Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar obligasi Indonesia tampaknya makin menarik di mata investor asing, terbukti dari aliran dana masuk yang cukup signifikan. Sebaliknya, di pasar saham, asing masih memilih untuk melepas kepemilikannya.
Data Bank Indonesia mencatat investor non-residen melakukan pembelian bersih di pasar surat berharga negara (SBN) sebesar Rp15,14 triliun sepanjang periode 10 Juni hingga 3 Juli 2025. Ini menjadi sinyal kuat bahwa obligasi RI, khususnya SBN, tengah naik daun.
Tren ini juga tercermin dari penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun (ID10Y) yang dalam empat bulan terakhir terus melandai.
Merujuk data Refinitiv, pada Selasa hari ini (8/7/2025) hingga pukul 10.45 WIB, yield ID10Y berada di 6,60%, menandai posisi terendah sejak September 2024.
Perlu dipahami, pergerakan yield dan harga pada obligasi itu berlawanan arah. Artinya, yield yang turun menunjukkan harga sedang naik, atau investor sedang memburu surat utang RI.
Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang, menilai derasnya arus dana ke SBN mencerminkan perubahan preferensi investor menuju aset yang lebih defensif. Di tengah ketidakpastian global, mulai dari arah suku bunga dunia, tekanan geopolitik, hingga valuasi saham yang dianggap mulai mahal, SBN menjadi pilihan yang lebih aman.
Pasar Saham Justru Tertekan
Berbeda dengan pasar obligasi, pasar saham justru mencatat arus keluar dana asing (capital outflow).
Pada kemarin Senin (7/7/2025) asing mencatat net sell dalam sehari di pasar regional mencapai Rp271,45 miliar. Jumlah ini kemudian mengakumulasi aliran keluar dana asing dalam sebulan sebanyak Rp8,31 triliun.
Akibatnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih bergerak lesu. Dalam sebulan, IHSG terkoreksi sekitar 3%. Hari ini hingga pukul 10.50 WIB, indeks masih stagnan di level 6.900-an
Rudiyanto, Direktur Panin Asset Management, menjelaskan bahwa outflow asing dari IHSG sudah berlangsung sejak beberapa waktu terakhir.
"Penyebabnya beragam, mulai dari investor asing yang melakukan underweight bobot Indonesia seiring perubahan alokasi anggaran pemerintah, laporan keuangan perbankan yang kurang memuaskan, pertumbuhan ekonomi yang melambat, serta harga komoditas yang tidak sebaik tahun lalu," jelasnya.
Tekanan terhadap IHSG juga datang dari faktor lain. Salah satunya adalah kebijakan tarif Trump dan tren saham IPO yang kembali mencuat.
Namun, Rudiyanto menyebutkan, Tarif Trump dan saham IPO sebenarnya hanya satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi IHSG.
Yang perlu dicatat, Rudiyanto menjelaskan "Kalau tarif yang dikenakan untuk Indonesia tinggi dari Vietnam dan Malaysia, menurut saya bukan sentimen yang positif. Tapi perlu diingat bahwa kebijakan Trump selalu berubah dalam waktu yang cepat, jadi sentimen bisa berubah dengan cepat juga"
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto.
Menurutnya, sektor perbankan yang menjadi penyumbang terbesar kapitalisasi pasar IHSG tengah menghadapi tantangan berat.
"Tren pertumbuhan kredit turun, dan kemungkinan risiko kredit macet (Non Performing Loan/NPL) akan meningkat," ujar Rully.
Hal ini memberi tekanan signifikan pada sektor perbankan dan membuat IHSG seperti kehilangan bahan bakar.
Selain perbankan, Rully juga menilai sektor lain seperti otomotif dan konsumer masih menghadapi outlook yang kurang menarik, seiring dengan perlambatan ekonomi.
Berbanding terbalik dengan saham, SBN justru dinilai lebih menarik karena ditopang oleh kondisi makro yang lebih kondusif.
"SBN menarik karena didukung oleh kebijakan fiskal yang kredibel, inflasi yang terjaga, tren suku bunga yang menurun, dan nilai tukar rupiah yang relatif stabil," terang Rully.
Hossiana juga menyebutkan, tren inflow ke SBN ini mencerminkan rotasi portofolio dari aset berisiko tinggi (risk-on) ke instrumen yang lebih defensif (risk-off).
"Investor tengah mengalihkan alokasi portofolionya dari saham ke SBN karena potensi capital gain dari obligasi mulai terlihat, seiring ekspektasi pemangkasan suku bunga dan inflasi yang tetap terkendali," jelas Hosianna.
Namun, Hossiana juga menegaskan bahwa fenomena ini bukan berarti investor meninggalkan pasar domestik sepenuhnya.
"Pergerakan ini lebih menunjukkan strategi rebalancing berbasis risk-adjusted return, bukan sinyal investor keluar total dari Indonesia," tambahnya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.(tsn/tsn)