Warisan Kolonialisme Di Palestina

1 week ago 16

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Deklarasi Balfour mendasarkan pandangannya pada aspirasi Zionis untuk mendirikan “rumah nasional” Yahudi, tanpa memperhitungkan hak-hak rakyat Palestina yang sudah ada di tanah tersebut

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Warisan Kolonialisme Di Palestina

IKLAN

Deklarasi Balfour tahun 1917, yang diterbitkan oleh pemerintah Inggris, tidak hanya menandai sebuah titik balik dalam sejarah Palestina, tetapi juga menjadi simbol dari kolonialisme modern yang terus hidup dalam bentuk negara-negara besar yang mengatur kawasan Timur Tengah berdasarkan kepentingan geopolitik mereka.

Deklarasi ini menyatakan dukungan Inggris terhadap pendirian “rumah nasional untuk bangsa Yahudi” di Palestina, tanpa memberikan perhatian yang cukup terhadap hak-hak rakyat Palestina yang telah lama menetap di wilayah tersebut. Deklarasi ini bukan hanya menjadi pijakan politik dalam pembentukan negara Israel, juga menciptakan ketegangan yang berlangsung lama, yang melibatkan pengabaian terhadap hak-hak rakyat Palestina serta menciptakan dampak jangka panjang yang menghantui kawasan ini hingga hari ini.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Palestina berada di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah yang sudah mulai rapuh. Wilayah ini dihuni mayoritas penduduk Arab, baik Muslim maupun Kristen, yang menjalani kehidupan agraris yang mapan. Palestina tidak pernah menjadi tanah tanpa bangsa, sebagaimana klaim dalam Deklarasi Balfour, namun adalah wilayah dengan sejarah yang kaya dan masyarakat yang beragam.

Gerakan Zionisme, yang dipeloporiTheodor Herzl tahun 1897, berfokus pada pembentukan negara Yahudi di Palestina. Gerakan ini bertujuan memberikan tempat perlindungan bagi orang-orang Yahudi yang menghadapi diskriminasi di Eropa, meskipun hal ini bertentangan dengan hak-hak bangsa Palestina yang sudah lama menghuni wilayah tersebut. Gerakan ini mendapat dukungan internasional, terutama dari negara-negara besar yang melihatnya sebagai bagian dari strategi politik dan militer mereka.

Deklarasi Balfour dipandang oleh banyak sejarawan sebagai manifestasi dari imperialisme Inggris yang ingin memperkuat pengaruhnya di Timur Tengah setelah keruntuhan Kesultanan Utsmaniyah. Inggris mendukung proyek Zionisme sebagai cara untuk mendapatkan dukungan Yahudi di Eropa, khususnya di Amerika Serikat, yang adalah mitra strategis mereka dalam Perang Dunia I. Selain itu, Palestina memiliki posisi geografis yang sangat strategis, menghubungkan benua Asia, Afrika, dan Eropa.
Pernyataan yang terdapat dalam Deklarasi Balfour, “pemerintah Inggris memandang dengan simpatik pendirian rumah nasional untuk bangsa Yahudi di Palestina,” mengabaikan kenyataan bahwa Palestina sudah dihuni oleh komunitas Arab yang berkembang sejak berabad-abad lamanya. Hal ini sangat menguntungkan bagi pihak Zionis yang melihat Palestina sebagai “tanah tanpa bangsa” untuk orang Yahudi, sebuah narasi yang sangat kuat dalam pembenaran kolonial.

His Majesty’s Government view with favour the establishment in Palestine of a national home for the Jewish people, and will use their best endeavours to facilitate the achievement of this object, it being clearly understood that nothing shall be done which may prejudice the civil and religious rights of existing non-Jewish communities in Palestine, or the rights and political status enjoyed by Jews in any other country. (Pemerintah Yang Mulia memandang dengan hormat pendirian sebuah rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina, dan akan berusaha sebaik mungkin memfasilitasi tercapainya tujuan ini, dengan pemahaman yang jelas bahwa tidak ada yang akan dilakukan yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama dari komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, atau hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh orang-orang Yahudi di negara manapun).

Klaim Inggris mengabaikan kenyataan sosial dan demografis Palestina pada saat itu, yang mayoritas penduduknya adalah orang Arab, baik Muslim maupun Kristen. Ini juga memperlihatkan bagaimana Deklarasi Balfour mendasarkan pandangannya pada aspirasi Zionis untuk mendirikan “rumah nasional” Yahudi, tanpa memperhitungkan hak-hak rakyat Palestina yang sudah ada di tanah tersebut. Klaim ini mencerminkan perspektif kolonial yang memprioritaskan kepentingan luar tanpa memberikan perhatian yang adil terhadap komunitas asli Palestina. Inilah yang kemudian memicu ketidakadilan struktural dan konflik yang terus berlangsung hingga saat ini.

Edward Said dalam bukunya Orientalism (1979) menggambarkan bagaimana narasi kolonialisme Barat membentuk cara pandang dunia tentang Timur, termasuk Palestina. Dalam konteks Deklarasi Balfour, ide bahwa Palestina adalah “tanah tanpa bangsa” mencerminkan pandangan reduktif Barat yang menganggap Timur sebagai wilayah yang tidak beradab, yang tidak memiliki sejarah atau identitas yang layak dihormati. Said berargumen bahwa ini adalah bagian dari sebuah upaya besar untuk mendominasi wilayah tersebut, melalui penghapusan atau pembelokan kenyataan sejarah yang ada.

Ilan Pappe, seorang sejarawan kontemporer yang banyak menulis tentang sejarah Palestina, berpendapat bahwa Deklarasi Balfour adalah “blueprint etnis cleansing,” yang merujuk pada peristiwa Nakba 1948, yang meniscayakan lebih dari 700.000 warga Palestina diusir secara paksa dari rumah mereka. Pappe menilai ini tidak hanya memberikan dukungan terhadap pembentukan negara Yahudi, tetapi juga menciptakan fondasi bagi perampasan tanah dan penghancuran kehidupan masyarakat Palestina.

Setelah Deklarasi Balfour, Palestina mengalami gelombang imigrasi besar-besaran dari Eropa, yang mengubah komposisi demografis wilayah tersebut. Warga Palestina yang telah tinggal di tanah tersebut selama berabad-abad harus berhadapan dengan kedatangan ribuan imigran Yahudi yang datang dengan dukungan finansial dan logistik dari berbagai negara Barat, termasuk Inggris.

Proses imigrasi ini disertai pembangunan infrastruktur yang mendukung proyek Zionis, yang seringkali mengabaikan kebutuhan masyarakat lokal Palestina. Pada saat yang sama, berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Inggris sebagai penguasa Mandat, mulai dari pembatasan hak-hak politik Palestina hingga pembatasan kepemilikan tanah, semakin memperburuk hubungan antara komunitas Arab dan Yahudi di Palestina. Hal ini menjadi salah satu faktor utama yang memicu ketegangan etnis dan konflik yang semakin intensif.

Deklarasi Balfour dan pembentukan negara Israel menjadi bukti nyata dari warisan kolonialisme yang mengakar di Timur Tengah. Tidak hanya sebagai sebuah dokumen yang memfasilitasi pembentukan negara Israel, Deklarasi Balfour juga menunjukkan bagaimana negara-negara besar, terutama Inggris, telah memanfaatkan wilayah ini untuk kepentingan politik dan ekonomi mereka sendiri.

Perlawanan terhadap warisan kolonial ini tidak hanya berlangsung di Palestina, tetapi juga mendapat dukungan luas dari berbagai negara di seluruh dunia. Gerakan-gerakan anti-kolonial di Afrika, Asia, dan Amerika Latin melihat perjuangan Palestina sebagai bagian dari perjuangan mereka melawan imperialisme global. Negara-negara seperti India, Mesir, dan banyak negara di dunia Arab menunjukkan solidaritas terhadap Palestina dalam upaya untuk mengakhiri dominasi kolonial berlandaskan Deklarasi Balfour.

Sebagai negara yang lahir dari perjuangan anti-kolonial, Indonesia memiliki tanggungjawab moral mendukung Palestina. Komitmen terhadap perjuangan Palestina tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, yang menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak semua bangsa, termasuk bangsa Palestina. Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, Indonesia bahkan menjadi salah satu negara, aktif mendukung kemerdekaan Palestina dan menentang dominasi Barat atas kawasan Timur Tengah.

Namun, pasca-Reformasi 1998, kebijakan luar negeri Indonesia mengalami perubahan. Ketergantungan Indonesia pada hubungan ekonomi dan pertahanan dengan negara-negara Barat, yang memiliki hubungan erat dengan Israel, menciptakan dilema dalam kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Palestina. Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia mendukung gerakan Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS) terhadap Israel, pemerintah Indonesia belum mengambil langkah tegas untuk mengadopsi kebijakan boikot resmi terhadap Israel, yang mencerminkan ketegangan antara idealisme konstitusional dan realitas geopolitik.

Sejak didirikan tahun 2005, gerakan BDS telah menjadi salah satu bentuk perlawanan non-kekerasan yang paling penting terhadap kebijakan Israel. Gerakan ini menyerukan penghentian pendudukan Palestina, pengakuan hak-hak pengungsi Palestina, dan kesetaraan hak bagi warga Palestina. Aktivis seperti Omar Barghouti mengingatkan bahwa tanpa tekanan internasional yang berkelanjutan, Israel tidak akan berubah secara signifikan dalam kebijakan politiknya terhadap Palestina.

Gerakan BDS menghadapi tantangan besar dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat, yang telah mengesahkan undang-undang anti-BDS di lebih dari 35 negara bagian. Di Eropa dan Amerika Utara, aktivis yang terlibat dalam BDS juga seringkali menghadapi represi hukum dan label antisemitisme. Selain itu, platform media sosial seperti Facebook dan Instagram juga telah menurunkan visibilitas konten yang mendukung Palestina, yang menunjukkan betapa perlawanan terhadap kolonialisme tidak hanya berhadapan dengan negara, tetapi juga dengan kekuatan media global.

Negara-negara Global South, yang banyak di antaranya memiliki pengalaman panjang dengan kolonialisme dan penjajahan, memiliki peran strategis dalam memperkuat solidaritas internasional terhadap Palestina. Afrika Selatan, yang pernah melawan sistem apartheid di dalam negeri, telah mengambil sikap tegas dalam mendukung Palestina, termasuk menerapkan sanksi ekonomi terhadap Israel. Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar dan salah satu negara yang pernah menjadi pionir dalam gerakan anti-kolonial, juga dapat memperkuat posisinya dengan mengadopsi kebijakan BDS selektif, yang mengisolasi perusahaan-perusahaan yang secara langsung mendukung pendudukan Israel.

Deklarasi Balfour lebih dari sekadar dokumen sejarah. Ia adalah simbol dari kolonialisme
struktural yang terus hidup dalam bentuk negara-negara besar yang memanfaatkan kekuatan politik dan ekonomi mereka untuk mengontrol kawasan Timur Tengah. Perlawanan terhadap warisan kolonial ini harus melibatkan upaya yang lebih luas, mulai dari kebijakan luar negeri hingga pendidikan. Dalam konteks Indonesia, solidaritas terhadap Palestina tidak hanya sebagai tindakan politik, tetapi juga perwujudan janji kemerdekaan yang menjadi dasar negara.

Dekolonisasi pengetahuan, yang melibatkan penolakan terhadap narasi kolonial yang mendiskreditkan bangsa-bangsa non-Barat, adalah langkah penting dalam memperjuangkan keadilan dan kebebasan di Palestina. Sebagai negara yang lahir dari perjuangan anti-kolonial, Indonesia memiliki peran penting dalam memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina dan menantang warisan kolonialisme yang masih berlanjut hingga kini.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Ketua Lembaga Ukhuwah Umat Islam MUI Sumatera Utara, Ketua Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Sumatera Utara.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |