ASEAN Jadi Medan Panas Perang Dagang Trump, Ini Lawan Terberat RI

4 days ago 6

Jakarta, CNBC Indonesia- Amerika Serikat (AS) menjadi magnet ekspor utama bagi negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Namun, di tengah tekanan tarif baru dari Presiden Donald Trump, peta persaingan ekspor ASEAN ke Negeri Paman Sam justru kian panas.

Data terbaru menunjukkan, ekspor Indonesia ke AS pada 2024 mencatat kinerja positif, meski masih tertinggal dari Vietnam dan Malaysia yang menjadi "raja" di pasar ekspor ASEAN-AS.

Nilai ekspor barang Indonesia ke AS pada 2024 mencapai US$28,1 miliar, naik 4,8% dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, Vietnam mencatat ekspor fantastis senilai US$136,6 miliar, tumbuh 19,3% dari 2023. Malaysia menyusul di posisi ketiga dengan ekspor US$52,5 miliar, naik 13,7%.

Persaingan ini memperlihatkan bahwa meski Indonesia punya potensi besar, pangsa ekspornya masih jauh dari dua negara tersebut. Bahkan, defisit perdagangan barang AS terhadap Indonesia hanya US$17,9 miliar, jauh lebih kecil dibanding Vietnam (US$123,5 miliar) atau Thailand (US$45,6 miliar).

Presiden Trump memang kembali membawa "senjata tarif"-nya ke Asia. Pada 2 April 2025, ia mengumumkan tarif baru bagi produk-produk impor dari ASEAN, dan Vietnam jadi salah satu yang paling disorot dengan kenaikan tarif hingga 46%.

Hal ini mengejutkan pasar, mengingat Vietnam selama ini menjadi andalan banyak merek AS seperti Nike, Adidas, hingga Apple untuk produksi manufaktur. Tarif tinggi diperkirakan akan memukul ekspor utama Vietnam, seperti pakaian, elektronik, dan furnitur, sekaligus membuat harga barang-barang tersebut lebih mahal bagi konsumen AS.

Tak hanya Vietnam, Kamboja juga mendapat tarif tinggi hingga 49%, meskipun nilai ekspornya ke AS hanya sekitar US$12,7 miliar. Yang menjadi sorotan adalah defisit perdagangan AS terhadap Kamboja yang mencapai US$12,3 miliar, karena nilai impornya jauh lebih besar dibanding ekspor AS ke Kamboja.

Laos, negara yang dulunya kurang dominan di peta ekspor ASEAN-AS, kini mulai naik kelas. Impor AS dari Laos naik 163% menjadi US$803 juta, dan defisit perdagangan mencapai US$762,9 juta. Namun, tarif baru sebesar 48% diperkirakan akan mengguncang pelaku usaha Laos, termasuk petani kopi yang menggantungkan nasib pada ekspor ke AS.

Sementara itu, Malaysia jadi pengecualian menarik. Ekspornya ke AS naik tajam sebesar 43,5%, dan bahkan defisit perdagangan Malaysia terhadap AS turun 7,6%. Hal ini menunjukkan bahwa Malaysia berhasil mengisi ceruk pasar yang mungkin ditinggalkan China selama perang dagang sebelumnya.

Indonesia sendiri, meski ekspornya meningkat, tetap harus waspada.dan kenaikan ekspor justru bisa jadi peluang sekaligus ancaman.

Apalagi, struktur ekspor RI ke AS masih didominasi oleh produk padat karya dan raw material, yang rentan terhadap penyesuaian tarif. Di sisi lain, Vietnam dan Malaysia sudah melangkah lebih jauh dengan memperkuat rantai pasok teknologi dan diversifikasi pasar.

Dibalik kenaikan tarif ini, tersembunyi risiko persaingan yang kian rapat, terutama di jantung Asia Tenggara.

Produk yang kini berada di bawah sorotan tarif AS mayoritas berasal dari sektor tekstil, agrikultur dan kelautan kopi, kelapa, kakao, minyak sawit, lemak nabati, serta produk perikanan seperti udang dan kepiting olahan. Produk-produk ini selama bertahun-tahun menjadi tulang punggung ekspor RI ke AS dan kini harus siap menavigasi babak baru.

Di antara negara-negara ASEAN, muncul bayang-bayang kompetitor yang mulai mengambil posisi Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Filipina.

Ambil contoh sektor perikanan. Indonesia dan Vietnam sama-sama pemasok utama produk udang ke AS. Namun, tarif AS untuk produk udang Vietnam kini mencapai 4,24%, sementara Indonesia "hanya" dikenai 3,05%. Artinya, RI masih unggul-untuk saat ini. Tapi rapatnya margin keuntungan membuat beda 1% saja bisa mengalihkan permintaan.

Di sektor lemak dan minyak nabati, Indonesia juga harus bersaing ketat dengan Malaysia. Beruntung, tarif Malaysia untuk produk ini lebih tinggi dibanding RI, sehingga posisi ekspor CPO dan turunannya relatif aman. Tapi sekali lagi, bukan berarti tenang sepenuhnya. Pasar AS bisa berubah arah dengan sangat cepat ketika harga dan logistik jadi faktor penentu.

Maybank dalam riset terbarunya memetakan 15 subsektor industri ASEAN yang terdampak kebijakan dagang AS ini. Berikut 10 diantaranya:

Dari sektor-sektor tersebut dan sektor unggulan ekspor nonmigas Indonesia ke Amerika Serikat, Indonesia bersinggungan langsung dengan beberapa negara pesaing

Perikanan, RI vs Vietnam, Thailand
Sektor perikanan menjadi salah satu arena persaingan paling tajam. Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi laut terbesar di kawasan, namun dalam hal ekspor seafood olahan seperti filet ikan dan udang beku, Vietnam dan Thailand masih unggul dalam hal volume dan diversifikasi produk. Keduanya juga lebih matang dalam industrialisasi hasil laut dan memiliki rantai pasok yang efisien serta perjanjian dagang yang menguntungkan dengan AS.

Kakao dan cokelat olahan, RI vs Malaysia
Meski Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga dunia, dominasi Malaysia dalam ekspor cokelat olahan ke AS tak bisa dipandang sebelah mata.

Negeri Jiran unggul dalam nilai tambah karena industri pengolahan kakao mereka jauh lebih terintegrasi, mulai dari grinding hingga manufaktur cokelat siap konsumsi. Sementara itu, RI masih didominasi oleh ekspor biji mentah yang rentan harga global.

Minyak kelapa dan turunannya, RI vs Filipina
Filipina selama ini dikenal sebagai eksportir utama minyak kelapa (coconut oil) ke AS, namun Indonesia mulai mengejar dengan peningkatan ekspor minyak kelapa murni (virgin coconut oil) serta turunan seperti desiccated coconut. Kendala utama Indonesia adalah soal kualitas pascapanen dan konsistensi suplai, sementara Filipina unggul dari sisi branding dan standar ekspor.

Kopi dan biji kopi olahan, RI vs Vietnam
Persaingan di sektor kopi berlangsung sengit. Vietnam unggul secara volume, terutama dalam ekspor kopi robusta. Meski Indonesia memiliki kekuatan pada kopi spesialti seperti arabika Gayo atau Toraja, dari sisi nilai ekspor ke AS, Vietnam masih memimpin karena efisiensi produksi, dukungan pemerintah, dan kapasitas ekspor yang besar. Namun, tren minat konsumen AS terhadap kopi organik dan berkelanjutan memberi celah bagi Indonesia untuk menyalip lewat niche market.

Lemak nabati dan margarin, RI vs Thailand
Data menunjukkan ekspor lemak nabati dan margarin Indonesia ke AS mencapai US$1,95 miliar, jauh meninggalkan Thailand yang hanya menembus US$4,52 juta. Hal ini menunjukkan dominasi Indonesia dalam ekspor produk turunan sawit. Meski kerap mendapat sorotan dari isu lingkungan, efisiensi produksi dan skala industri sawit Indonesia tetap sulit ditandingi oleh tetangga di kawasan.

Kepiting dan seafood kaleng, RI vs Vietnam, Thailand
Segmen makanan laut kalengan, termasuk kepiting dan tuna, memperlihatkan persaingan yang menarik. Vietnam dan Thailand unggul dalam pengolahan dan pengemasan, serta memiliki merek-merek yang sudah mapan di pasar AS. Namun Indonesia mulai menunjukkan taji, terutama dari wilayah seperti Sulawesi dan Maluku yang menjadi sentra kepiting bakau dan seafood premium. Tantangannya kini ada pada kapasitas pengalengan dan sertifikasi ekspor.

Namun bukan berarti Indonesia tak punya perisai. Dalam sejumlah subsektor, tarif yang dikenakan kepada Vietnam dan Thailand justru lebih tinggi. 

Ini menjadi bantalan sementara bagi RI untuk mempertahankan pasar AS, setidaknya dalam jangka pendek.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |