Belanja Tanpa Perencanaan Matang di Sektor Pertahanan

3 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Belanja sektor pertahanan yang dibiayai oleh Pinjaman Luar Negeri (PLN) pada Minimum Essential Force (MEF) periode 2015-2019 mendapatkan alokasi senilai US$7,7 miliar mengalami kenaikan hampir lima kali lipat pada kurun waktu 2020-2024. Setelah pada awalnya kuota untuk pengadaan sistem senjata ditetapkan sebesar US$34,4 miliar, angka tersebut turun pada akhir November 2023 menjadi US$25 miliar.

Akan tetapi nilai itu kembali mengalami kenaikan sejumlah US$9,7 miliar pada tahun ini sehingga total mencapai US$34,7 miliar setelah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyetujui peningkatan alokasi PLN bagi Kementerian Pertahanan. Perubahan kelima Daftar Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah 2020-2024 tidak dapat dilepaskan dari perubahan politik Indonesia di mana Prabowo Subianto naik dari jabatan menteri pertahanan menjadi presiden.

Terjadinya revisi kelima Blue Book 2020-2024 menandai pula semakin menguatnya kecenderungan belanja tanpa perencanaan matang di sektor pertahanan. Pada masa pemerintahan sebelumnya, belanja tanpa perencanaan matang relatif masih terkendali sebab mayoritas peralatan pertahanan yang dibeli merupakan sistem yang sudah terbukti dan berasal dari produsen dengan kredibilitas yang tidak diragukan.

Memang terjadi belanja tanpa perencanaan matang pada waktu itu dengan skala yang terbatas, seperti impor beberapa sistem senjata dengan keandalan yang masih diragukan. Bahkan terdapat sistem senjata yang belum lulus fase pengujian namun dibeli oleh Indonesia, walaupun Indonesia sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan pengembangan sistem senjata tersebut.

Perencanaan matang dalam impor peralatan perang telah menjadi hal langka dalam beberapa tahun terakhir, mengingat bahwa urusan pengadaan sistem senjata bukan semata tentang urusan jual beli. Dari aspek keuangan negara, pengelolaan utang jangka panjang menjadi pertanyaan ketika pengadaan sistem senjata dipaksakan berasal dari negara yang memiliki credit rating buruk yakni non-investment grade.

Indonesia terkena klausa risk premium sebagai akibat risiko dari credit rating tersebut, sehingga biaya utang menjadi lebih mahal. Walaupun Kementerian Keuangan sejak beberapa tahun silam sudah mengingatkan Kementerian Pertahanan akan resiko itu, nampaknya pertimbangan akal sehat dalam pengelolaan utang pemerintah dalam jangka panjang tidak diperhatikan sama sekali.

Sedangkan dari aspek perencanaan, terdapat beberapa program akuisisi yang nyaris tidak memiliki perencanaan sama sekali karena kegiatan itu bersifat top-down sehingga pendapat dari calon pengguna hampir tidak didengarkan. Aspek perencanaan dalam program pembelian peralatan pertahanan sangat penting karena akan mengkaji tentang aspek operasional, logistik dan sumberdaya manusia, termasuk penyiapan calon pengawak.

Permasalahan integrasi akan semakin penuh tantangan ketika sistem senjata yang dibeli tidak berasal dari Barat, di mana integrasi dalam bentuk network centric bagaikan mendaki gunung yang terjal. Suka atau tidak, peralatan pertahanan buatan Barat masih menjadi tulang punggung kemampuan pertahanan Indonesia saat ini.

Adapun dari aspek operasional dan logistik, tidak ada perencanaan matang terkait dengan upaya menjaga kesiapan operasional jangka menengah dan panjang sistem senjata yang dibeli. Hal demikian terkait dengan kesiapan Integrated Logistic Support (ILS) dan pemeliharaan dan kemampuan perawatan peralatan pertahanan yang didatangkan dari luar negeri.

Pengadaan sistem senjata dengan teknologi paling maju sekalipun menjadi tidak berarti ketika ekosistem untuk mendukung kesiapan operasional jangka panjang tidak dibangun atau dibangun dengan tidak sepenuhnya mengacu pada petunjuk yang diberikan pabrikan. Dalam beberapa kasus pembelian peralatan perang pada periode 2020-2024, paket ILS dan kemampuan pemeliharaan dan perawatan nyaris terlewatkan karena Kementerian Pertahanan terlalu fokus pada akuisisi wahana (platform).

Terdapat kecenderungan bahwa belanja tanpa perencanaan matang di sektor pertahanan akan berlanjut pada Optimum Essential Force (OEF) periode 2025-2029. Berbeda dengan periode terakhir MEF, belanja pertahanan yang memanfaatkan fasilitas PLN mempunyai kecenderungan kuat berdasarkan selera pengambil keputusan dan tidak didasarkan pada berbagai pertimbangan yang cenderung obyektif dan rasional.

Meskipun alokasi PLN pada periode ini yang tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya, daftar kegiatan belanja dapat berubah setiap saat sesuai dengan keinginan pengambil keputusan. Pada sisi lain, peran pengguna akhir dalam memberikan masukan mengenai kebutuhan mereka dalam tahap perencanaan cenderung sebagai formalitas saja sebagai perencanaan bersifat top-down.

Andaikata mengacu pada Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Penyusunan Dokumen Perencanaan Kebutuhan Alat Pertahanan dan Keamanan Untuk Pertahanan Negara Di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia, peraturan tersebut menganut pendekatan hibrid yakni mempertemukan antara top-down dan bottom up.

Akan tetapi dalam praktek, pendekatan top-down lebih mendominasi sehingga menempatkan pengguna akhir pada posisi sulit. Posisi sulit yang dimaksud adalah mereka akan beruntung bila mendapatkan sistem senjata yang sudah teruji dan dapat diintegrasikan dengan peralatan pertahanan yang selama ini digunakan.

Namun pengguna akhir akan bernasib tidak baik jika peralatan pertahanan yang dibelikan merupakan sistem yang belum teruji sama sekali dan sukar untuk diintegrasikan dengan sistem yang saat ini dioperasikan.

Kecendurungan belanja pertahanan tanpa perencanaan matang juga dapat dillihat dari arah sumber akuisisi sistem senjata hingga ujung dekade ini. Alih-alih membelanjakan alokasi PLN ke beberapa negara secara proporsional berdasarkan pertimbangan geopolitik dan ekonomi, program belanja ke depan lebih banyak ke satu negara saja dengan sebagian besar keandalan produk sistem senjatanya dipertanyakan.

Begitu pula dengan integrasi dengan sistem senjata yang sekarang dioperasikan oleh Indonesia, sebab kunci pertama persoalan integrasi bukan isu teknis seperti akses terhadap Interface Control Document, namun isu politik.

Persoalan tentang kematangan teknologi juga tidak dipertimbangkan, begitu pula aspek logistik yang pada akhirnya akan terkait dengan aspek penyediaan anggaran pemeliharaan dan perawatan, misalnya mean time between overhaul (MTBO) untuk sistem pendorong.

Isu biaya utang ke depan untuk mendukung akuisisi sistem senjata hendaknya dicermati seiring dengan penerapan kebijakan zero Rupiah Murni Pendamping (RMP) mulai tahun 2026. Program yang akan terkena kebijakan tersebut bukan saja untuk pengadaan periode 2025-2029, tetapi juga pembelian jangka 2020-2024.

Sebagai konsekuensi lender akan memberikan 100 pinjaman kepada pemerintah, secara teori biaya utang yang akan ditanggung oleh pemerintah akan lebih mahal daripada ketika kebijakan RMP 15 persen masih berlaku. Biaya utang akan menjadi lebih mahal lagi saat sebagian besar PLN periode 2025-2029 dipaksakan untuk dibelanjakan ke negara dengan credit rating yang buruk dengan kualitas sistem senjata yang masih dipertanyakan.


(miq/miq)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |