Mitigasi Dan Penanganan Bencana, Buruk Dan Gagap

8 hours ago 5
Medan

7 Desember 20257 Desember 2025

Mitigasi Dan Penanganan Bencana, Buruk Dan Gagap Farid Wajdi. Waspada.id/ist

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

MEDAN (Waspada.id): Banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat seharusnya menjadi panggilan darurat bagi pemerintah. Demikian Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 pada Minggu (7/12/2025).

Nyatanya, bencana berubah menjadi panggung sandiwara kegagapan. Warga menunggu evakuasi, rumah hancur, korban berjatuhan, sementara pejabat sibuk menimbang citra, prosedur formal, dan kalkulasi politik.
BMKG sudah memberi peringatan saintifik, tetapi respons pemerintah seperti kucing tidur di tengah badai. Sistem peringatan dini yang seharusnya menyelamatkan nyawa tetap diam. Koordinasi pusat-daerah amburadul, distribusi logistik tersendat, evakuasi korban lamban. Infrastruktur rapuh, tata ruang tidak adaptif, penebangan hutan ilegal menambah risiko longsor. Semuanya seolah menjadi bumbu dramatis bagi kegagapan pemerintah.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Yang paling ironis adalah penetapan status bencana nasional. Kerusakan jelas besar dan memerlukan respons terpadu, tetapi keputusan ditunda. Mengklaim belum memerlukan bantuan asing terdengar seperti lelucon pahit: nyawa rakyat menunggu, sementara birokrat menimbang formalitas dan nasionalisme. Politik menang, keselamatan kalah.

Koordinasi antar-institusi pusat dan daerah lebih mirip sandiwara birokrasi. Dana ada, tetapi pencairan dan distribusi lambat. Keputusan tertahan oleh perhitungan politik, bukan urgensi kemanusiaan. Warga menunggu di tengah kondisi darurat, bantuan pangan dan medis tersendat. Gagapnya pemerintah memperlihatkan mitigasi bukan prioritas, melainkan hiasan retorika.

Kepemimpinan Lamban, Kalkulasi Keliru


Kegagalan bukan soal peralatan atau dana. Kepemimpinan lamban, kalkulasi keliru, dan ketidakmampuan mengambil keputusan menjadi akar masalah.

Peringatan BMKG yang jelas diabaikan, tindakan koordinasi minimal, alokasi sumber daya lambat, evakuasi terhambat. Hasilnya: bencana tambahan berupa trauma, kerugian materi, dan hilangnya kepercayaan publik.

Mitigasi kebencanaan seharusnya mencakup kesiapan teknis, koordinasi efektif, dan perencanaan lingkungan adaptif. Ketiganya masih lemah.

Banyak daerah tanpa peta risiko mutakhir, sistem drainase adaptif, atau prosedur darurat jelas. Data lapangan tidak tersambung ke pusat dengan cepat. Pemerintah tampak gagap menghadapi realitas lapangan, lebih memilih jeda dramatis daripada aksi nyata.

Penundaan penetapan status bencana nasional memperlihatkan kesalahan kalkulasi fatal. Keputusan politik dan nasionalisme berlebihan menundukkan urgensi kemanusiaan. Warga tetap rawan, sementara pejabat sibuk menjaga prosedur formal dan citra. Bantuan asing yang bisa mempercepat evakuasi dan rekonstruksi ditolak.

Fakta ini menegaskan satu hal: kegagapan sistemik, kapasitas teknis rendah, koordinasi acak, perencanaan lingkungan tidak adaptif. Mitigasi bencana bukan slogan, statistik, atau hiasan retorika. Ia kewajiban moral, hukum, dan praktis untuk menyelamatkan nyawa.

Jika pemerintah terus mengabaikan prinsip ini, tragedi serupa akan terulang. Korban bertambah, legitimasi kepemimpinan dipertanyakan. Bencana bukan panggung citra politik. Warga menuntut tindakan nyata, koordinasi efektif, dan keputusan cepat. Diam dan menunda bukan netral; ia berpihak pada ketidakadilan dan kehancuran rakyat.(id18)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |