir: 39 yang artinya, Dia (Allah) yang menjadikan kamu khalifah di bumi…” (Secara konteks lebih luas Allah menciptakan dan mengatur seluruh ciptaan).
Kemudian, QS. Al-Hijr: 85 yang artinya, “Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar.”; serta QS. Al-A’raf: 31 yang artinya “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Adapun Hadis-Hadis Nabi Muhammad SAW yang Mendorong Pelestarian Alam, di antaranya : “Sesungguhnya bumi ini hijau dan indah, dan Allah menjadikan kamu khalifah di atasnya. Maka perhatikanlah bagaimana kamu bertindak terhadapnya.”
Kemudian “Barang siapa menanam satu pohon, maka setiap buah yang dimakan manusia atau binatang akan menjadi sedekah baginya.” dan “Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau menabur benih, lalu sebagian makhluk memakan darinya, kecuali itu menjadi sedekah baginya.”; serta “Janganlah kalian memotong pohon tanpa hak di medan perang.” dan “Kebersihan adalah bagian dari iman.”
Kurikulum Cinta
Lebih lanjut Yoserizal menjelaskan, almukarram Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, Menteri Agama Republik Indonesia, memperkenalkan konsep Kurikulum Cinta sebagai pendekatan edukatif dan spiritual yang berlandaskan kasih sayang universal.
Dalam perspektif beliau, cinta bukan sekadar emosi melainkan fondasi etis dan spiritual yang harus meresap dalam setiap aspek kehidupan, termasuk hubungan manusia dengan alam. Kasih sayang merupakan atribut utama Allah SWT, tercermin dalam nama-Nya Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
Jurnalisme yang mengadopsi paradigma ini diharapkan mampu membangun narasi ekologis yang menumbuhkan cinta, empati, dan tanggung jawab kolektif terhadap lingkungan, menjauhkan media dari perilaku sensasional dan merusak.
Indonesia sebutnya, kaya akan kearifan lokal yang secara turun-temurun menjaga keseimbangan dan kelestarian alam.
Dalam Paradigma Jurnalistik Ekoteologi Islam Nusantara, kearifan ini menjadi modal penting untuk membumikan nilai tauhid dan kurikulum cinta.
Contohnya: Sasi (Maluku): Sistem larangan sementara pengambilan sumber daya alam untuk konservasi. Subak (Bali): Sistem irigasi yang menegakkan harmoni sosial dan spiritual (Tri Hita Karana).
Hutan Larangan (Sumatera): Kawasan adat yang dilindungi secara kolektif sebagai bagian dari budaya.
Baduy (Banten): Komunitas yang menjalankan prinsip hidup sederhana sebagai manifestasi iman dan pelestarian alam. Ammatoa Kajang (Sulawesi Selatan): Adat yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Habonaron Do Bona (Simalungun): Nilai keseimbangan antara manusia dan alam sebagai moral budaya.
Aceh & Minangkabau: Pendekatan religius dan adat yang menempatkan syariat sebagai landasan pengelolaan alam. Dayak (Kalimantan): Tradisi menjaga hutan sebagai ruang spiritual dan sumber kehidupan.
Toraja (Sulawesi Selatan): Aluk Todolo mengajarkan kesucian tanah dan pohon sebagai warisan spiritual.
Bone (Sulawesi Selatan): Nilai Ada Tongeng, Lempu, Getteng menanamkan etika menjaga alam sebagai amanah ilahiyah.
Kearifan lokal tersebut sejajar dengan lima sila Pancasila, yang menjadi kerangka etis-ekoteologis.
Yakni, 1. Ketuhanan Yang Maha Esa: Alam sebagai ciptaan Ilahi yang harus dijaga sebagai bentuk ibadah dan amanah.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Menolak eksploitasi alam yang merugikan keadilan ekologis dan martabat manusia.
3. Persatuan Indonesia: Alam sebagai rumah bersama yang menyatukan keberagaman bangsa dan budaya.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan: Pengelolaan lingkungan inklusif berbasis musyawarah dan kearifan lokal.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia: Menjamin keberlanjutan dan distribusi sumber daya secara adil antar generasi.
Peran Jurnalisme Konstruktif
Di bagian lain keterangannya, Yoserizal menekankan bahwa paradigma Jurnalistik Ekoteologi Islam Nusantara tidak hanya relevan di tingkat lokal, tetapi juga merupakan kontribusi penting dalam wacana global untuk mengatasi kapitalisme eksploitatif yang merusak lingkungan.
“Jurnalistik ekoteologi ini berakar pada tauhid, cinta kasih, kearifan lokal, dan nilai Pancasila untuk membangun peradaban ekologis yang berkeadaban dan berkelanjutan,” katanya.
Media tidak hanya bertugas memotret realitas, tetapi membentuk kesadaran kolektif dan masa depan. Ketika media menyuarakan alam, sesungguhnya media menyuarakan eksistensi Tuhan dalam ciptaan-Nya. Ini adalah medan amal shalih jurnalistik masa depan yang tidak hanya bermutu akademis, tetapi bermakna sosial dan spiritual.
Paradigma Jurnalistik Ekoteologi Islam Nusantara adalah jalan peradaban baru yang mengintegrasikan spiritualitas tauhid, nilai cinta kasih Ilahi, kearifan budaya lokal, dan falsafah Pancasila untuk merespons krisis iklim secara adil, beretika, dan beradab.
“Dari bumi Nusantara yang kaya nilai dan kebijaksanaan, dunia dapat belajar bahwa menjaga bumi adalah bagian dari iman dan tugas kemanusiaan tertinggi,” pungkasnya. (id06/rel)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.