TAPSEL (Waspada.id) : Dahsyatnya bencana alam banjir dan tanah longsor yang melanda berbagai daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) dan sekitatnya sangat erat kaitannya dengan ulah manusia yang melakukan alih fungsi lahan dan dugaan pembalakan liar dikawasan hutan.
“Ketika banjir bandang menghantam, kita menyaksikan potongan kayu berbagi jenis ikut tersapu dan menjadi bukti rusaknya eksositem kawasan hutan,” kata Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumatera Utara, Hendra Hasibuan, Minggu (30/11/2025).
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Jika dilihat dari tingkat kerusakan dan banyaknya korban jiwa yang jadi korban bencana alam banjir dan tanah longsor di Tapsel, ucap Hendra, Wilayah Kecamatan Batangtoru dan sekitarnya merupakan daerah terparah yang ditimpa bencana.
Baik pada saat sungai meluap maupun pasca terjadi banjir bandang yang menghantam pemukiman penduduk dan fasilitas umum, ujarnya, banyak kayu yang hanyut.”Kayu yang dibawa banjir bandang ini menjadi bukti nyata masih ada aktifitas penebangan di hulu sungai,” tuturnya.
Pasca terjadinya banjir bandang, terlihat tumpukan material katu di pinggir sungai Garoga. Waspada.id/ist.Hendra yang juga sebagai Koordinator Jaringan Advokasi Masyarakat Marjinal (JAMM) mengungkapkan bahwa bencana alam banjir bandang dan tanah longsor yang melanda wilayah Batangtoru dan sekitarnya bukan hanya akibat fenomena alam,tetapi buah dari proses panjang.
“Dimulai ekspansi Indistri Ektraktif (perkebunan kelapa sawit, pertambangan emas dan pembangkit listrik tenaga air), pembukaan hutan, dan alih fungsi lahan yang terjadi sejak awal 1990-an hingga saat ini,” katanya.
Sebelum masuknya Indistri Ektraktif, lanjut Hendra, masyarakat disekitar Batangtoru hidup dalam pola sosial-ekologis yang sangat harmonis dengan alam. Hutan bukan hanya lanskap hijau, tetapi fondasi kehidupan: sumber pangan, air, obat, budaya, sekaligus ruang spiritual.
Pertanian tradisional mereka, padi ladang, jagung, ubi, kopi kampung— ditopang oleh sistem agroforestri dengan pohon keras, tanaman rempah, kemenyan, rotan, damar, dan hasil hutan bukan kayu lainnya. Pola pengelolaan lahan ini tidak merusak, justru menjaga stabilitas Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru selama puluhan tahun.
Dalam banyak kesempatan, masyarakat menjelaskan bahwa mereka tidak pernah mengalami banjir besar seperti yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Sungai Batang Toru dahulu stabil, air jernih dan berfungsi konsisten sebagai sumber kehidupan.
“Hal ini terjadi karena tutupan hutan masih terjaga, tanah masih memiliki daya serap tinggi, dan aktivitas masyarakat dilakukan dengan prinsip selektivitas serta keberlanjutan,” jelasnya.
Material kayu yang dibawa arus sungai Batang Toru saat meluap menjadi bukti adanya alih fungsi lahan dan penebangan kayu di hutan Batangtoru. Waspada.id/istMenurutnya, harmoni tersebut mulai pecah ketika investasi besar masuk membawa logika ekonomi yang berorientasi pada akumulasi modal. Jalan perusahaan dibuka, hutan ditebang, bukit digunduli, dan lahan-lahan ulayat beralih menjadi HGU dan Konsesi.
Mesin berat menggantikan tenaga manusia; suara burung berganti dengan deru ekskavator. Pembukaan hutan dalam skala luas menyebabkan tanah kehilangan kemampuan menyerap air, sehingga aliran permukaan meningkat drastis. Dalam kondisi ini, hujan deras sedikit saja mudah berubah menjadi banjir bandang dan longsor.
Kondisi ini juga mencerminkan kegagalan negara dalam menjamin ruang hidup masyarakat. Negara seharusnya hadir sebagai pelindung kepentingan publik, namun dalam praktiknya sering kali memihak pada kepentingan investasi besar atau pemodal.
“Kebijakan tata ruang yang tidak berpihak pada rakyat kecil, lemahnya pengawasan terhadap perusahaan, serta pemberian izin yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan telah menghasilkan konsekuensi ekologis yang kini harus ditanggung masyarakat,” ujar Hendra.
Fakta membuktikan bahwa hulu sungai yang dulu hijau kini gundul, lereng yang dulu kuat kini rentan longsor. Masyarakat yang dulu aman dari bencana kini hidup dalam ketakutan setiap musim hujan tiba.
“Situasi dan kondisi ini tidak hanya bisa dikaji sebagai bencana alam semata, tapi harus dikaji sebagai bencana ekologis,” tegas Ketua SHI Sumut.
Warga yang bekerja di PLTA Batangtoru menghidar saat sungai membawa Banjir material kayu. Waspada.id/ist.Sarekat Hijau Indonesia menegaskan, bahwa situasi ini harus menjadi alarm serius bagi pemerintah daerah maupun nasional. Tidak boleh lagi ada pembiaran terhadap pembukaan lahan baru, tidak boleh lagi ada izin yang diterbitkan tanpa kajian lingkungan yang ketat, dan tidak boleh lagi masyarakat menjadi korban dari kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Untu itu SHI mendesak pemerintah untuk:
- Melakukan audit dan mengevaluasi secara menyeluruh terhadap seluruh izin Industri Ektraktif dan alih fungsi lahan (izin yang sudah ada dan izin yang akan diterbitkan di sekitar ekosistem Batang Toru.
- Menghentikan sementara ekspansi sawit dan kegiatan industri ekstraktif yang berpotensi merusak DAS Batang Toru.
- Memulihkan kawasan hulu dengan program rehabilitasi hutan berbasis masyarakat.
- Mengembalikan ruang hidup rakyat, termasuk menguatkan hak kelola masyarakat lokal/adat dan petani lokal.
- Membangun sistem peringatan dini dan mitigasi bencana yang memadai untuk melindungi warga.
Ia bependapat bahwa ekosistem Batang Toru masih bisa diselamatkan jika negara berani menata ulang arah pembangunan, menghentikan praktik eksploitasi yang tidak terkendali, dan menempatkan keseimbangan ekologis sebagai fondasi kebijakan,” ungkapnya.
“Ekositem Batang Toru pernah menjadi benteng kehidupan. Jangan biarkan ia berubah menjadi bukti kegagalan kita menjaga masa depan,” ucapnya. (id46)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.




















































