Carbon Biochar Dan Vetiver, Investasi “Emas Hitam” Tanah Tapanuli Raya Untuk Ketahanan Ekologi Dan Ekonomi Masa Depan

3 hours ago 2

MEDAN (Waspada.id) — Di tengah tantangan degradasi tanah, perubahan iklim, serta menurunnya efisiensi pertanian, sebuah pendekatan mendasar mulai mendapat perhatian serius: membenahi tanah sebagai fondasi utama pembangunan ekonomi hijau.

Teknologi carbon biochar yang dipadukan dengan tanaman vetiver (Vetiveria zizanioides) kini diperkenalkan sebagai solusi strategis jangka panjang bagi wilayah Tapanuli Raya. Pendekatan ini tidak sekadar menjadi inovasi pertanian, tetapi juga dipandang sebagai investasi ekologis bernilai lintas generasi.

Berbeda dengan pendekatan konvensional yang selama ini berfokus pada pupuk dan bibit unggul, Prof. Dr. Ir. Charloq Rosa Nababan, MP, Guru Besar Universitas Sumatera Utara, menegaskan bahwa persoalan utama pertanian justru terletak pada rusaknya fungsi tanah.

“Tanah bukan media pasif. Ia adalah sistem hidup yang bekerja secara fisik, kimia, dan biologis. Jika fondasi ini rusak, sebesar apa pun pupuk yang diberikan, hasilnya tidak akan optimal,” ujar Prof. Charloq.

Sosialisasi dan Demonstrasi Lapangan

Sosialisasi serta demonstrasi lapangan teknologi carbon biochar yang dipadukan dengan penanaman vetiver digelar pada 19–20 Desember 2025 di kawasan pertanian ABE Hotel Siborong-borong. Kegiatan ini menarik perhatian petani, aktivis lingkungan, anggota DPRD Tapanuli Utara, hingga pengusaha lokal yang ingin menyaksikan langsung penerapan teknologi pembenahan tanah berbasis riset di lapangan.

Tanah Tapanuli: Kaya Sejarah, Rentan Fungsi

Secara geopedologis dan geologis, wilayah Tapanuli Raya—meliputi Tapanuli Utara, Toba, Humbang Hasundutan, hingga Samosir—terbentuk dari endapan material piroklastik akibat supererupsi Gunung Toba sekitar 74.000 tahun lalu. Peristiwa ini menyebabkan pembalikan dan penumpukan lapisan tanah, sehingga lapisan yang kini berada di permukaan bukanlah topsoil produktif, melainkan material vulkanik muda bertekstur pasir hingga debu.

Tanah yang berkembang dari endapan tersebut didominasi oleh Andosol tua, Inceptisol terdegradasi, dan Ultisol dangkal, dengan karakteristik utama berupa struktur agregat yang kurang stabil, kandungan karbon organik rendah, serta kapasitas tukar kation (KTK) yang menurun. Akibatnya, tanah menjadi kurang mampu menahan air dan unsur hara, sehingga pupuk mudah tercuci dan tidak terserap optimal oleh tanaman.

“Masalahnya bukan kekurangan hara, melainkan kegagalan tanah dalam mengelola hara,” tegas Prof. Charloq.

Fenomena ini dikenal dalam ilmu tanah sebagai soil functional degradation, yakni degradasi fungsi tanah yang berdampak langsung pada produktivitas pertanian dan stabilitas lingkungan.

Biochar: Karbon Stabil sebagai Investasi Permanen

Sebagai jawaban atas persoalan tersebut, Prof. Charloq mengembangkan teknologi biochar berbasis tandan kosong kelapa sawit (TKKS) melalui riset panjang dan uji lapangan di berbagai wilayah dan komoditas. Biochar merupakan material karbon stabil hasil proses pirolisis biomassa dalam kondisi oksigen terbatas.

Berbeda dengan pupuk yang cepat habis, biochar berfungsi sebagai amelioran tanah dan rekayasa karbon (carbon engineering). Struktur aromatiknya membuat biochar sangat tahan degradasi dan mampu bertahan puluhan hingga ratusan tahun di dalam tanah. Pori-pori mikro dan makronya menjadi habitat mikroorganisme tanah, meningkatkan aktivitas biologi, respirasi tanah, serta efisiensi penyerapan unsur hara.

Tak heran jika biochar kerap dianalogikan sebagai “emas hitam”—investasi karbon yang nilainya tidak menyusut, justru terus bekerja seiring waktu.

Hasil riset menunjukkan bahwa aplikasi biochar TKKS mampu:

meningkatkan kadar air tanah dari 12,77% menjadi 44,86%,

menurunkan kepadatan tanah,

meningkatkan porositas hingga mendekati 70%,

yang berdampak langsung pada perbaikan aerasi, infiltrasi air, dan perkembangan perakaran.

Selain itu, biochar juga memperbaiki sifat kimia dan biologi tanah, seperti meningkatkan kandungan karbon organik, pH tanah, kapasitas tukar kation, serta populasi mikroorganisme menguntungkan, termasuk bakteri penambat nitrogen dan pelarut fosfat.

Pada tanaman kelapa sawit, aplikasi biochar tercatat mampu meningkatkan bobot tandan buah segar hampir 30% dan jumlah pokok berproduksi hingga 43% dibandingkan lahan tanpa biochar. Hasil positif serupa juga terlihat pada komoditas hortikultura seperti sawi hijau dan kol, dengan pertumbuhan lebih cepat, tanah lebih gembur, serta waktu panen lebih singkat.

Vetiver: Penjaga Lereng dan Penyembuh Lahan

Melengkapi peran biochar, tanaman vetiver diperkenalkan sebagai solusi konservasi tanah dan air. Tanaman ini dikenal luas sebagai penahan longsor, rehabilitasi lahan kritis, serta stabilisasi bantaran sungai.

Sistem perakaran vetiver yang sangat dalam dan kuat—dalam beberapa riset disetarakan dengan kekuatan kawat baja berdiameter sekitar 1,3 milimeter—mampu mengikat tanah secara vertikal dan horizontal, sehingga efektif mencegah erosi dan longsor di wilayah rawan.

Selain itu, vetiver memiliki kemampuan fitoremediasi, yakni menyerap dan menstabilkan logam berat di dalam tanah, sehingga aman diterapkan pada lahan terdegradasi. Kombinasi biochar dan vetiver menciptakan sinergi ekologis: biochar memperbaiki fungsi tanah dan habitat mikroba, sementara vetiver menjaga stabilitas fisik tanah dan lanskap.

Kolaborasi Menuju Ekonomi Hijau Lokal

Inisiatif ini terwujud melalui kolaborasi Prof. Charloq Nababan dengan berbagai pihak, di antaranya ABE Hotel Siborong-borong yang dipimpin Jannus Siahaan, HKTI Tapanuli Utara di bawah kepemimpinan Ericson Sianipar, serta dukungan para pemangku kepentingan lokal seperti Baginda Siahaan dan Tigor Siahaan, pemilik Piltik Coffee Siborong-borong.

Kolaborasi ini menunjukkan bahwa pembenahan tanah bukan semata isu akademik, melainkan agenda bersama antara petani, dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat.

“Ketika tanah dibenahi, produktivitas meningkat, risiko lingkungan menurun, dan ekonomi lokal bergerak. Inilah pembangunan dari dasar,” ujar salah satu mitra kegiatan.

Menata Masa Depan dari Tanah

Pendekatan biochar dan vetiver mengingatkan bahwa pembangunan yang kuat selalu dimulai dari tanah yang sehat. Tanah bukan sekadar tempat menanam, melainkan ruang hidup tempat karbon tersimpan, mikroorganisme bekerja, dan tanaman tumbuh secara berkelanjutan.

Di Tapanuli Raya, biochar hadir sebagai investasi “emas hitam”—karbon stabil yang tertanam lama di dalam tanah, terus memperbaiki struktur tanah, menjaga ketersediaan air, serta menghidupkan kembali ekosistem tanah dari waktu ke waktu.

Dalam praktik pertanian modern, biochar bukan pengganti pupuk, melainkan pendamping yang memperkuat efektivitas pupuk dan kompos, menahan unsur hara agar tidak cepat hilang dan melepaskannya secara perlahan sesuai kebutuhan tanaman.

Berangkat dari riset Prof. Charloq yang telah teruji di berbagai komoditas dan kondisi lahan, pesan yang ditegaskan menjadi jelas: masa depan pertanian, kelestarian lingkungan, dan ekonomi daerah hanya akan kokoh jika tanah ditata sebagai fondasi utama kehidupan. (id14)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |