Jakarta, CNBC Indonesia - Penurunan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed/Fed), disebut membawa berkah ke warga Asia. Bank-bank sentral di kawasan mungkin menemukan lebih banyak ruang untuk melonggarkan kebijakan setelah The Fed memangkas suku bunga sebesar seperempat poin persentase, 0,25 basis poin (bps), Rabu.
Suku bunga acuan The Fed kini berada di 4%-4,25%. Ketua The Fed Jerome Powell menyebut alasan pemangkasan sebagai "manajemen risiko", menopang ekonomi yang lemah dengan kurangnya lapangan kerja dan meningkatnya penagnggura, bahkan mengindikasikan dua pemangkasan lagi kemungkinan tahun ini.
Perlu diketahui, kawasan Asia kini menghadapi hambatan perdagangan dan tekanan mata uang. Langkah The Fed mungkin mempersempit kesenjangan antara imbal hasil obligasi AS dan Asia, meredakan kekhawatiran mata uang dan memberi beberapa negara Asia- terutama yang menghadapi hambatan domestik yang lebih besar-, lebih banyak ruang untuk menurunkan suku bunga.
"Sikap kebijakan secara keseluruhan di seluruh kawasan kemungkinan akan menjadi lebih akomodatif," kata ekonom Asia di Fidelity International, Peiqian Liu, dikutip CNBC International, Jumat (19/9/2025).
Beberapa bank Asia telah mulai mendahului The Fed untuk mengurangi dampak tarif pemerintahan Trump. Ini termasuk Bank of Korea (BOK) yang memangkas suku bunga acuannya ke level terendah hampir tiga tahun pada Mei, lalu bank sentral India (RBI) memangkas suku bunga 50 bps.
"Namun, perbedaan akan tetap ada karena beragamnya kondisi ekonomi di negara-negara ini," tambah Liu, merujuk pada inflasi domestik dan dampak jangka panjang dari ekspor yang dipercepat sebelum tarif AS berlaku.
Hal sama juga dikatakan Kepala Ekonom Oxford Economics, Betty Wang. Khusus BOK dan RBI, kemungkinan akan terus memangkas suku bunga di kuartal-IV (Q4).
"Kekhawatiran sebelumnya tentang depresiasi mata uang yang cepat terbukti berlebihan, dan melemahnya dolar justru menciptakan ruang tambahan bagi bank-bank sentral Asia untuk melonggarkan kebijakan lebih lanjut menjelang akhir tahun ini sebagai respons terhadap meningkatnya kekhawatiran pertumbuhan," ujar Wang.
Ahli strategi pasar senior Asia Pasifik di BNP Paribas Asset Management, Chi Lo, juga sependapat dengan pandangan tersebut. Ia mencatat bahwa suku bunga riil di sebagian besar Asia masih berada di atas rata-rata historis, memberikan ruang bagi bank sentral untuk penurunan suku bunga lebih lanjut."Pengecualian penting adalah India, yang mencatat pertumbuhan ekonomi yang kuat selama dua kuartal terakhir, didorong oleh permintaan domestik, bukan ekspor," kata Chi Lo.
"India kemungkinan akan memprioritaskan pertumbuhan domestik karena melemahnya permintaan eksternal dan tarif AS yang lebih tinggi, dengan pelonggaran kebijakan lebih lanjut," tambah Liu dari Fidelity.
Inflasi India naik pada bulan Agustus untuk pertama kalinya dalam 10 bulan menjadi 2,07%, tepat di atas bata. Ini bawah kisaran target RBI 2%-6%.
"Ada "ruang yang cukup" untuk pelonggaran kebijakan lebih lanjut guna meredam hambatan pertumbuhan jika diperlukan," lanjut Liu lagi.
The Fed Terjebak dan Penurunan Suku Bunga yang Panjang di Asia
Lebih lanjut, Lo dari BNP Paribas mencatat bahwa The Fed masih terjebak di antara pertumbuhan yang lebih lambat dan kekhawatiran tentang inflasi yang lebih tinggi di AS. Ini membatasi lembaga itu pada "siklus penurunan suku bunga yang pendek".
Namun fundamental ekonomi di Asia, termasuk angka pertumbuhan yang tangguh dan inflasi yang rendah. Lo mengatakan ini menunjukkan bahwa kawasan ini dapat mengalami siklus penurunan suku bunga yang lebih panjang, terutama dengan dolar AS yang sedang melemah.
Beda Nasib China dan Jepang
Namun, dua negara dengan perekonomian besar di Asia sepertinya tak akan mengikuti tren penurunan suku bunga ini. Negara itu antara lain China dan Jepang.
Bagi Jepang, bank sentralnya tidak hanya mempertahankan suku bunga, tetapi juga berencana untuk menaikkannya seiring upaya normalisasi kebijakan moneternya. Para ekonom memperkirakan Bank of Japan (BOJ) akan mempertahankan kebijakannya pada pertemuan hari Jumat (19/9/2025) ini.
Kenaikan lebih lanjut di akhir tahun ini diperlukan Jepang. Karena inflasi telah bertahan di atas target BOJ sebesar 2% selama lebih dari tiga tahun.
Bank sentral China, PBOC, juga mempertahankan suku bunga jangka pendeknya pada hari Kamis di 1,4% setelah penurunan suku bunga The Fed. Langkah itu untuk menyeimbangkan kebutuhan akan stimulus dengan kekhawatiran akan memicu gelembung pasar saham yang dapat mengulangi kejatuhan tahun 2015.
Perekonomian China telah menunjukkan tanda-tanda kelelahan pada bulan Agustus, dengan pertumbuhan ekspor melambat lebih dari yang diperkirakan dan indikator ekonomi utama. Seperti penjualan ritel dan output industri yang lebih rendah dari perkiraan para ekonom.
"Yuan China kemungkinan akan mempertahankan kekuatannya di tengah siklus penurunan dolar karena pertimbangan China saat ini mungkin tidak membiarkan renminbi terlalu terapresiasi, alih-alih melindunginya dari depresiasi," kata ekonom senior di Economist Intelligence Unit, Tianchen Xu.
Yuan telah menguat sekitar 3% terhadap dolar tahun ini. Pada Kamis, Yuan, terakhir diperdagangkan di level 7,1083 terhadap dolar AS.
Para ekonom sebagian besar memperkirakan yuan akan menguat menjadi 7 terhadap dolar AS pada akhir tahun ini. Ini akibat fokus Beijing pada penanggulangan deflasi dan penguatan pertumbuhan.
"Meskipun demikian, pemangkasan suku bunga The Fed membuka opsi bagi PBOC ," kata Xu, yang memperkirakan China akan terus melanjutkan pelonggaran moneter dalam jangka menengah, mengingat tantangan ekonomi domestiknya.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]