Bakumsu: Pelanggaran HAM Di Sumut Sepanjang 2025 Didominasi Intimidasi Dan Konflik Agraria

2 hours ago 1

MEDAN (Waspada.id): Sepanjang tahun 2025, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatra Utara (Bakumsu) mencatat 90 peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Sumatra Utara. Pelanggaran tersebut dinilai tidak hanya melukai hak warga negara, tetapi juga berkontribusi terhadap kerusakan ekologis yang semakin parah.

Sekretaris Eksekutif Bakumsu, Juniaty Aritonang, menyampaikan bahwa mayoritas pelanggaran HAM terjadi dalam konteks konflik agraria yang melibatkan masyarakat, korporasi, dan aparat negara.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

“Pelanggaran HAM tahun ini menunjukkan tren peningkatan, terutama yang berkaitan dengan konflik agraria. Konflik ini pada akhirnya memicu krisis ekologis dan penderitaan masyarakat,” ujar Juniaty, di Medan, Senin (22/12).

Intimidasi Jadi Pola Berulang

Berdasarkan catatan Bakumsu, intimidasi menjadi bentuk pelanggaran paling dominan, dengan total 71 kasus. Selain itu, terdapat 7 ancaman pembunuhan, 8 kekerasan fisik, serta 4 serangan digital terhadap aktivis dan masyarakat sipil.

Pelanggaran tersebut meliputi perampasan ruang hidup, kriminalisasi masyarakat adat, pembungkaman kebebasan berekspresi, hingga pemenjaraan warga yang mempertahankan hak atas tanahnya.

Aparat Negara Masih Dominan

Bakumsu mencatat, pelaku pelanggaran HAM pada 2025 masih didominasi aparatur negara, khususnya kepolisian. Setidaknya 51 kasus melibatkan institusi kepolisian dalam berbagai bentuk tindakan represif.

Dalam penanganan konflik agraria, kepolisian dinilai kerap berpihak pada korporasi dan investasi, alih-alih melindungi hak masyarakat.

“Yang dituntut masyarakat sebenarnya sederhana, yakni hak atas ruang hidup. Namun dalam praktiknya mereka justru dikriminalisasi,” kata Juniaty.

Menurut Bakumsu, kondisi tersebut menunjukkan adanya ketimpangan penegakan hukum, di mana kepentingan ekonomi sering kali lebih diutamakan dibanding perlindungan HAM.

Polisi Bantah Tuduhan Keberpihakan

Menanggapi kritik tersebut, Kasubbid Bankum Bidkum Polda Sumut AKBP Rahman Antero Purba menegaskan bahwa kepolisian bekerja berdasarkan standar operasional prosedur (SOP). Jika terjadi pelanggaran, hal itu merupakan perbuatan oknum dan bukan kebijakan institusi.

“Secara institusi, Polri adalah penjaga HAM. Jika ada anggota yang melanggar, sanksinya sangat berat dan sudah banyak kasus yang diproses,” ujarnya.

Ia menilai tudingan keberpihakan kepolisian dalam konflik masyarakat dengan PT TPL tidak dapat digeneralisasi dan harus dilihat secara kasuistis.

“Kerap yang muncul ke publik hanya konflik di lapangan, sementara akar persoalannya tidak disentuh. Ini yang membuat masalah berlarut-larut,” jelas AKBP Rahman.

UU Masyarakat Adat Dinilai Mendesak

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan, Dr Janpatar Simamora SH MH, menilai akar persoalan konflik agraria terletak pada ketidaktegasan negara dalam mengakui keberadaan masyarakat hukum adat.

Menurutnya, proses hukum sering tidak adil karena masyarakat adat diminta membuktikan kepemilikan tanah secara formal, padahal sistem hukum adat bersifat historis dan komunal.

“Masyarakat adat tidak mungkin memiliki sertifikat. Mereka hidup dan mengelola tanah itu jauh sebelum negara ada,” kata Janpatar.

Ia menegaskan, pengesahan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat menjadi langkah paling mendesak agar konflik agraria tidak terus berulang.

“Jika negara mengakui masyarakat adat, maka pengakuan itu harus diwujudkan dalam undang-undang. Tanpa itu, konflik agraria akan terus menjadi luka yang tak sembuh,” pungkasnya. (id06)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |