Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintahan Amerika Serikat (AS) baru saja resmi keluar dari masa penutupan pemerintahan atau government shutdown yang tercatat berlangsung selama 43 hari, atau yang terpanjang sepanjang sejarah Negeri Paman Sam.
Presiden Donald Trump pada Rabu malam atau Kamis pagi waktu Indonesia resmi menandatangani RUU pendanaan jangka pendek yang mengembalikan operasional pemerintah federal paling tidak hingga akhir Januari 2026. Hal ini bisa terjadi setelah RUU tersebut disetujui oleh DPR AS dengan perolehan suara 222-209.
Berakhirnya shutdown ini menandai titik balik yang penting setelah lebih dari satu juta pegawai pemerintahan tidak digaji yang menyebabkan layanan publik lumpuh, serta data ekonomi penting yang tertunda, hingga sektor penerbangan kacau akibat kekurangan petugas pengatur lalu lintas udara.
Trump menegaskan bahwa orang-orang telah terdampak begitu berat dan menekankan bahwa kondisi seperti ini tidak boleh terulang. Shutdown yang dimulai sejak 1 Oktober lalu terjadi karena perdebatan sengit antara Partai Republik dan Demokrat terkait perpanjangan kredit pajak untuk Affordable Care ACT (ACA) bagi 20 juta warga AS.
Dalam prosesnya, RUU pendanaan yang akhirnya disepakati ini baru melaju setelah sejumlah senator Demokrat bersedia memberikan dukungan meski tuntutan terkait perpanjangan subsidi ACA belum dimasukkan dalam rancangan.
Ketegangan politik ini sempat menimbulkan kekhawatiran pasar global mengingat dampaknya yang merembet ke operasional pemerintah, termasuk pembatasan penerbangan yang diperkirakan akan meningkat dari 6% menjadi 10% pada akhir pekan jika shutdown berlanjut.
Kini dengan arahan Kantor Manajemen dan Anggaran (OMB) agar seluruh pegawai federal kembali bekerja pada Kamis pagi waktu AS, maka aktivitas pemerintahan AS akan mulai kembali normal. Investor global menyambut langkah ini sebagai sinyal meredanya ketidakpastian fiskal AS, terutama setelah berbagai sektor pelayanan publik dan konsumsi masyarakat mengalami tekanan signifikan selama lebih dari enam minggu terakhir.
Apa Dampaknya bagi Indonesia?
Berakhirnya shutdown pemerintahan AS bukan hanya meredakan ketidakpastian di pasar global, tetapi juga membawa sejumlah implikasi langsung bagi perekonomian Indonesia.
Sebagai salah satu mitra dagang terbesar Indonesia dan pusat arus modal dunia, kembalinya aktivitas fiskal pemerintahan AS akan mempengaruhi pergerakan ke pasar keuangan tanah air.
1. Nilai Tukar Rupiah
Penutupan pemerintahan AS sejak 1 Oktober 2025 justru memicu lonjakan permintaan global terhadap aset-aset safe haven, salah satunya dolar AS.
Hal ini tercermin dari kenaikan Indeks Dolar (DXY) yang menguat hingga 1,98% sejak awal shutdown, sehingga menekan mata uang emerging market. Rupiah pun tidak luput dari tekanan, dengan mencatatkan pelemahan sebesar 0,78% sejak shutdown dimulai.
Kenaikan dolar ini terjadi karena ketidakpastian fiskal membuat investor global mencari aset yang dianggap lebih aman, sementara rilis data ekonomi AS tertunda sehingga pasar kehilangan panduan untuk membaca arah kebijakan moneter The Federal Reserve.
Dengan berakhirnya shutdown dan pemerintahan AS kembali beroperasi normal, data ekonomi penting seperti inflasi, tenaga kerja, hingga indeks manufaktur yang diperkirakan akan kembali dirilis dalam beberapa pekan ke depan. Ketersediaan data ini sangat penting karena menjadi landasan utama The Fed dalam menentukan kebijakan suku bunga jelang FOMC 9-10 Desember mendatang.
Apabila rangkaian data tersebut menunjukkan perlambatan inflasi dan pasar tenaga kerja yang masih kurang baik, maka peluang The Fed melanjutkan pemangkasan suku bunga akan semakin terbuka. Skenario ini berpotensi menekan dolar dan sekaligus memberi ruang bagi penguatan mata uang emerging market, termasuk rupiah.
2. Perdagangan & Investasi Indonesia
Amerika Serikat merupakan mitra dagang terbesar kedua bagi Indonesia, tepat di bawah China, sehingga setiap normalisasi ekonomi di AS memiliki dampak langsung terhadap kinerja ekspor Indonesia. Dengan berakhirnya shutdown dan pemerintahan AS kembali beroperasi normal, ketidakpastian fiskal yang sebelumnya menekan konsumsi dan logistik di Negeri Paman Sam mulai mereda. Hal ini membuka peluang pemulihan permintaan impor AS dalam beberapa bulan ke depan.
Saat ini, nilai ekspor Indonesia ke AS pada 2025 tercatat US$23,03 miliar, namun angka tersebut masih hingga September (year-to-date) sehingga belum mencerminkan dampak pembukaan kembali pemerintahan AS maupun potensi rebound permintaan AS ke depan.
Potensi pemulihan ini sangat relevan bagi Indonesia, mengingat AS merupakan pasar utama untuk berbagai komoditas unggulan RI seperti mesin dan perlengkapan listrik, sepatu olahraga, perangkat komunikasi, ban kendaraan, minyak sawit olahan, karet teknis, hingga panel surya. Barang-barang ini sangat sensitif terhadap pemulihan daya beli masyarakat AS serta normalnya kembali belanja pemerintah federal.
Dari sisi investasi, Amerika Serikat juga memiliki kontribusi signifikan dalam aliran modal ke Indonesia. Berdasarkan data BKPM, AS masuk dalam lima besar negara asal Penanaman Modal Asing (PMA) pada Kuartal III-2025 dengan nilai realisasi US$0,8 miliar.
Sementara sepanjang 2024, total PMA dari AS mencapai US$3,7 miliar, menunjukkan bahwa kendati terjadi ketidakpastian di dalam negeri AS, investor Amerika tetap memandang Indonesia sebagai destinasi strategis.
Dengan stabilitas fiskal AS yang mulai pulih pasca shutdown, keyakinan investor Amerika berpotensi meningkat. Ini dapat membuka ruang bagi masuknya kembali investasi di sektor manufaktur, elektronik, energi, teknologi, dan industri berbasis ekspor-sektor-sektor yang memiliki hubungan erat dengan rantai pasok global yang terhubung ke AS.
Pulihnya permintaan impor AS dan potensi peningkatan PMA menjadikan hubungan ekonomi Indonesia-AS semakin strategis pada masa mendatang.
3. Arus Modal Asing di Pasar Keuangan Tanah Air
Berakhirnya shutdown AS memulihkan visibilitas pasar terhadap aktivitas ekonomi AS dan mendorong normalisasi sentimen risiko global. Hal ini membuka ruang aliran modal kembali ke aset berisiko, namun laju arus masuk ke emerging market, termasuk Indonesia, masih akan sangat ditentukan oleh pergerakan imbal hasil obligasi AS (US Treasury), persepsi risiko global, dan posisi investor terhadap pasar negara berkembang.
Penguatan US Treasury yield yang sempat terjadi selama shutdown menjadi salah satu faktor yang menghambat masuknya modal ke pasar Indonesia.
Namun dengan redanya ketidakpastian fiskal dan kembali stabilnya likuiditas pasar AS, investor institusional berpotensi melakukan rebalancing portofolio ke aset berisiko dalam beberapa pekan ke depan, terutama jika volatilitas pasar menurun.
Dalam konteks Indonesia, ini memberikan peluang pada pasar saham dan obligasi domestik untuk kembali menarik minat investor asing, terutama jika prospek makro domestik tetap solid dan volatilitas global mereda.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/luc)

1 hour ago
5
















































