
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Oleh Martunas Dosniroha
“menciptakan manusia merdeka yang tidak hanya tahu, tetapi juga mampu memahami, mempertanyakan, dan menyampaikan gagasannya dengan cara yang bijaksana”
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Selama bertahun-tahun, sistem pembelajaran di Indonesia masih berjalan secara satu arah. Guru atau dosen menjadi pusat pengetahuan yang menyampaikan materi, sementara siswa atau mahasiswa lebih banyak menerima secara pasif. Pola ini tidak hanya berlaku di tingkat dasar, tetapi juga di perguruan tinggi yang seharusnya menjadi ruang bebas untuk bertukar ide. Meskipun berbagai revisi kurikulum telah dilakukan, praktik dominasi guru tetap berlangsung di lapangan, menjadikan peserta didik sekadar tempat menampung informasi.
Padahal, sebagaimana dinyatakan oleh filsuf Yunani Plutarch, “pikiran bukan bejana yang diisi, tetapi api yang perlu dinyalakan”. Pendidikan seharusnya tidak hanya soal mentransfer pengetahuan, melainkan menumbuhkan semangat berpikir kritis dan mandiri. Bila murid hanya dijejali informasi tanpa ruang untuk merenung dan bertanya, maka daya nalar mereka akan tumpul.
Paulo Freire, seorang tokoh penting dalam dunia pendidikan, sudah sejak lama mengkritik sistem ini melalui konsep “pendidikan gaya bank”, di mana murid diperlakukan seperti tabungan yang diisi terus-menerus. Dalam model ini, murid kehilangan peran sebagai subjek pembelajaran. Pendidikan semacam ini tidak memberdayakan, justru menciptakan relasi kuasa yang timpang dan menekan nalar kritis.
Gagasan pendidikan egaliter muncul sebagai alternatif atas model otoriter tersebut. Dalam pendekatan ini, guru bukan lagi satu-satunya sumber kebenaran, tetapi menjadi mitra dialog. Murid diberi ruang untuk berpikir, bertanya, dan menyampaikan pandangan sekalipun berbeda. Proses belajar pun menjadi lebih partisipatif dan bermakna. Konsep egaliter tidak hanya soal keterlibatan murid secara intelektual, tetapi juga menyangkut relasi sosial antara guru dan murid. Dalam hal ini, perlu dipahami aspek kognitif, konatif, dan emotif dalam pendidikan.
Dari sisi kognitif, pendidikan egaliter mendorong murid untuk aktif menyuarakan pendapat. Sayangnya, masih banyak siswa yang ragu karena khawatir dianggap tidak sopan. Dalam budaya kita, menyanggah guru kerap ditafsirkan sebagai bentuk pembangkangan. Ini membuat murid lebih memilih diam, daripada berisiko menyinggung. Padahal, perbedaan pendapat bukanlah bentuk ketidaksopanan, melainkan tanda dari berpikir mandiri. Seperti yang dikatakan Rocky Gerung, “sopan santun adalah bahasa tubuh, pikiran tidak memerlukan sopan santun”.
Namun, kebebasan berpikir tidak berarti bebas dari etika. Di sinilah aspek konatif dan emotif menjadi penting. Secara konatif, relasi antara guru dan murid harus tetap diwarnai penghormatan. Bukan dalam bentuk jarak feodal, melainkan jarak yang sehat yang mencerminkan sikap saling menghargai. Murid tetap perlu menunjukkan sikap hormat, misalnya dengan menyapa, atau mengucapkan terima kasih. Ini bukan bentuk kepatuhan mutlak, tapi bagian dari tata krama akademik.
Aspek emotif merujuk pada perasaan yang tumbuh dari interaksi antara guru dan murid. Rasa segan, percaya, atau nyaman tidak bisa diciptakan secara instan, melainkan lahir dari hubungan yang tulus. Ketika guru memperlakukan murid dengan adil dan terbuka, maka perasaan positif pun tumbuh, dan suasana belajar menjadi kondusif. Sering kali, berpikir kritis disalahartikan oleh murid sebagai kebebasan untuk menyerang atau merendahkan guru. Sebaliknya, guru pun terkadang menutup ruang tanya karena takut wibawanya terganggu. Padahal, jika keduanya saling memahami peran masing-masing, maka ruang kelas bisa menjadi tempat belajar yang sehat baik secara intelektual maupun emosional.
Pendidikan yang membebaskan tidak berarti menghapus etika. Justru, berpikir kritis harus lahir dari ruang yang etis. Murid bisa berbeda pandangan, asalkan disampaikan dengan cara yang santun dan argumentatif. Guru pun tidak perlu merasa tersaingi jika murid memiliki argumen yang kuat. Sebaliknya, itu menjadi bukti bahwa proses belajar berhasil.
Dengan mewujudkan ruang pembelajaran yang setara, dialogis, dan etis, maka tujuan pendidikan yang sesungguhnya akan tercapai: menciptakan manusia merdeka bukan hanya yang tahu, tetapi juga yang mampu memahami, menganalisis, dan menyampaikan gagasannya dengan cara yang bijak.
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Hasanuddin di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.