Bencana Di Sumatera dan Aceh, Di Antara Lumpur Dan Harapan:

3 hours ago 2

HUJAN belum benar-benar reda ketika saya menjejakkan kaki di Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Aroma tanah basah bercampur lumpur menyeruak dari setiap sudut desa yang baru saja dilewati banjir besar. Di sisi jalan, kursi-kursi kayu tergeletak tak berdaya, kasur menggelembung penuh air, sementara dinding rumah warga menghitam oleh jejak air yang sempat mencapai dada orang dewasa.

Di sebuah sudut, seorang ibu muda tengah menjemur pakaian anaknya, mencoba memeras sisa-sisa kengerian dari malam ketika arus deras menerjang tanpa permisi. “Yang penting anak-anak selamat,” ujarnya lirih. Kalimat pendek itu menggambarkan betapa ringkih sekaligus kuatnya masyarakat yang sedang bertahan dalam situasi sulit.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Pemandangan serupa saya temui di Aceh Tamiang. Sungai-sungai meluap, jembatan rusak, dan akses ke sejumlah dusun terputus. Di beberapa titik, warga harus menempuh perjalanan memutar hingga belasan kilometer hanya untuk mendapatkan air bersih atau layanan kesehatan dasar. Kerusakan infrastruktur membuat roda kehidupan seakan berhenti sejenak, dan yang tersisa hanyalah upaya bertahan hari demi hari.

Dedikasi yang Tidak Pernah Tidur

Di tengah kondisi itu, satu hal tetap terlihat: ketangguhan para petugas BPBD dan potensi lokal. Mereka bekerja berhari-hari tanpa tidur cukup, mengevakuasi warga dengan perahu karet, mendirikan posko darurat, dan memastikan logistik tetap masuk meski medan sulit dan waktu sangat terbatas.

Namun, skala bencana di Sumatera Utara dan Aceh kali ini menunjukkan kenyataan lain: kita membutuhkan lebih banyak tangan, lebih banyak tenaga terlatih, dan lebih banyak sistem yang tertata. Dedikasi saja tidak cukup jika infrastuktur rusak parah, medan sulit dijangkau, dan wilayah terdampak sangat luas.

Di sinilah urgensi pembentukan Relawan Reaksi Cepat—sebuah tim respons bencana yang tidak hanya hadir ketika bencana datang, tetapi siap turun kapan saja, dengan kemampuan teknis yang memadai dan berada dalam satu komando di bawah BNPB.

Apresiasi Mengalir, Tetapi Kebutuhan Lapangan Lebih Besar

Di lapangan, saya mendengar banyak warga menyampaikan apresiasi kepada Presiden RI dan seluruh komponen negara yang terus berupaya maksimal dalam penanggulangan bencana. Namun apresiasi itu selalu disertai harapan—harapan agar bantuan dapat menjangkau lebih cepat, lebih tepat, dan lebih merata.

Di desa-desa kecil, terutama di dusun yang terisolasi oleh banjir, kebutuhan warga sering tertunda karena keterbatasan personel. Anak-anak duduk di lantai yang masih lembab, menatap kosong bangunan sekolah yang rusak. Para lansia menunggu obat-obatan, sementara ibu-ibu mendekap anak mereka dengan cemas, menanti air surut dan logistik tiba.

Jika Relawan Reaksi Cepat hadir secara terstruktur, mereka dapat:

melakukan evakuasi dan penyelamatan lebih cepat,

mengangkut logistik ke wilayah yang sulit ditembus,

melakukan pendataan kebutuhan secara real-time,

memperkuat posko dan dapur umum,

serta memberi dukungan jangka pendek seperti hunian sementara.

Relawan yang terlatih juga meringankan beban BPBD dan aparat lokal yang bekerja nyaris tanpa jeda.

Lebih dari Sekadar Bantuan: Trauma, Harapan, dan Penyembuhan

Bencana tidak hanya merusak fisik. Ia juga meninggalkan luka psikis yang tak terlihat. Di Aceh Tamiang, saya melihat seorang anak laki-laki yang tak mau melepaskan genggaman tangan ayahnya—trauma karena malam ketika mereka harus berlari meninggalkan rumah saat air naik mendadak.

Karena itu, kehadiran relawan profesional sangat penting. Psikolog untuk mengobati trauma, tenaga medis untuk menangani kondisi darurat, penyuluh agama untuk memberi penguatan spiritual, hingga tenaga teknis yang bisa memperbaiki fasilitas vital sementara. Semua itu adalah bagian dari penanganan bencana yang holistik, bukan sekadar mengirim logistik dan mendirikan tenda.

Sisi Lain Bencana: Tumbuhnya Solidaritas dan Cinta Tanah Air

Di balik kepedihan, selalu ada cerita tentang bagaimana masyarakat bangkit bersama. Anak-anak muda bergotong royong membersihkan rumah warga tanpa diminta. Komunitas lokal membagikan makanan seadanya. Warga desa lain datang membawa pakaian layak pakai tanpa mengenal siapa yang akan menerima.

Kebersamaan seperti inilah yang menjadi inti dari usulan pembentukan Relawan Reaksi Cepat. Selain membantu penanganan teknis, keberadaan mereka akan menumbuhkan nilai-nilai empati, toleransi, moderasi, dan inklusivitas. Generasi muda, khususnya, akan belajar bahwa bencana bukan hanya urusan pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama sebagai bangsa.

Bencana Datang Tanpa Peringatan, tetapi Kita Bisa Lebih Siap

Setiap banjir, setiap reruntuhan bangunan, setiap cerita sedih yang saya lihat di Sumatera Utara dan Aceh menguatkan satu pesan: ketahanan bangsa bukan hanya soal infrastruktur, tetapi soal kesiapan manusia yang bergerak cepat dan tepat.

Relawan Reaksi Cepat bukan sekadar gagasan tambahan, tetapi kebutuhan mendesak yang lahir dari pengalaman lapangan. Ketika bencana datang, waktu menjadi musuh utama. Dan di antara menit-menit krusial itu, keberadaan relawan terlatih bisa menjadi pembeda antara kehilangan dan keselamatan.

Bencana mengajarkan kita banyak hal—tentang rapuhnya hidup, tentang kuatnya harapan, dan tentang pentingnya saling menjaga. Dan selama kita terus memperkuat solidaritas sosial serta kesiapsiagaan nasional, bangsa ini akan selalu menemukan cara untuk bangkit dari keadaan paling sulit sekalipun. (Oleh: Tuan M Yoserizal Saragih, M.I.Kom, Mantan Pengurus DPD KNPI Sumatera Utara)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |