Oleh: Farid Wajdi
Tahun 2025 memperlihatkan wajah paling jujur dari tata kelola anggaran negara. Bencana alam terjadi beruntun, ribuan warga kehilangan rumah, sekolah rusak, akses pangan terganggu, dan ekonomi lokal lumpuh.
Pada saat bersamaan, negara tetap menjalankan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai proyek prioritas nasional, bahkan ketika sekolah memasuki masa libur panjang.
Kontradiksi ini menimbulkan kegelisahan publik: anggaran besar berjalan, krisis nyata terabaikan.
MBG dirancang sebagai investasi jangka panjang pembangunan sumber daya manusia. Anggarannya tidak kecil.
Data media ekonomi mencatat alokasi MBG tahun 2025 mencapai sekitar Rp71 triliun, dengan proyeksi lonjakan signifikan pada tahun berikutnya (Bisnis Jogja, 2025).
Skala ini menjadikan MBG bukan sekadar program sosial, melainkan kebijakan fiskal strategis. Justru karena itulah, tuntutan akuntabilitas dan sensitivitas konteks menjadi semakin tinggi.
Masalah muncul saat realitas lapangan berubah drastis. Sekolah libur, distribusi MBG tersendat, dan sebagian orang tua memilih tidak mengambil jatah makanan karena dinilai tidak relevan selama anak berada di rumah (Kompas.com, 2025).
Pada saat yang sama, korban bencana di berbagai daerah menghadapi krisis pangan dan kebutuhan dasar. Anggaran tersedia, tetapi tidak diarahkan pada titik paling genting.
Sejumlah ekonom publik menilai kondisi ini sebagai kegagalan membaca skala prioritas. Seorang pakar kebijakan fiskal dari Universitas Gadjah Mada menegaskan anggaran publik harus bersifat adaptif. Program jangka panjang tetap penting, namun dalam kondisi darurat, fleksibilitas menjadi prinsip utama agar negara tidak kehilangan kepekaan sosial (UGM, 2025).
Anggaran bukan simbol konsistensi politik, melainkan alat respons terhadap kebutuhan warga.
Dari sudut pandang ekonomi publik, pengalihan sementara sebagian anggaran MBG ke penanganan bencana justru rasional.
Dana untuk bantuan pangan, rehabilitasi sekolah, layanan kesehatan darurat, dan pemulihan infrastruktur lokal memiliki efek pengganda yang kuat.
Aktivitas ini menjaga daya beli masyarakat terdampak dan mencegah kontraksi ekonomi wilayah bencana (GoodStats, 2025). Sebaliknya, penyerapan anggaran MBG selama libur sekolah berpotensi menghasilkan inefisiensi dan manfaat yang tidak optimal.
Kritik serupa datang dari kalangan hukum administrasi negara. Seorang akademisi hukum tata pemerintahan menilai kebijakan anggaran tidak boleh terjebak pada rutinitas administratif.
Prinsip diskresi dalam hukum administrasi memberi ruang bagi pemerintah untuk menyesuaikan kebijakan saat kondisi darurat terjadi. Ketika bencana meluas dan kebutuhan dasar warga terancam, pengalihan anggaran justru mencerminkan kepatuhan terhadap tujuan negara, bukan pelanggaran aturan (Tempo, 2025).
Namun, yang terlihat sepanjang 2025 justru kecenderungan sebaliknya. Negara tampak lebih sibuk menjaga citra konsistensi program dibanding merespons penderitaan konkret.
Dalih menjaga kesinambungan MBG digunakan berulang, seolah fleksibilitas fiskal identik dengan kegagalan kebijakan. Padahal, dalam praktik global, negara yang matang justru dinilai dari keberanian mengoreksi prioritas saat krisis.
Dampak sosial dari kekakuan ini terasa nyata. Anak-anak di wilayah bencana kehilangan ruang belajar, keluarga hidup dalam ketidakpastian, dan trauma sosial meluas.
Mengalihkan sebagian anggaran MBG untuk memperbaiki sekolah darurat, menyediakan makanan bergizi bagi korban, dan memulihkan layanan pendidikan justru sejalan dengan tujuan utama pembangunan manusia. Gizi tanpa keamanan sosial hanyalah konsep kosong.
Media nasional mencatat inisiatif sejumlah dapur MBG yang akhirnya difungsikan sebagai dapur umum bagi korban bencana di Sumatera (Metro TV, 2025).
Fakta ini membuktikan secara teknis pengalihan fungsi memungkinkan. Hambatan utama terletak pada kemauan politik dan keberanian mengambil keputusan yang tidak populer secara simbolik, tetapi tepat secara moral.
Dalam perspektif hukum administrasi, kebijakan publik selalu terikat pada asas kemanfaatan dan kepentingan umum.
Seorang pakar hukum negara menekankan legitimasi kebijakan tidak hanya diukur dari kesesuaian prosedur, tetapi juga dari relevansinya terhadap kondisi sosial aktual. Ketika kebijakan berjalan tanpa mempertimbangkan penderitaan warga, legitimasi itu perlahan runtuh (Law-Justice.co, 2025).
Perdebatan tentang MBG dan bencana sejatinya bukan soal meniadakan program unggulan. Ini soal menempatkan anggaran publik pada konteks yang tepat. Negara tidak kehilangan wibawa saat mengalihkan anggaran demi menyelamatkan warga. Justru sebaliknya, wibawa runtuh ketika negara terlihat kaku, dingin, dan abai terhadap krisis kemanusiaan.
Tahun 2025 memberi pelajaran penting: anggaran publik tidak boleh menjadi monumen politik. Ia harus hidup, bergerak, dan responsif.
MBG tetap relevan sebagai investasi masa depan, tetapi masa depan tidak mungkin dibangun di atas pengabaian terhadap penderitaan hari ini. Skala prioritas bukan soal angka, melainkan soal keberanian memilih kepentingan rakyat pada saat yang paling genting.
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.




















































