Semua Teori Salah! 2025 Bikin Pasar Kripto Tak Bisa Dibaca

4 hours ago 6

Big Stories 2025

Gelson Kurniawan,  CNBC Indonesia

26 December 2025 07:00

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2025 resmi tercatat dalam sejarah keuangan modern sebagai tahun penuh anomali yang membingungkan banyak pelaku pasar.

Bagi komunitas dan investor aset digital, tahun ini memberikan pelajaran yang sangat mahal bahwa narasi besar tentang siklus kenaikan abadi atau "Super Cycle" tidak akan pernah bisa berjalan mulus tanpa dukungan likuiditas global yang memadai.

Bitcoin memang sempat mencetak rekor harga baru, namun sentimen pasar secara keseluruhan berakhir antiklimaks, meninggalkan portofolio investor ritel dalam kondisi yang memprihatinkan.

Di sisi lain panggung investasi, aset konvensional yang sering dianggap kuno, yaitu emas, justru keluar sebagai juara sejati dengan kinerja yang luar biasa. Sementara itu, mayoritas aset kripto alternatif atau Altcoin justru terjebak dalam stagnasi panjang yang mencemaskan.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar mengenai apa yang sebenarnya terjadi di balik layar ekonomi global hingga membuat pasar kripto kehilangan tenaga utamanya, padahal narasi adopsi teknologi sedang tinggi-tingginya.

Paradoks The Fed: Bunga Turun, Tapi Uang "Hilang"

Salah satu faktor utama yang menjebak ekspektasi investor tahun ini adalah salah baca terhadap kebijakan moneter Amerika Serikat. Tahun 2025 menyajikan fenomena ekonomi yang menipu banyak investor ritel.

Di satu sisi, Bank Sentral AS atau The Fed terlihat melunak dengan memangkas suku bunga acuan secara bertahap dari level 4,5% di awal tahun menjadi 3,75% menjelang akhir tahun.

Keputusan ini diambil karena data inflasi AS yang mulai terlihat terkendali. Secara teori buku teks ekonomi, era "uang murah" akibat penurunan bunga ini seharusnya memicu reli besar-besaran di aset berisiko seperti saham teknologi dan kripto.

Namun, realita di lapangan justru bertolak belakang karena likuiditas pasar malah terasa kering di aset kripto dan hanya bergerak ke saham. Salah satu penyebab utamanya adalah kebijakan Quantitative Tightening (QT) yang terus dijalankan The Fed.

Meskipun mereka menurunkan biaya pinjaman lewat pemangkasan bunga, The Fed secara agresif menarik jumlah uang yang beredar (Money Supply) untuk merampingkan neraca keuangan mereka yang membengkak pasca pandemi.

Ibarat sebuah pesta makan malam, tuan rumah memang menurunkan harga tiket masuknya (bunga turun), namun di saat yang sama mereka diam-diam mengurangi porsi makanan yang tersedia di meja (likuiditas disedot).

Akibatnya, aset spekulatif yang berada di ujung spektrum risiko seperti kripto tidak kebagian "kue" likuiditas tersebut karena arus modal yang terbatas lebih dulu terserap oleh instrumen yang lebih aman seperti obligasi pemerintah dan index.

Dampak Tarif Trump dan "Liberation Day"

Tekanan likuiditas ini diperparah oleh kebijakan fiskal dan perdagangan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.

Pada bulan April 2025, pasar dikejutkan oleh pengumuman kebijakan yang disebut "Liberation Day", di mana pemerintah AS memberlakukan tarif impor universal sebesar lebih dari 10% dan sanksi dagang agresif terhadap mitra utamanya.

Kebijakan proteksionis ini memicu ketakutan akan kembalinya inflasi dari sisi biaya produksi atau cost-push inflation, yang walaupun inflasi tetap pada akhirnya under control.

Dolar yang kuat secara historis selalu menjadi musuh bagi Bitcoin, karena investor cenderung memegang uang tunai (cash) yang memberikan imbal hasil stabil daripada berspekulasi di aset digital yang fluktuatif.

Inilah yang membuat Bitcoin kesulitan mempertahankan momentum kenaikannya sepanjang tahun karena timing yang kurang tepat dan ketika inflasi tetap terjaga, momentum sudah tidak pada bull market.

Presiden AS Donald Trump menyampaikan pidato tentang tarif, di Rose Garden di Gedung Putih di Washington, D.C., AS, 2 April 2025. (REUTERS/Leah Millis)Foto: Presiden AS Donald Trump menyampaikan pidato tentang tarif, di Rose Garden di Gedung Putih di Washington, D.C., AS, 2 April 2025. (REUTERS/Leah Millis)

Bitcoin: Rekor US$ 125.000 yang Rapuh

Meskipun dihimpit tekanan makroekonomi, Bitcoin sejatinya berusaha keras memenuhi takdir siklus empat tahunannya. Secara historis, tahun 2025 adalah tahun di mana harga seharusnya melonjak pasca-halving.

Upaya ini sempat membuahkan hasil pada awal Oktober 2025, di mana Bitcoin berhasil menembus rekor tertinggi sepanjang masa (All Time High) di level US$ 125.251, tetapi masih under perform ketimbang cycle-cycle sebelumnya.

Sayangnya, kenaikan ini terbukti sangat rapuh karena tidak didukung oleh fundamental aliran dana yang kuat, melainkan lebih banyak didorong oleh spekulasi pasar derivatif.

Ketika ketegangan perang dagang antara AS dan China memanas di bulan Oktober dan November-dengan isu saling balas tarif hingga 100% sehingga pasar langsung merespons dengan kepanikan.

Bitcoin tergelincir tajam dari puncaknya, jatuh kembali ke level US$ 87.000-an dalam waktu singkat. Koreksi dalam yang tiba-tiba ini memicu peristiwa likuidasi sebesar US$ 19 miliar di pasar derivatif (long).

Angka ini mencerminkan besarnya kerugian trader yang menggunakan dana pinjaman atau leverage berlebih, menyapu bersih harapan mereka yang mengira harga akan terus naik tanpa henti.

Upaya Bitcoin untuk terbang tinggi akhirnya "terjegal" oleh tembok tebal realitas ekonomi global yang belum kondusif.

Rapor Merah Altcoin: Stagnasi Lima Tahun

Dampak dari keringnya likuiditas terlihat jauh lebih nyata dan menyakitkan pada kinerja aset kripto alternatif atau Altcoin.

Jika kita menarik data perbandingan lima tahun ke belakang, yakni antara siklus 2021 dan 2025, terlihat jelas bahwa banyak proyek besar yang justru mengalami stagnasi pertumbuhan harga alias jalan di tempat.

Ethereum (ETH) menjadi contoh paling mengecewakan bagi investornya. Sempat digadang-gadang sebagai aset "Ultrasound Money" yang deflasioner, Ethereum gagal menunjukkan taringnya.

Harga tertinggi yang dicapai ETH pada tahun 2025 berada di level US$ 4.842, angka yang nyaris tidak bergerak dari rekor tertingginya di tahun 2021 yang berada di kisaran US$ 4.800.

Kegagalan menembus resistensi lama ini menunjukkan bahwa narasi ETF Ethereum tidak cukup kuat untuk menarik minat institusi sebesar Bitcoin.

Nasib serupa dialami oleh Solana (SOL). Koin yang sering disebut sebagai "Ethereum Killer" ini memang memiliki ekosistem yang masif dan biaya murah, namun dari sisi harga, ia hanya mampu mencetak pola "Double Top".

Dari puncak US$ 249 di tahun 2021, Solana hanya mampu naik tipis ke US$ 256 di tahun 2025 sebelum kembali terkoreksi tajam hingga minus 41% tahun ini. Kenaikan tipis ini dinilai tidak sebanding dengan risiko volatilitas tinggi yang harus ditanggung pemegangnya.

Sementara itu, XRP terus menyajikan drama yang menguji kesabaran. Setelah menghabiskan paruh pertama tahun 2025 dalam fase konsolidasi atau pergerakan mendatar yang membosankan, XRP gagal mempertahankan momentum kenaikan sesaatnya dan kembali terjebak volatilitas.

Harapan komunitasnya agar harga meledak pasca kejelasan regulasi tampaknya masih tertahan oleh sentimen pasar yang lesu.

Tak lupa, sektor koin bertema politik atau PolitiFi, khususnya koin TRUMP, menjadi monumen pelajaran "Buy the Rumor, Sell the News".

Digadang-gadang akan meledak pasca pelantikan presiden, koin ini justru dijual massal oleh investor besar atau whales tepat saat momen inagurasi, meninggalkan investor ritel dengan kerugian besar karena terlambat keluar. 

Changpeng Zhao, Co-Founder & CEO, Binance. (Zed Jameson/Bloomberg via Getty Images)Foto: Changpeng Zhao, Co-Founder & CEO, Binance. (Bloomberg via Getty Images/Bloomberg)

Satu-satunya anomali positif di tengah lautan merah ini adalah Binance Coin (BNB). Aset utilitas dari bursa Binance ini berhasil mencatatkan kinerja gemilang dengan melesat 100% dari rekor tahun 2021 di US$ 649 menjadi US$ 1.315 pada puncaknya di 2025.

Hal ini membuktikan bahwa investor masih menaruh kepercayaan tinggi pada fundamental bisnis dan ekosistem Binance meskipun diterpa berbagai isu regulasi global.

Kemudian adalah ASTER di mana ini adalah proyek yang disokong oleh pemilik Binance yaitu Changpeng Zhao atau yang biasa kita kenal dengan CZ.

Setelah mendapat support dari CZ investor kripto berbondong-bondong masuk ke dalam proyek ini sehingga menajdi salah satu aset kripto dengan kenaikan tertinggi pada tahun ini terutama pada bulan September

Di tengah ketatnya pengawasan transaksi global, Zcash (ZEC) bangkit sebagai aset primadona karena menawarkan solusi privasi finansial yang makin langka terutama karena adanya narasi quantum computing yang terus berjalan, proyek quantum resistance menjadi proyek tak terelakkan oleh investor

Lonjakan harganya juga didorong oleh narasi perlawanan terhadap mata uang digital bank sentral (CBDC), yang membuat investor memburu aset dengan fitur anonimitas tinggi.

Momentum ini membuktikan bahwa di era transparansi total, kerahasiaan data pengguna tetap memiliki nilai premium yang tak tergantikan.

Institusi Bertahan dan Kemenangan Mutlak Emas

Di tengah kepanikan ritel dan volatilitas pasar, investor institusi justru menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Perusahaan seperti MicroStrategy di bawah komando Michael Saylor tetap konsisten dengan strategi akumulasi Bitcoin mereka, memandang setiap penurunan harga sebagai diskon untuk aset treasury jangka panjang dengan average di US$ 74.000.

Begitu pula dengan pemegang ETF BlackRock (IBIT) yang cenderung menahan posisi mereka, sebuah sinyal bahwa "smart moeny" masih percaya pada potensi Bitcoin dalam jangka waktu 10 tahun ke depan, mengabaikan gejolak jangka pendek.

Namun, pemenang sesungguhnya di tahun 2025 bukanlah aset digital, melainkan emas fisik. Terjadi divergensi atau perbedaan arah yang ekstrem di pasar.

Saat Bitcoin menutup tahun dengan kinerja negatif sekitar 10%, Emas (XAU) justru meroket fantastis hingga 71,4%.

Kenaikan ini menegaskan bahwa di tengah ketidakpastian geopolitik dan inflasi akibat perang tarif, investor global lebih memilih emas sebagai tempat perlindungan nilai atau safe haven yang paling terpercaya, menggeser narasi Bitcoin sebagai "emas digital".

 IG michael_saylor)Foto: Michael Saylor. (Dok: IG michael_saylor)

Outlook 2026: Waspada Sembilan Sinyal Bahaya

Menatap tahun 2026, investor disarankan untuk ekstra waspada. Meskipun siklus kripto secara historis menyarankan adanya potensi koreksi panjang atau crypto winter, ancaman terbesar justru datang dari delapan indikator makroekonomi yang kini menyala merah.

  • Pertama
    Likuiditas perbankan global terpantau dalam kondisi kritis, bahkan lebih ketat dibandingkan era krisis perbankan AS tahun 2023, yang membuat pasar rentan terhadap guncangan makro.
  • Kedua
    Langkah Bank of Japan menaikkan suku bunga ke 0,75% berpotensi memicu carry trade unwind, atau penarikan dana murah global yang selama ini menopang pasar aset berisiko.
  • Ketiga
    Berkaitan dengan indikator pasar saham. Indikator Buffett, yang mengukur rasio total nilai pasar saham AS terhadap PDB, sudah berada di level ekstrem atau sangat mahal.
  • Keempat
    Diperkuat oleh fakta bahwa perusahaan investasi Berkshire Hathaway milik Warren Buffett kini memegang uang tunai dalam jumlah rekor sebesar lebih dari US$ 382 miliar, sebuah sinyal keras bahwa investor kawakan tersebut melihat tidak ada aset yang layak beli saat ini.
  • Kelima
    Harga properti di Amerika Serikat yang terus mencetak rekor tertinggi dikhawatirkan akan menekan daya beli masyarakat dan memicu krisis perumahan.
  • Keenam
    industri perbankan di AS menunjukkan credit spread yang sangat tipis, menandakan ketatnya moneter yang berada di AS saat ini.
  • Ketujuh
    valuasi pasar saham AS saat ini tercatat lebih mahal dibandingkan era Dot Com Bubble tahun 2000 yang berakhir dengan kejatuhan pasar.
  • Kedelapan
    Kekhawatiran terhadap jumlah utang AS yang kian memuncak sehingga memperlebar defisit fiskal negara paman Sam tersebut.
  • Kesembilan
    Euforia pada saham teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) dinilai sudah membentuk gelembung atau bubble ditambah dengan Quantitative Easing serta penurunan suku bunga oleh The Fed.

Jika tren ini melambat atau pecah, efek dominonya diperkirakan akan meruntuhkan valuasi seluruh aset spekulatif, termasuk kripto.

Tahun 2026 akan menjadi ujian ketahanan yang sesungguhnya. Pasar kini hanya bisa menanti apa yang akan dilakukan oleh The Fed dengan keadaan seperti ini yang cukup mengkhawatirkan.

Hal ini dikarenakan menurunkan suku bunga dan melanjutkan QE sama dengan menuangkan bensin tambahan ke ladang yang lebih luas sambil menunggu sebuah percikan api menghanguskan pasar.

Hanya dengan kebijakan yang tepat serta kalibrasi optimal dari sisi moneter serta fiskal, soft landing benar-benar bisa terjadi. Ketakutan ini berpotensi membuat emas dan Bitcoin kembali bersinar sebagai aset hedging unggulan investor dari gejolak politik AS yang mungkin akan mendapatkan pivot timingnya sesuai teori 4 year cycle yang selalu dicanangkan.

-

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(gls/gls)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |