Ambiguitas Polisi Di Kasus Kematian Ripin Dan Ilham

1 month ago 15
Editorial

12 Agustus 202512 Agustus 2025

Ambiguitas Polisi Di Kasus Kematian Ripin Dan Ilham

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Atau mungkin polisi menunggu pelaku menyerahkan diri. “Pak, ini pisaunya. Saya yang bunuh Ripin. Mau difoto di sini atau di halaman Mapolresta?”

Ada dua anak muda di Deli Serdang yang mati dengan cara serupa: dibuang di parit. Satunya, Muhammad Ilham, siswa SMP, kasusnya dibuka, tersangkanya diseret ke publik, motifnya diumumkan, bahkan pedang panjangnya dipamerkan seperti piala lomba. Polisi bergerak cepat—kilat, kata siaran pers.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Yang satunya lagi, Ripin. Pemuda ini mati dengan luka di kepala, di parit pula. Ada saksi yang bersama korban sampai detik terakhir. Ada rekaman CCTV. Ada percakapan WhatsApp yang membentuk timeline rapi seperti skrip film detektif. Bahkan ada tersangka potensial yang berkeliaran bebas, tersenyum di dunia nyata. Dan apa yang dilakukan polisi?

Oh, tentu kita tak boleh buru-buru menuduh lamban. Kita harus ingat: penyelidikan memerlukan seni, kesabaran, dan mungkin tidur siang. Sementara keluarga Ripin terus berteriak mencari keadilan, aparat kita mungkin sedang sibuk membuat jadwal rilis pers atau mengukur sudut parit dengan penggaris imajiner.

Lucunya, di kasus Ilham, motifnya sederhana: ejek-ejekan nama bapak. Polisi langsung paham, langsung tangkap. Sementara di kasus Ripin, motifnya bisa disusun dari fragmen bukti yang bertebaran: kebohongan berlapis, alibi yang bolong-bolong, dan jejak perjalanan yang bisa dipetakan Google Maps. Tapi entah kenapa “klik” di kepala penyidik Polresta Deli Serdang belum terjadi. Menunggu saksi ahli hukum pidana, menunggu hasil digital forensik, atau menunggu pelakunya menghilangkan barang bukti lalu kabur ke luar negeri.

Ironisnya, publik bisa membaca kronologi Ripin di media sosial dan langsung bergumam, “Ini pembunuhan.” Tapi aparat yang konon punya gelar “penegak hukum” masih berkutat, sibuk memikirkan “definisi pembunuhan” itu sendiri. Mungkin, bagi mereka, kematian Ripin baru layak disebut pembunuhan setelah pelakunya membuat pengakuan tertulis di atas materai.

Kasus Ripin ini seperti ujian kecepatan. Polisi sudah membuktikan mereka bisa lari sprint untuk kasus Ilham. Tapi untuk Ripin, mereka memilih jalan santai sambil sesekali berhenti minum teh, dan barangkali kongko-kongko ngopi bareng di warkop.

Bukankah kasus pembunuhan Ripin sudah terang benderang karena dua saksi—juga terlapor—yaitu Bibi Juwita dan putranya, Kelvin, terus bersama Ripin hingga ia dinyatakan tewas? “Belum ada saksi maupun petunjuk yang mengarah pada perbuatan menghilangkan nyawa korban,” kata Kasat Reskrim Polresta Deli Serdang, Kompol Risqi Akbar, kepada media ini beberapa waktu lalu.

Dan di situlah masalahnya. Keadilan di negeri ini tampaknya sering bergantung pada mood aparat. Kalau mereka mau, pelaku bisa diringkus dalam hitungan jam. Kalau tidak, ya tunggu saja. Bisa sebulan, setahun, atau sampai kita lupa bahwa pernah ada anak bernama Ripin yang mati di parit.

Tentu kita tak ingin berburuk sangka. Mungkin saja penyidik sedang merancang strategi besar—begitu besar sampai hanya Tuhan dan mereka sendiri yang tahu ujungnya. Atau mungkin, ya, mereka sekadar menunggu pelaku menyerahkan diri sambil membawa bukti ke kantor polisi, lalu mengucapkan, “Pak, ini pisaunya. Saya yang bunuh Ripin. Mau difoto di sini atau di halaman Mapolresta?”

Pertanyaannya, berapa banyak lagi “Ripin” harus mati sebelum aparat berhenti menjadi figuran dalam drama kriminal—yang hanya berdiri di latar, mengangguk-angguk, dan baru bergerak ketika keluarga dan pengacara berteriak, “Aksi!” Coba renungkan, Pak Polisi, jika Ripin itu anak atau kerabat Anda. Apakah Anda masih bisa tidur nyenyak atau justru dihantui kegelisahan seperti Rudi—abang kandung Ripin yang merindukan keadilan di tengah ambiguitas penyidik? Karena, sekuat apa pun kita menyembunyikan kebenaran, ia selalu punya cara untuk menemukan jalannya sendiri.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |