Jakarta, CNBC Indonesia- Dunia tengah menghadapi gelombang besar yang dapat mengguncang perekonomian global, populasi yang semakin menua. Sejumlah negara kini masuk kategori "super-aged society," di mana lebih dari 20% penduduknya berusia 65 tahun ke atas. Fenomena ini seperti bom waktu yang mengancam keberlanjutan tenaga kerja, sistem pensiun, dan daya saing ekonomi suatu negara.
Rata-rata dunia sendiri masih berada di angka 10,4%, yang berarti negara-negara dalam daftar ini memiliki populasi lansia lebih dari dua kali lipat rata-rata global.
Monaco menjadi negara dengan populasi lansia tertinggi di dunia, dengan 36% penduduknya berusia di atas 65 tahun. Ini disebabkan oleh statusnya sebagai surga pajak yang menarik banyak miliarder dengan angka harapan hidup tinggi, sementara tingkat kelahiran di negara ini sangat rendah.
Fenomena ini berpotensi menjadi malapetaka bagi sistem perekonomian global. Semakin sedikitnya tenaga kerja produktif membuat pertumbuhan ekonomi melambat, sementara beban biaya sosial seperti pensiun dan layanan kesehatan semakin membengkak.
Sebagai contoh, Amerika Serikat menghadapi defisit dana pensiun sebesar US$1,34 triliun. Negara-negara dengan populasi menua cepat harus mencari cara untuk menutup celah fiskal yang semakin lebar. Tanpa reformasi yang tepat, beban ini akan jatuh ke generasi muda yang semakin sedikit jumlahnya.
Jepang selama ini dikenal sebagai negara dengan tingkat penuaan tercepat, tetapi kini semakin banyak negara mulai menghadapi tantangan serupa. Beberapa negara yang baru masuk kategori "super-aged society" pada 2025 meliputi, Swiss, Korea Selatan, Kanada, Rumania, Taiwan
Negara-negara ini mengalami penurunan angka kelahiran yang signifikan, yang berarti dalam beberapa dekade ke depan mereka akan menghadapi kekurangan tenaga kerja yang semakin parah.
Beberapa negara telaj mencoba mengatasi krisis ini dengan berbagai kebijakan seperti reformasi pensiun, insentif kelahiran, dan peningkatan imigrasi, seperti yang dilakukan Kanada dan Jerman, yang berusaha menutup celah tenaga kerja dengan menerima lebih banyak pekerja migran.
Namun, kebijakan ini tidak selalu berhasil. Di Korea Selatan, insentif kelahiran besar-besaran tidak berhasil mencegah tingkat kelahiran jatuh ke rekor terendah. Banyak pasangan muda menunda atau bahkan tidak ingin memiliki anak karena biaya hidup yang semakin mahal dan ketidakpastian ekonomi.
Dengan semakin banyak negara masuk kategori "super-aged society," dunia menghadapi tantangan besar dalam beberapa dekade ke depan. Jika negara-negara tidak segera beradaptasi dengan solusi konkrit, dampaknya bisa lebih luas dari sekadar kekurangan tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi global bisa melambat, sistem kesehatan dan pensiun bisa kolaps, dan kesenjangan generasi semakin melebar.
Yang jelas, "kiamat populasi" ini bukan lagi sekadar ancaman masa depan, tetapi sudah menjadi kenyataan yang mulai dirasakan di banyak negara saat ini.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)