Jakarta, CNBC Indonesia- Lumut menjadi salah satu komoditas ekspor unik dari Indonesia. Namun, nilai ekspor lumut Indonesia tercatat melemah di tengah meningkatnya permintaan global untuk bahan alami dalam industri dekorasi dan hortikultura.
Berdasarkan data Satu Data Kementerian Perdagangan, ekspor lumut Indonesia dari Oktober 2024 hingga Oktober 2025 mencapai US$0,711 juta, atau setara Rp11,6 miliar (kurs Rp16.300/US$). Angka ini turun 5,75% secara tahunan (YoY), menandakan tekanan pada salah satu komoditas niche yang biasanya luput dari perhatian publik.
Lumut yang diekspor Indonesia dikategorikan dalam HS 06049010, yakni mosses and lichens-jenis lumut yang sudah dikeringkan, diwarnai, diputihkan, atau diawetkan untuk kebutuhan industri. Meskipun tampak sederhana, lumut jenis ini memiliki nilai tambah tinggi di pasar internasional, terutama untuk keperluan florikultura, desain interior, dan industri kerajinan tangan.
Jepang menjadi pasar utama ekspor lumut Indonesia dengan nilai mencapai US$0,62 juta, atau sekitar 87% dari total ekspor nasional.
Disusul Spanyol sebesar US$0,07 juta, Inggris US$0,012 juta, dan Swedia US$0,003 juta. Keempat negara ini dikenal memiliki pasar kuat untuk produk hortikultura dan dekoratif alami, mulai dari taman mini hingga instalasi seni berbasis tanaman.
Jepang sudah lama menjadi pembeli utama lumut asal Asia Tenggara karena memiliki tradisi kuat dalam bonsai, ikebana (seni merangkai bunga), dan terrarium. Lumut digunakan untuk menutup media tanah, menjaga kelembapan akar, serta memperindah tampilan tanaman. Bahkan di pasar Jepang, satu kilogram lumut kering berkualitas tinggi bisa dijual hingga puluhan dolar AS.
Secara alami, lumut tumbuh subur di musim penghujan, terutama di daerah berhawa lembap seperti hutan tropis Sumatra, Jawa bagian barat, dan Sulawesi. Jenis yang banyak diekspor adalah lumut daun (Bryophyta) dan lumut kerak (Lichenes) yang mudah dikeringkan tanpa kehilangan teksturnya. Petani umumnya memanen lumut dari hutan dan kemudian menjemurnya, mewarnai, atau merendamnya dalam bahan pengawet alami sebelum dikirim ke luar negeri.
Meski ekspornya tergolong kecil dibandingkan komoditas lain, lumut memiliki nilai ekonomi unik karena memadukan aspek ekologi dan seni. Lumut digunakan juga sebagai media penelitian, bahan kosmetik alami, dan biofilter udara. Beberapa perusahaan di Eropa bahkan memanfaatkan lumut kering untuk panel dinding akustik ramah lingkungan.
Penurunan ekspor sebesar 5,75% dalam setahun terakhir kemungkinan besar dipicu oleh cuaca ekstrem dan perubahan pola hujan, yang memengaruhi produksi di daerah-daerah penghasil.
Selama ini, sebagian besar lumut masih dipanen langsung dari alam tanpa sistem tanam ulang. Tanaman ini dibiarkan tumbuh liar di dekat got ataupun tempat lembab lainnya seperti dekat sumur. Padahal, negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan telah mulai menerapkan teknik kultur jaringan untuk menjaga pasokan tanpa merusak ekosistem.
Selain Jepang, Spanyol juga menjadi pasar potensial, banyak digunakan di restoran, hotel, dan ruang publik. Indonesia sebenarnya memiliki peluang untuk memosisikan diri sebagai pemasok utama lumut tropis, asalkan ada sertifikasi hijau dan rantai pasok yang terverifikasi.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)

2 hours ago
2

















































