Cara Prabowo “Menampar” Politik Balas Dendam

1 month ago 13
Editorial

Cara Prabowo “Menampar” Politik Balas Dendam

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Keadilan bukan palu untuk membungkam lawan, tapi cermin keberadaban bangsa.

Langkah Presiden Prabowo Subianto mengusulkan abolisi untuk Thomas Trikasih Lembong dan amnesti bagi Hasto Kristiyanto bukan cuma manuver hukum—ini adalah tamparan keras terhadap praktik politisasi hukum yang selama ini meracuni demokrasi Indonesia. Dua surat resmi bertanggal 30 Juli 2025 yang disetujui DPR menandai sebuah titik balik: penguasa tak lagi boleh menjadikan hukum sebagai alat pembalasan dendam.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Kasus Lembong, eks Menteri Perdagangan yang divonis 4,5 tahun karena korupsi impor gula, dan Hasto, Sekjen PDIP yang dihukum 3,5 tahun dalam perkara suap, bukan hanya persoalan pidana. Dari awal, keduanya dipertanyakan: apakah ini penegakan hukum, atau penegakan kuasa? Publik, akademisi, hingga kelompok sipil, menyuarakan satu hal: hukum tak boleh diperalat untuk membungkam suara berbeda.

Melalui dua keputusan ini, Presiden dan DPR seolah melakukan autokritik konstitusional. Mereka tak hanya menghapus jejak hukum yang dipertanyakan legitimasinya, tapi juga mengembalikan marwah hukum yang selama ini dibajak kepentingan. Ini bukan pengampunan semata, tapi koreksi atas cara negara memperlakukan keadilan.

Abolisi dan amnesti bukan hal baru. Kita mengenangnya pada pemberian amnesti bagi eks kombatan GAM di tahun 2005 dan tokoh PRRI/Permesta di era 1960-an. Tapi kali ini konteksnya jauh lebih halus—bukan konflik bersenjata, melainkan pertempuran wacana dan intrik dalam demokrasi. Artinya, luka yang ingin disembuhkan bukan luka perang, tapi luka kepercayaan publik terhadap hukum.

Tentu, publik masih skeptis. Apakah ini bentuk negosiasi politik pasca-Pemilu 2024? Apakah ini konsolidasi elit? Atau justru inisiatif tulus demi memutus rantai politik balas dendam?

Apa pun jawabannya, satu hal tegas: Indonesia tak boleh terus membiarkan hukum jadi senjata, bukan pelindung. Kita tidak sedang membela Tom Lembong atau Hasto Kristiyanto, tapi kita sedang memperjuangkan prinsip: jika hukum bisa direkayasa untuk menjatuhkan seseorang hari ini, maka esok ia bisa dijadikan alat untuk menghancurkan siapa pun.

Presiden telah menyalakan api koreksi. Tapi api ini harus dijaga dengan transparansi dan akuntabilitas. Jika tidak, publik akan menilai ini bukan rekonsiliasi, melainkan hanya politik transaksional berkedok moral.

Kita berharap sejarah kelak menulis ini sebagai keberanian negarawan, bukan siasat penguasa. Sebab satu hal pasti: bangsa ini tidak akan pernah adil jika hukum terus dijadikan martil politik dalam perkelahian elit. Inilah—barangkali—cara Prabowo “menampar” politisasi hukum di negeri ini.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |