Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Tinjauan UU Nomor 1 Tahun 2025: Paradigma BUMN Hingga Danantara
"Bahwa Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2OO3 tentang Badan Usaha Milik Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, perlu dilakukan penyesuaian materi muatan terhadap perkembangan penyelenggaraan Badan Usaha Milik Negara yang efektif dan berdaya saing serta memenuhi kebutuhan hukum dan partisipasi masyarakat, sehingga perlu diubah."
Berangkat dari bagian menimbang huruf d dari Undang-Undang Nomor I Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, bahwa terjadinya revisi undang-undang tersebut adalah demi memenuhi kebutuhan hukum dan partisipasi masyarakat. Dari rentan tahun 2003 hingga 2025, tentu terdapat banyak penyesuaian regulasi, dinamika di lapangan, hingga ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan BUMN.
Hal tersebut ditandai dari beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang keluar, mulai dari Putusan MK Nomor 48 dan 62/PUU-XI/2013 tentang pemisahan kekayaan negara di BUMN, Putusan MK Nomor 61/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian UU 19/2003 (UU BUMN) terhadap UUD NRI Tahun 1945, Putusan MK Nomor 12/PUU-XVI/2018 tentang pembatalan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UU 19/2003 (UU BUMN).
Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai negative legislator sebagaimana disebutkan Hans Kelsen, namun juga menjadi positive legislator dalam hal Putusan Mahkamah Konstitusi atas UU BUMN. Jadi, tidak sekadar membatalkan, juga memberikan kepastian hukum melalui norma baru.
Pada 4 Februari 2025, DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk disahkan menjadi undang-undang.
Tentu, bagian persetujuan dan pembahasan ini adalah bagian vital dari pembentukan suatu undang-undang. Lantas, menjadi pertanyaan, apakah suara 'setuju' dari para anggota DPR sudah benar-benar mewakili 'suara setuju rakyat,' atau ternyata 'demi suara setuju partai,' atau hanya sekadar 'setuju,' karena tidak memiliki pemahaman maupun kompetensi?
Momentum berikutnya yang sangat disoroti oleh akademisi, teknokrat, hingga masyarakat adalah setelah ditandatanganinya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara oleh Presiden Republik Indonesia, serta pengesahan pembentukan BPI Danantara sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam UU BUMN baru.
Mulai dari adanya kemungkinan BPI Danantara tidak bisa diaudit dan diusut oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jaminan keberhasilan BPI Danantara mengelola sekitar Rp 14.648 triliun, hingga beberapa muatan pasal dalam UU BUMN baru yang dinilai bermasalah serta menimbulkan ketidakpastian hukum.
Masyarakat bertanya-tanya, kalau begitu, apakah huruf d bagian menimbang dari UU BUMN baru ini hanya sekadar dicantumkan atau memang kebutuhan yang dijalankan? Apa artinya ada frasa 'memenuhi kebutuhan hukum dan partisipasi masyarakat' dalam bagian menimbangkan, kalau nyatanya pembentukannya masih tergesa-gesa atau bahkan tidak mengandung meaningful participation?
Artinya, partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), justru tidak bermakna karena tidak dilakukan sebagaimana amanat dari Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Tinjauan Pasal Baru pada UU BUMN Baru
Ada yang bisa diapresiasi ada juga yang harus ditinjau ulang dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 sebagai UU BUMN. Mulai dari pasal yang mengatur tentang diberikannya peluang bagi para penyandang disabilitas hingga masyarakat setempat untuk mengisi Sumber Daya Manusia (SDM) di seluruh BUMN, dan peluang perempuan bisa menduduki posisi direksi, dewan komisaris, hingga jabatan lainnya di BUMN.
Artinya, BUMN telah memulai menghapus stigma negatif, menunjukkan inklusivitas dan kesetaraan, serta jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi seluruh masyarakat.
Namun, di sisi lain terdapat beberapa hal yang perlu ditinjau. Secara terminologi, ada perubahan paradigma modal BUMN yang ujungnya berpotensi melemahkan pengawasan BUMN. Adapun perubahan tersebut adalah menghapus frasa 'yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.' Jadi, belum berbicara tentang kelembagaan pengawasan, definisi dan substansi pengawasannya saja sudah terindikasi lemah.
Lemahnya di mana? Dengan dihapusnya frasa tersebut, maka baik Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akan bertentangan dengan UU BUMN yang salah satunya adalah definisi kerugian negara akan berubah total, sehingga tidak dapat diaudit oleh lembaga negara yang berwenang dalam pemeriksaan keuangan, maupun lembaga penegak hukum.
Memang yang dihapus hanya frasa, 'yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan,' namun pada akhirnya frasa tersebut yang termuat dalam undang-undang memiliki kekuatan hukum yang bisa menghalangi kewenangan lembaga penegak hukum (Polri, KPK, dan Kejaksaan) hingga pemeriksa keuangan (BPK dan BPKP).
Artinya, sejak dari proses revisi Undang-Undang BUMN ini sudah ada indikasi ketidakpastian maupun ketidakbijakan pengawasan, termasuk pengawasan Danantara.
Pasal lainnya yang menimbulkan kerumitan adalah pasal 9G dalam UU BUMN baru, di mana disebutkan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Memang sederhana, paradigma yang diubah adalah menambahkan frasa 'bukan penyelenggara negara,' namun implikasinya sangat besar, bahkan berpotensi bertentangan dengan undang-undang lainnya seperti Undang-Undang tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, hingga Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sederhananya, jika di kemudian hari, terdapat pegawai maupun pejabat BUMN yang ditemukan flexing kekayaan di media sosial, maka baik pegawai maupun pejabat BUMN tidak dapat diperiksa Laporan Harta Kekayaan Negara-nya, selain itu tidak lagi memiliki kewajiban untuk melaporkan harta kekayaan kepada KPK setiap tahunnya.
Artinya, bongkar-bongkar LHKPN sebagai senjata rakyat selama berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi tidak lagi dapat digunakan. Padahal selama ini, dari beberapa kasus flexing pejabat, yang LHKPN-nya dibongkar masyarakat, berujung pada pemeriksaan hingga Operasi Tangkap Tangan (KPK) oleh KPK hingga penegak hukum lainnya.
Berantas Korupsi, Lindungi Danantara
Beberapa hari setelah BPI Danantara diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto, Kejaksaan Agung menetapkan sembilan tersangka terkait dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina 2018-2023. Akibatnya negara dirugikan sebesar Rp 193,7 triliun.
Kerugian tersebut berasal dari berbagai komponen, yaitu kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri (sebagai akibat minyak mentah dalam negeri produksi KKKS tidak dibeli oleh Pertamina Patra Niaga), kerugian impor minyak mentah melalui broker swasta, kerugian impor minyak produk kilang melalui broker, dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi oleh APBN.
Lagi dan lagi, korupsi itu bukan lagi ratusan juta, bukan lagi miliaran, namun sudah di angka di triliun, bahkan kerugian negara satu kuadriliun. Dilakukan oleh orang yang disumpah di bawah kitab suci, yang telah merusak kepercayaan rakyat. Tidak ingin menjelaskan panjang lebar, namun liga korupsi di Indonesia hingga saat ini berasal dari korupsi di sektor BUMN.
Sebagai pertanyaan kontemplatif, lalu bagaimana nantinya nasib BPI Danantara? Apakah aset hampir Rp 14.000 triliun itu akan berujung seperti kasus-kasus yang telah terjadi? Mau berapa BUMN lagi harus dikorbankan? Sampai kapan kepercayaan rakyat ini dikhianati? Sampai kapan negara ini dipimpin oleh pejabat yang lupa
akan sumpahnya di bawah kita suci?
Sebagai badan publik yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kelola Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara, BPI Danantara harus transparan dalam menyampaikan informasi publik sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, sehingga masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam mengawasi.
Peluncuran Danantara yang prematur tanpa kejelasan payung hukum, bisa saja mengganggu keberhasilan sebagaimana yang menjadi cita-cita mulia dari Presiden Prabowo Subianto. Danantara mengelola uang yang rakyat yang besar nilainya, seharusnya tidak lagi menjadi kelinci percobaan.
Pemerintah perlu belajar dari kegagalan negara tetangga, seperti 1Malaysia Development Berhad (1MDB) di Malaysia. Pengawasan tanpa 'awas,' sama saja seperti meletakkan Danantara masuk ke dalam jebakan.
Danantara harus beroperasi secara profesional dan berintegritas, serta menjauhi nuansa yang bersifat politis dan kepentingan segelintir orang, sehingga bisa menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan.
(miq/miq)