Jakarta, CNBC Indonesia - Seorang remaja asal Wisconsin, Amerika Serikat, dituduh membunuh kedua orang tuanya secara brutal serta merancang serangan besar-besaran yang mencakup rencana pembunuhan Presiden Donald Trump dan melarikan diri ke luar negeri sambil menyalahkan Rusia atas kejahatan tersebut.
Fakta-fakta mengejutkan ini terungkap dari dokumen FBI yang baru saja dibuka ke publik.
Nikita Casap (17), didakwa atas dua tuduhan pembunuhan tingkat pertama setelah jenazah ibu dan ayah tirinya ditemukan di dalam rumah keluarga mereka di Waukesha, Wisconsin. Keduanya tewas ditembak di kepala.
Casap kemudian melarikan diri sejauh ratusan kilometer sebelum ditangkap di negara bagian Kansas. Saat itu, ia mengendarai kendaraan curian, membawa uang tunai sebesar 14.000 dolar AS, dua paspor, seekor anjing keluarga, serta pistol revolver yang tidak terisi peluru, beberapa kotak amunisi, dan dua ponsel.
Dalam surat perintah penggeledahan FBI yang dibuka Jumat lalu, disebutkan bahwa Casap diduga menulis manifesto berisi seruan untuk membunuh Presiden Amerika Serikat dan menggulingkan pemerintah.
"Casap tampaknya telah menulis sebuah manifesto yang menyerukan pembunuhan terhadap Presiden Amerika Serikat. Ia juga menjalin komunikasi dengan pihak lain terkait rencananya untuk membunuh Presiden dan menggulingkan pemerintahan Amerika Serikat," demikian isi dokumen tersebut, dikutip dari RT, Senin (14/4/2025).
FBI juga menyatakan bahwa pembunuhan terhadap orang tua Casap tampaknya merupakan upaya untuk memperoleh sumber daya finansial dan kebebasan guna mewujudkan rencana radikalnya.
"Pembunuhan terhadap orang tuanya tampaknya merupakan usaha untuk mendapatkan sarana keuangan dan otonomi yang diperlukan guna melaksanakan rencananya," tambah dokumen itu.
Lebih lanjut, Casap dituduh membeli drone dan bahan peledak yang diklasifikasikan sebagai "senjata pemusnah massal." Barang-barang tersebut diduga akan digunakan dalam serangan yang direncanakannya.
Bukti komunikasi yang ditemukan di ponselnya menunjukkan diskusi mendalam seputar rencana tersebut dengan sejumlah individu melalui aplikasi Telegram.
Dalam salah satu pesan yang ditemukan, tertanggal 21 Januari, Casap bertanya kepada seorang pengguna anonim, "Negara mana yang akan disalahkan atas kejahatan ini?" Pengguna itu menjawab, "Rusia akan disalahkan, itu tujuannya."
Percakapan lainnya menunjukkan Casap menjalin komunikasi dengan seseorang yang menggunakan nomor telepon Ukraina. Mereka membahas rencana pelarian pasca-serangan.
Dalam salah satu pesannya, Casap menulis, "Berapa lama aku harus bersembunyi sebelum aku dipindahkan ke Ukraina? 1-2 bulan?" Ia kemudian menambahkan, "Jadi ketika sudah di Ukraina, aku bisa mendapatkan pekerjaan normal dan hidup normal? Bahkan jika nanti diketahui aku yang melakukannya?"
Agen federal juga menemukan tangkapan layar dari sebuah dokumen sepanjang tiga halaman berjudul "Accelerate the Collapse" yang dibuat pada 28 Februari. Dalam dokumen itu, Casap menyerukan kekerasan politik, termasuk pembunuhan Presiden, sebagai sarana untuk menciptakan kekacauan sosial dan melindungi apa yang ia sebut sebagai "ras kulit putih."
"Ras kulit putih tidak akan bisa bertahan kecuali Amerika runtuh," tulis Casap dalam manifestonya.
"Mengapa harus Trump? Menurutku sudah jelas. Dengan menyingkirkan presiden dan mungkin juga wakil presiden, itu dijamin akan menciptakan kekacauan - dan lebih dari itu, akan menanamkan gagasan di benak publik bahwa pembunuhan politik dan percepatan keruntuhan adalah hal yang bisa dilakukan," lanjut isi dokumen tersebut.
Saat ini, Casap ditahan dengan jaminan sebesar US$1 juta dan menghadapi total sembilan dakwaan pidana, termasuk dua tuduhan pembunuhan tingkat pertama, penyembunyian mayat, dan pencurian identitas. Sidang berikutnya dijadwalkan pada 7 Mei mendatang.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video:JP Morgan: AS Akan Alami Resesi Meski Trump Tunda Tarif Impor
Next Article Putin Siap Negosiasi dengan Trump soal Ukraina, Perang Berakhir?