Dilema Bintang Mahaputera Eks Koruptor: Apakah Korupsi Bisa ‘Ditebus’?”

3 weeks ago 14
Medan

28 Agustus 202528 Agustus 2025

 Apakah Korupsi Bisa ‘Ditebus’?” Farid Wajdi. Waspada.id

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 menyampaikan pandangan terkait pemberian bintang Mahaputra.

Disebutkan, ketika kabar Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia yang pernah divonis kasus korupsi, menerima Bintang Mahaputera Adipradana, publik tidak hanya terkejut, tetapi juga tercengang. Bagaimana mungkin seseorang yang pernah merampok kepercayaan dan uang rakyat dianugerahi penghargaan tertinggi negara?

Di saat aparat penegak hukum sibuk mengejar kasus korupsi lain, penghargaan semacam ini seakan memberi sinyal: hukum bisa dilanggar, namun reputasi tetap bisa “dibeli” lewat jasa sesudahnya.

Mari lihat fakta! Burhanuddin divonis lima tahun penjara akibat pengelolaan dana Bank Indonesia yang menimbulkan kerugian negara ratusan miliar rupiah. Kejahatan ini bukan kesalahan administratif kecil; ini adalah pelanggaran serius yang merusak fondasi ekonomi dan menodai kepercayaan publik terhadap institusi vital.

Masalahnya kini, yang seharusnya menjadi catatan kelam sejarah justru dirayakan dengan bintang kehormatan. Apakah bangsa ini kehilangan kompas moral? Apakah korupsi kini bisa “dilunasi” dengan prestasi pasca-penjara?

Pemerintah menegaskan penghargaan diberikan karena Burhanuddin berkontribusi dalam stabilitas moneter, penguatan perbankan, dan pendidikan ekonomi.

Tentu, jasa-jasa ini patut diapresiasi. Namun, ada pertanyaan yang tak bisa diabaikan: bolehkah kontribusi pasca-korupsi menghapus konsekuensi moral dari perbuatan yang merugikan rakyat? Ketika simbol negara paling tinggi diberikan kepada mantan pelaku korupsi, integritas simbol itu sendiri tercemar.

Pesan yang disampaikan kepada publik, terutama generasi muda, menjadi sangat berbahaya: hukum mungkin penting, tapi prestasi setelahnya bisa meniadakannya.

Paradoks Pemberantasan Korupsi

Fenomena ini juga menyoroti paradoks dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Aparat hukum keras terhadap beberapa kasus, tetapi legitimasi moral yang diberikan melalui penghargaan justru melemahkan efek jera.

Publik pun bertanya-tanya: apakah hukum dan etika hanya bersifat selektif? Apakah koruptor yang mampu “menyusun citra” kembali bisa diberi tempat terhormat? Bukankah ini meruntuhkan kepercayaan pada institusi negara itu sendiri?

Penghargaan negara adalah simbol nilai bangsa, bukan sekadar gestur politis. Jika simbol ini bisa diberikan kepada mereka yang pernah menyalahgunakan kepercayaan publik, maka standar kepatutan telah mencapai titik nadir.

Bangsa yang memuliakan jasa pasca-korupsi sembari mengabaikan kerugian yang ditimbulkan adalah bangsa yang kehilangan arah moral.

Keadilan bukan hanya soal hukum formal, tetapi soal etika publik, integritas, dan keberpihakan kepada rakyat. Ini bukan sekadar kritik terhadap individu atau presiden, tetapi peringatan bagi seluruh bangsa.

Transparansi dan konsistensi harus menjadi landasan penghargaan negara. Jangan biarkan bintang kehormatan menjadi alat legitimasi untuk menutupi pelanggaran besar. Jangan biarkan simbol kebanggaan tertinggi kehilangan kredibilitas.

Negara harus berani menyeimbangkan apresiasi atas jasa dengan konsekuensi moral atas kesalahan.

Bila kehormatan negara diberikan tanpa memperhitungkan integritas, siapa lagi yang akan percaya pada janji pemberantasan korupsi? Siapa lagi yang akan yakin hukum berlaku adil bagi semua? Bintang Maha putera bukan sekadar lambang penghargaan; ia adalah cermin moral bangsa.

Cermin ini kini tampak retak, mengingatkan semua kehormatan yang diraih dengan mengabaikan prinsip adalah kehormatan yang sesungguhnya tidak mulia.(id18)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |