Musibah Mengeras, Kebaikan Mencair: Refleksi Islam Atas Banjir Ran Longsor

3 hours ago 1
Al-bayan

12 Desember 202512 Desember 2025

 Refleksi Islam Atas Banjir Ran Longsor

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Oleh: Dr. Bukhari, M.H., CM.

Banjir dan longsor yang melanda Aceh dan berbagai wilayah di Sumatera kembali menunjukkan bahwa alam bisa mengeras ketika diperlakukan secara serampangan.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Air yang biasanya menjadi rahmat berubah menjadi ancaman, bukit yang mestinya menjadi penyangga berubah menjadi longsor yang meluluhlantakkan rumah dan kehidupan. Namun di balik kerasnya musibah, selalu ada satu hal yang mencair dan mengalir deras: kebaikan manusia. Kebaikan yang menjadi penolong terakhir ketika negara belum hadir sepenuhnya, dan menjadi kekuatan moral masyarakat untuk bangkit bersama.

Dalam perspektif Islam, musibah bukan sekadar bencana fisik. Ia adalah tanbih peringatan dari Allah agar manusia kembali pada kesadaran tentang amanah sebagai khalifah di bumi. Al-Qur’an secara tegas menyatakan, Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia…” (QS. Ar-Rūm: 41). Ayat ini tidak hanya menggambarkan fakta ekologis, tetapi sekaligus menggugat moralitas manusia yang abai menjaga lingkungan.

Penebangan hutan, ekspansi tambang, galian C tanpa kendali, dan berbagai bentuk eksploitasi alam telah menciptakan luka-luka ekologis yang akhirnya kembali menyakiti manusia.

Namun ketika bencana sudah terjadi, ajaran Islam tidak berhenti pada penyesalan. Ia menuntun kita untuk berbuat baik, sebagai refleksi keimanan dan jawaban moral atas musibah yang menimpa. Allah berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Mā’idah: 2).

Ayat ini bukan anjuran yang bisa dinegosiasikan, tetapi kewajiban kolektif (fardhu kifayah) yang harus diemban oleh masyarakat, pemerintah, dan semua pihak yang mampu memberi pertolongan.

Dalam hadis Nabi SAW, pesan tentang kebaikan bahkan jauh lebih kuat. Rasulullah bersabda, “Barang siapa tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari-Muslim). Hadis lain menegaskan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad).

Dua pesan ini menunjukkan bahwa dalam kondisi bencana, setiap bentuk pertolongan membantu mengevakuasi warga, memberikan tenaga di posko, mengantar makanan, atau sekadar memberikan semangat semua tercatat sebagai ibadah.

Dalam hukum Islam, tindakan-tindakan tersebut termasuk bagian dari al-maslahah, yaitu kemanfaatan sosial yang tidak hanya dianjurkan tetapi menjadi dasar hukum penting dalam menjaga jiwa manusia (hifz an-nafs) sebagai salah satu maqasid syariah.

Aspek lain yang juga perlu ditekankan ialah tanggung jawab pemerintah. Dalam fikih siyasah, pemimpin memiliki kewajiban untuk menjamin keselamatan rakyatnya. Nabi Muhammad SAW menegaskan, “Seorang pemimpin adalah pemelihara dan pengurus rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari). Artinya, lambannya pendataan korban, kurangnya kesiapsiagaan, atau minimnya mitigasi bukan hanya persoalan administrasi, tetapi juga menyangkut tanggung jawab hukum dan moral menurut syariat. Negara wajib hadir, terutama pada fase tanggap darurat dan rehabilitasi.

Namun di tengah segala kekurangan itu, kita menyaksikan sesuatu yang luar biasa: masyarakat justru bergerak paling cepat. Pemuda-pemuda turun ke lokasi banjir, relawan memasak di dapur umum, tenaga medis bekerja tanpa henti, dan warga membuka rumah untuk menampung pengungsi.

Kebaikan-kebaikan yang lahir secara spontan ini merupakan bentuk nyata dari prinsip ukhuwwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan) dan ta’awun (saling membantu). Islam memandang tindakan ini sebagai amal yang paling mulia, terutama ketika dilakukan dalam kondisi sendiri pun sedang terhimpit.

Banjir dan longsor ini mengajarkan bahwa meski musibah dapat menghancurkan infrastruktur, ia tidak dapat merobohkan kemanusiaan selama kebaikan masih mengalir. Dan inilah yang seharusnya menjadi tonggak untuk membangun kembali Aceh dan Sumatera: membangun dengan kesadaran ekologis, dengan tanggung jawab syar’i, dan dengan semangat gotong-royong yang diperintahkan agama.
Ketika musibah mengeras, kebaikan harus mencair.

Ketika alam bergejolak, manusia justru harus memperkuat empatinya. Itulah refleksi Islam yang membebaskan manusia dari sikap pasif dan membawa kita kembali pada jati diri sebagai hamba yang berbuat, bukan hanya mengeluh. Karena di balik setiap bencana, selalu ada kesempatan untuk meraih pahala, menguatkan persaudaraan, dan memperbaiki hubungan kita dengan alam dan dengan Allah.

Penulis Adalah konsultan hukum dan mediator PMN LBH Qadhi Malikul Adil

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |