Imbas Royalti Berubah Nikel Sulit Terjual, Pemerintah Buka Suara

11 hours ago 6

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) buka suara perihal produk nikel yang sulit terjual. Hal ini diakibatkan karena harganya yang tinggi imbas berubahnya tarif royalti nikel tersebut.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno tak menampik bahwa ada nikel yang sulit terjual dikarenakan ketidakcocokan harga. Tri mengatakan Harga Patokan Mineral (HPM) dinilai terlalu tinggi bagi para smelter untuk bisa membeli nikel dalam negeri.

"Letak masalahnya itu, ya sebetulnya karena antara pembeli sama penjual belum ketemu itu harganya, gitu lah," katanya saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, dikutip Jumat (2/5/2025).

"Karena menurut dia (smelter nikel) HPM-nya kok ketinggian, ya. Sementara yang ini kan jadi dispute. Tapi nanti oke lah, kita tampung semua masukan-masukan dan dari ini untuk perbaikan, nggak ada masalah," imbuhnya.

Dengan begitu, Tri menyebutkan pihaknya akan melakukan evaluasi secara menyeluruh. Termasuk apakah perlu dilakukan perubahan dari Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 72 Tahun 2025 tentang Pedoman Penetapan Harga Patokan untuk Penjualan Komoditas Mineral Logam dan Batu Bara.

Yang jelas, Kementerian ESDM terbuka untuk mendengarkan keluhan pengusaha di dalam negeri. "Nanti, pokoknya kita terbuka lah. Itu kan bukan kitab suci. Akhirnya kalau aturan, ya. Kalau misalnya di evaluasi, kita lakukan evaluasi. Kan tadi perintahnya untuk melakukan evaluasi," ujar Tri.

Pengusaha Buka Suara

PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) mengungkapkan berbagai dampak yang dirasakan oleh perusahaan imbas dari perubahaan aturan penggunaan Harga Patokan Mineral (HPM) yang berkaitan dengan penetapan royalti di dalam negeri.

Direktur Utama Antam Nico Kanter mengungkapkan hal itu berdampak pada perusahaan yang harus membayar royalti untuk negara berdasarkan HPM dan harga premium.

"Jadi tidak kita jual, kita mengambil keuntungan daripada HPM yang dijadikan sebagai batas minimum," jelasnya dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XII DPR RI, Jakarta, Rabu (30/4/2025).

Nico juga menyayangkan, saat ini pihaknya masih belum bisa menjual bauksit tercuci karena para pembeli belum bisa membeli dengan patokan HPM di Indonesia.

"Jadi kita harus coba dari sejak tanggal 1 April (2025) kita sudah memberhentikan penjualan karena kita coba kepada buyer, tidak ada buyer. Smelter-smelter yang ada yang mau membeli dengan harga HPM," keluhnya.

Sedangkan, dari sisi smelter yang akan mengolah bauksit juga dinilai akan mengalami kerugian lantaran ada faktor koreksi dalam perhitungannya.

"Sehingga smelter-smelter yang ada mereka melihat bahwa HPM ini terlalu tinggi harganya. Jadi oleh karena itu kita stop, tidak ada pembelian dan tidak ada pembayaran royalti apa-apa kepada negara. Selain komoditas bauksit sebenarnya juga berdampak pada, ini bukan di luar konteks tapi HPM ini juga pada bisnis smelter nikel Antam," terangnya.


(pgr/pgr)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Royalti Nikel & Minerba Naik! Pengusaha Makin Tercekik?

Next Article Royalti Nikel Bakal Naik Jadi 15%? Ini Jawaban ESDM

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |